aldiantara.kata

Dada dengan debar-debar. Mungkin efek kopi. Sedikit mual, merasa goblok karena kerjakan sesuatu yang tak dikuasai. Kok malah dipelihara dan dipikirkan. Beda tipis antara sedang diuji atau memang tak sadar kemampuan diri. Hayo? Kok malah ditulis. Mbok tugasnya dikerjakan. Sambat terus. Berapa jatah sambat manusia setiap harinya. Lagu-lagu diputar malah bikin pikiran seperti kolecer. Pening. Hening. Tumben kamar sebelah tak riuh. Lampunya mati. Barangkali sedang perjalanan pulang. Langit sudah selesai diwarnai, gradasinya sempurna, tak ada bagian yang kurang gelap. Terang kota sok-sokan melawan gelap. Bisa apa. Atau tugasnya tidak demikian. Lampu hingar bingar jadi hiburan bagi manusia. Meski manusia sendiri merasa tak terhibur. Beberapa lampu kota mulai padam. Mungkin hemat listrik. Plis, tanganku, jangan ambil gawai. Agar kerjaku cepat selesai. Atau mengganti pilihan lagu. Bisa lama tentukan banyak saran. Bisa rebahan lagi karena notif media sosial. Malam ini maunya apa. Apa ia tak bisa bernyanyi menghibur pekerja-pekerja malam.

Ojol pengantar makanan mondar-mandir cari alamat. Pemesan makanan sedang mandi usai bercinta. “Kan sudah dibilang, Mas, tunggu di depan gerbang.” Ojol marah sambil geleng-geleng kepala saksikan berita aparat smackdown rakjat. Kedjang-kedjang. Ah itu barangkali berita palsu. Itu barangkali di negara Polandia. Tabayyun lho! Mau hilang? Cari aman. Daripada ribut mereka siap mengokang senjata dan siksa. Apa tidak capek menulis dengan gaya selingkung. Malu-malu mau melawan. Mereka padahal tak segan-segan bawa kompeni. Diciduk nanges. Memang begitu caranya melawan? Cuma mengutip berita kok disangka melawan.  Berserikat saja enggan. Sudah takut duluan. Kesewenang-wenangan bukan cuma tak termaafkan, semua mengendap, jangan takut, bahkan jika harus terulang, setelah mereka meminta maaf, dan meminta lagi.