aldiantara.kata
Seseorang terbiasa berjalan-jalan menikmati apa yang baru saja terlintas pada benaknya: sebuah ide! Tangkap. Tuliskan. Sudah beberapa kali ia melakukannya. Segera ia menuliskan kepada… Ya, kadang hanya pada aplikasi catatan di henpon, atau secarik kertas di mana ia menuliskan… apa saja. Pokoknya tidak boleh sampai ia menguap begitu saja. Pening lho memikirkan ide yang sempat hinggap, namun ketika diri tak sigap, lantas saja ia menguap. “Tadi apa, ya?”
Si paling banyak ide!
Hari itu ia menulis ide, hari itu pula seringkali ia merasa puas, lalu baru memeriksa catatannya beberapa hari, minggu, hingga bulan kemudian! Seketika membaca, lupa konteksnya. Atau tak bisa membaca tulisannya sendiri.
Bila ide itu mengetuk pintu pada pagi, di sanalah, biasanya ia tak akan menginap. Ia memang tak lupa mengisi buku tamu, bubuhkan tanda tangan kehadiran dan alamat. Tentu saja tidak hanya satu tamu saja yang berkunjung.
Cobalah sesekali berjalan jalan pada waktu di antara gelap fajar menuju terang pagi. Atau waktu antara istirahat malam menuju larut. Kedua waktu itu memiliki udara yang sama-sama dingin. Menenangkan. Terlebih jalanan yang sepi, hingga tersisa beberapa orang saja yang masih tertegun dalam perenungannya. Tentu saja terlebih dahulu kita harus berhasil membuat kita menikmati perjalanan tersebut dengan sedikit melepaskan beban pikiran kita. Banyak aksara yang bisa kita jumput, melalui jalan-jalan tadi. Tentu awalnya kita akan kebingungan dalam menyusunnya. Tidak mudah mengejawantahkan kepada kata-kata. Sesekali kita akan teringat dengan siapa kita pernah melalui sebuah jalan. Sesekali kita akan rindu dengan siapa kita banyak habiskan waktu. Semua ada, sebelum tersadar kita berada di kota yang lain. Menerawang melalui jalan-jalan rekam ingatan.
Namun, bila ide itu singgah pada waktu malam. Rasakan! Tidak bisa tidur. Dengan sedikit sesal, banyak ekspektasi bagaimana menjadikannya wujud! Sembari khawatir ide yang dianggap brilian sekalipun nasibnya akan bertumpuk sebagaimana halnya draft dan kumpulan konsep yang lupa akan konteksnya. Lalu untuk apa? Semua ide pernah memiliki keyakinannya sendiri sebelum diperdaya lupa. Lalu, seseorang takut untuk menjadi yakin kepada dirinya sendiri. Adakah ide-ide itu hanya menjadi sebuah cerita kepada teman, bahwa seseorang pernah memiliki ide ini dan itu, tanpa pernah ada usaha untuk menjadikannya wujud? Lalu dengan menceritakannya, nafsu kita seakan-akan telah terpuaskan karena merasa kita berhasil menjadikannya ada, dan menjadi?
Seseorang dengan ide, menilai dirinya tertimpa suatu wahyu, menjadikannya gigil. Cemas. Apa yang mesti ia perbuat agar ia tak segera menganggapnya sebagai omong kosong. Cukupkah dengan keyakinan bahwa hidup itu hanyalah membayar rencana-rencana, menyerahkannya kepada waktu agar digadaikan kelak sebagai jalan takdir? Namun bagaimana seseorang itu tak jua bisa terpejam karena tak percaya kepada kuasa waktu. Andai jika ide itu tidak dapat dihukumi mewujud atau gagal. Ia tidak dapat dinilai atau bahkan dihakimi. Kalau begitu, bagaimana jika kita pahami bahwa ide adalah rahmat yang mesti kita terima dan syukuri. Selalukah ada alasan mengapa diri kita pantas untuk mendapatkan ide dan bertanggung jawab?
Seseorang terbiasa berjalan-jalan di tempat menikmati apa yang baru saja terlintas pada benaknya: sebuah ide! Tangkap. Ia masih berjalan di sebuah kamar kecilnya. Nampak gelisah. Ia belum jua tertidur selama tujuh hari tujuh malam. Lalu ia duduk… Seketika terdengar ada yang mengetuk pintu kamar mandi, sementara ia yakin bahwa ia seorang diri di rumahnya. Pintu kamar mandi mandi berderit terbuka…. Seseorang muncul…. Dirinya sendiri!
Tinggalkan Balasan