Tanda pijak langkah kita kini dipijaki berjibun aparat. Terakhir kau menemani ke rumah sakit hingga langit tiba gelita. Tapak silam dihapus hujan, diinjak polisi dan tentara. Beberapa bulan silam kita bebas meminum udara di mana pun. Sekarang engkau bagai Layla Majnun terkekang kamar. Seperti Juliet terbui dalam gelimang hening. Pabila kubicara rindu, pada malam mana kau simpan dan taruh? Aku hendak beranjangsana serta menitip bingkis sama berat dan isi. Pada kunang-kunang mana kau hidupkan cahayanya. Pada ayat mana kau tafsirkan: cinta dan rindu. Di tampuk mana kau khayalkan kita saling mengadu. Kau yang berbicara dalam bahasa tangis. Hingga sempat terlupa jalan kebahagiaan mana yang hendak kau teruskan. Di sela nafas tersisip cemas masa depan. Selagi harap tak kunjung berdamai dengan rasa bimbang.
Dunia kini terjaga oleh negara-negara pahlawan. Namun mereka tak bisa mengekang gerak hati manusia. Negeri kita perlu sosok sealim Nabi Yusuf yang cakap tafsir mimpi dan pengelolaan pangan istimewa. Karena negeri ini banyak orang-orang lapar: tak satu pemimpin pun kelaparan. Namun tak satu pun yang bisa menjamin dahar rakjatnya. Tak satu cenayang pun bisa meramalkan ini sebelumnya. Jeruk-jeruk manis kini beredar di Jakarta. Jeruk-jeruk lain berada di kresek derma sosial. yusuf-yusuf di kampungku bermasalah. Di kampung utara terjerat korupsi, selatan tindakan asusila, barat kriminal dan timur di kampungku keras kepala karena takut kehilangan jamaah masjid hingga berbuat aniaya.
Andai corona ini melenyapkan umat manusia, bukankah Tuhan sayang kepada Bu Mirna. Seorang Ibu lima anak yang ditinggal kabur suami buruh pabrik. Berbahagialah Jackandjhon, petugas keamanan perumahan yang amanah. Walakin, bagaimana mampu beta berjumpa Tuhan dengan kerinduan yang masih utuh, kepadamu. Bekas jejak langkah kita bisa kita bentuk. Tugas akhirmu akan segera selesai. Bioskop kota akan segera dibuka. Ah kekasih. Apakah kau masih kukuh mencintaiku kendatipun kupercaya corona ini adalah ko&*&^%n##%@$p)(irasi?
Tinggalkan Balasan