aldiantara.kata
Jumatan kali ini unik. Sebagian orang tak suka hari ini lantaran waktu terasa sempit. Sebelum dan setelah jumatan kantuk kerap hinggap. Sebagian memuliakan hari ini dengan dasar-dasar teologis.
Entah apa aku saja yang merasa bahwa setiap jumat, siang selalu terik. Pukul 12.55 melihat hijau punggung daun yang indah disorot sinar matahari, berayun berdansa dengan angin, kulihat dari kejauhan sembari tubuhku diterpa sepoi angin, serta atap yang melindungiku dari panas.
Khatib jumat siang ini aneh. Ia meminta untuk mematikan kipas yang mengarah kepadanya di mimbar. Sebetulnya sebelumnya ia malah ajukan permintaan absurd. Ia meminta kepada dewan kemakmuran masjid agar pada gilirannya, ia berceramah di bawah terik matahari langsung, meminta tanpa alas sajadah ketika menjadi imam sekaligus. Gilanya ia meminta untuk merobohkan bagian atap mimbar agar dapat berceramah di bawah terik matahari langsung. Tentu saja permintaan tersebut tak dapat dipenuhi.
Solusinya? Kipas ruang dalam dimatikan. Space masjid dengan barisan yang berjarak tiap-tiap jama’ah membuat banyak jama’ah di luar, tepat beratap langit yang sedang terik panas. Tak cukup menampung jama’ah seperti biasa.
Kata khatib, ia akan lebih menggunakan diksi yang tegas dan tak bertele-tele saat ceramah. Heuheuheu. Ia merasa harus memosisikan diri sebagaimana jama’ah yang kepanasan di luar. Mau berpanjang-panjang buih?
Ah tak kalah menarik, setelah jama’ah jumat pulang, biasanya sudah disambut ibu-ibu yang kukenal wajahnya membagikan nasi jum’at dan minum, kini malah semakin banyak yang membantu. Kini ada istri pendeta yang membantu, anak bungsu yang tinggal di samping masjid yang beragama Buddha, berdampingan dengan seorang perempuan bercadar, sama-sama membagikan nasi jum’at.
Nasi jum’at memang tak berupa nasi box, biasa-biasanya seperti nasi kucing dengan lauk telur dadar dan sambal. Kadang ada tambahan roti dan air mineral. Namun, jama’ah masih banyak ternyata yang belum terbagi. Ibu-ibu terlihat kebingungan, jum’at-jum’at kemarin justru makanan selalu sisa, kini tak disangka bisa habis.
Percaya atau tidak, istri pendeta mengajak sebagian jama’ah yang kehabisan nasi jumat untuk makan di rumahnya, begitupula anak bungsu yang beragama Buddha mengajak sebagian jama’ah makan di rumahnya, sama halnya dengan perempuan bercadar.
Senyum-senyum menulis ini. Aku berbohong?
Tinggalkan Balasan