Oleh: Atropal Asparina
Tempe, Roti, dodol, dan makanan lainnya, apakah anda tahu bagaimana proses pembuatannya? Dan apa hubunganya dengan tema “Kebaikan versus Kebenaran” yang menjadi sajian utama tulisan ini? Demikianlah pertanyaan yang ditempatkan di awal menjadi salah satu metode supaya tulisan tetap dibaca.
Begini, sering terdengar bahwa dakwah—dalam artian seorang penceramah menyampaikan ajaran agama kepada khalayak—diibaratkan dengan hal-hal yang berbau produk dagangan. “Dakwah itu harus dikemas secara menarik… Jelas supaya orang tertarik kepada isi dakwah.” Begitulah salah satu bebauan produk dagangan itu. Sebagai sebuah pengibaratan tentu tidak ada yang salah. Malah justru kebijaksanaan para pedagang dalam menempatkan mana “kebenaran” dan di mana “kebaikan” penting ditiru dalam (ber)dakwah.
Kacang kedelai yang berasal dari Amerika Serikat itu, direbus dalam drum besar. Pasca matang, kedelai yang ingin mengelupaskan kulitnya ditumpahkan pada tolombong bambu. Kemudian—inilah—kedelai Amerika itu akan diinjak-injak oleh kaki-kaki berbulu lebat secara terus menerus sambil sesekali diguyur air bersih. Ketika ditanya “Kenapa dengan mesin?” jawabnya enteng, “Modal. Dan rasanya jadi lain”.
Sekarang tepug terigu meluncur, tersentak dan bersarang dalam ember besar. Dibantu beberapa teknik, bahan penyerta serta air yang sudah diolah, jadilah adonan roti sebesar karung-karung terigu yang berjejer di pinggir pabrik. Kemudian—inilah—adonan sebesar badan manusia tambun itu, langsung dipanggul, disimpan di pundak seorang pria paruh baya yang tak memakai baju untuk diantar ke ruang pemotongan yang penuh ibu-ibu. “Gerahnya…” begitulah jawaban saat ditanya kenapa ia tak memakai baju saat memanggul adonan roti.
Untuk dodol kita lewat saja. Jangan tanya kenapa. Intinya, itulah proses kebenaran makanan-makanan yang tak asing di lidah kita. Dapur-dapur kebenaran rapi ditempatkan dengan bijak, sehingga hanya diketahui oleh orang yang berniat untuk mengetahui—seperti saya yang sengaja main ke pabrik tempe atau roti. Bijaksananya mereka, yang disajikan dan “didagangkan” ke khalayak, bukan kebenaran itu, tapi kebaikan. Tempe yang begitu ekonomis dan bergizi, serta roti yang sangat cocok untuk orang sakit, itulah kebaikan-kebaikan yang dimaksud—misalnya.
Dalam dunia dakwah sekarang, yang terjadi justru sebaliknya. Etalase yang ditawarkan kepada khalayak beramai-ramai dipenuhi oleh kebenaran. Sedangkan kebaikan entah disimpan di mana. Akhirnya dunia dakwah menjadi kancah perang yang sangat rentan ditumpangi berbagai kepentingan lain—politik misalnya?—yang semakin menambah riuh dunia dakwah kita—dari waktu ke waktu.
Padahal setiap dapur punya resep dan cara sendiri untuk menghasilkan makanan yang dinilainya baik. Alangkah pandir jika sesama pemilik pabrik roti atau tempe ribut soal resep dan teknik membuat produknya. Dalam skala yang lebih kecil, setiap rumah juga punya cara sendiri-sendiri meramu dan menyiapkan santapannya sendiri. Jangankan soal agama, soal masak pun jika kebenaran yang selalu dibahas dan ditampilkan pada orang lain, maka kegegeran yang akan semerbak.
Entahah silakan dijawab, kebenaran yang menghasilkan kebaikan atau sebaiknya? Atau keduanya tidak bisa diturutkan begitu? Atau keduanya tidak bsa dipisah dengan kata “versus”? atau malah semuanya boleh dan sah-sah saja? Lagi-lagi semua berhak memberikan jawabannya sendiri. tapi bagi saya sebagai penutup begini.
Kebenaran proses pembuatan makanan dengan cara “tradisional-ahigienis” seperti tempe, roti, dodol, saus, bakso ikan, lada bubuk, dan seabreg lainnya bukan berarti tanpa tantangan. Atas dasar higienisitas kesehatan dan keselamatan konsumen, cara-cara produksi makanan-makanan itu ramai digunjingkan dan beberapa diganti oleh serba mesin. Tapi bagi kaum bawah, itu artinya beberapa orang akan libur kerja, selamanya. Berarti memang, soal makanan semua pihak mempertimbangkan kebaikan yang dapat dihasilkan dengan caranya masing-masing.
Kecuali dunia dakwah kita, sebagai makanan rohani, yang pada saat bersamaan, masih ngotot bersikukuh dan terus hanya mempertimbangkan kebenaran masing-masing. Tanpa kita tahu di mana mereka menyimpan kebaikan-kebaikan yang sangat ditunggu oleh orang-orang goblok dan susah seperti saya.
25 Oktober 2020 at 11:31 am
Mantap.bahasanya bagus .saya suka karena menambah wawasan sehingga bis a melihat sesuatu dari sudut pandang lain yang tentunya positif. Teruskan pa apo
25 Oktober 2020 at 12:58 pm
Makasih Teeh…
Sekadar refleksi… he
25 Oktober 2020 at 11:54 am
Lanjutkan anak muda