Oleh: Atropal Asparina

 

Saat itu tampias hujan sungguh tak sopan
Tiba-tiba saja menyentuh tanganmu padahal
Gaun kondangan itu cantik mutlak paripurnamu

Hujan semakin kurang ajar!
Membesar mulai membelai pipimu
Kupacu motor demi berteduh dari sikap tak senonohnya
Senyummu lewat spion entah pada siapa
Kupasang badan sebelum menepi di pinggir rumah ibadah
Jika saja salah satu tetesmu ada yang merayap menyelinap ke selain wajah dan tangannya
Doaku pada Tuhan menantimu hujan!

Akhirnya kita berteduh dalam diam
Kau lebih suka memandang hujan ternyata, sialan!
Kerongkonganku tercekat saat
tanganmu mengayun mencoba meraba tetes hujan yang tak sopan itu
Meski ada tetes hujan yang paling edan
Yakni mereka yang tak berhasil menyentuh tanganmu lantas terjun membanting aspal seperti kalah lalu memantul menuju bawah rokmu, goblok!

Emosiku reda akibat senyum yang jelas mengarah padaku
Seharusnya senyum itu diabadikan jadi warisan UNESCO
Tapi persetan
Kini hujan mulai merasakan aroma kekalahan
Awan-awan hitam tak lagi dapat menahan nur sejati
Mereka terbirit-birit hilang kekompakan
Seperti dalam hatiku awan gelap cemburu terkikis nur yang merekah terus dan terus

Ba’da senyum itulah
Bibirmu siap mengucapkan sesuatu katamu: “Makasih ya… Udah nganter. Aku selalu suka hujan kok.”
Lalu cepat kujawab: “Sama kok.”
Dalam hati… Anjing!