aldiantara.kata

Dibalik selembar laporan genose. Hasilnya negatif. Pada lembar belakangnya aku menulis spontan mengenai perihal yang kupikirkan. Waktu pengisian ujian tes tulis masuk kerja, lama sekali. Tiga jam. Aku sudah menyelesaikan satu jam sebelum tenggat waktu.

Daripada laporan ini kutaruh di atas meja lalu kutinggalkan, namun tempat yang asing bagiku adalah aksara-aksara yang gemas untuk kurangkai, kucapai, menceritakan apa yang kupikirkan. Belantara kata melayang-layang. Beberapa di antaranya terkulai lemas, kemudian terkubur pada tumpuk dedaun distraksi.

Para pekerja bangunan sedari pagi sudah berkeringat turuti arahan mandador. Aku menguap. Aku tidak sedang mabuk kecubung. Namun mereka terlihat tertawa melihat si jeans dan kemeja rapi tergopoh mencari ruang ujian.

Si Magister kelimpungan kenyang rebahan. Tuntas tunaikan maraton anime. Ada pula yang betah di warung kopi; makan dan mabar, lalu mabuk gagasan…

Siapa tau berguna. Apalagi ada maba-maba baru. Tebar pesona. Bertukar hasil muntahan. Overthinking lagi. Lalu bikin mural di dinding kota…

Tangkap saja, Pak. Siapa tahu ada anggaran untuk makan. Boleh pilah-pilih lauk, bukan? Apa perlu kulemparkan saja ijazah?

Sejujurnya tak terbayangkan bila berkesempatan mengelola uang negara di sana. Sekalian nanti hendak melihat papan informasi di penjara. Ada lowongan pekerjaan, mungkin? Sipir penjara!? Atau sipir-sipir penjara membutuhkan ‘tenaga-tenaga terpelajar’? Siapa tahu ada yang bisa dilakukan.

Jadi?

Bisa juga, ini ide, uang hasil sogokan napi dibuat saja bisnis. Apa saja lah. Asal jangan jadi joki buat tesis. Meski bisa, tapi masa aku harus muntah lagi, di atas muntahan-muntahan yang sudah bau?