Ada yang hilang ketika corona. Keadaannya dianggap membaik, namun tidak selalu menjadi kabar menggembirakan. Sebuah keluarga yang biasanya berkumpul secara kamil harus mulai ucap berpisah masing-masing menuju peraduannya.

Tidak ada yang lebih baik antara meninggalkan dan ditinggalkan.

Kasur yang berantakan kini ditiduri sepi. Gelas-gelas kotor di atas westafel, kini berbaris rapi menyisakan bau susu yang tak dicuci bersih.

Anak-anak dalam selimut kantuk mendengar pesan agama dari lisan Ibu dalam letihnya. Saban bakda fajar Bapak-Ibu mendekap kami dengan peluk nasihat. Rasa takut akan masa depan duduk menopang jantung dan paru-parunya agar senantiasa terjaga.

Kami bersimpuh berdoa pagi memulai hari.

Namun kini satu-persatu anak-anak Bapak-Ibu harus kembali pada garis jalan hidupnya. yang tak akan pernah lupa kepada kerahiman Ibu dan jalan menuju pulang.

Ada yang hilang ketika corona. Tidak saja nafas kehidupan dan orang-orang yang tercinta, namun juga keadilan hukum. Semua berlalu ketjuali berita melalui media. Akan dikunyah dengan cara yang berbeda. Semua kembali akan membincangnya tanpa bisa berjalan mundur dan memungut sisanya.

Orang-orang tahu bahwa detik yang berlalu tlah menjadi sejarah. Banyak orang enggan berpikir dan justru mengulangi kejahatan yang serupa.

Semesta yang tak pernah terlelap terlebih lagi Pemiliknya.

Nurani berbisik memenuhi jiwa Musisi menyanyikan suara kemanusiaan yang terdengar bising di telinga sebagian khalayak. Baginya manusia tidak bisa terkungkung oleh rasa takut. Terjepit lapar. Engkau begitu tegar hadapi hujatan. Demikianlah keyakinan.

Suara hati khalayak diteruskan Komedian menyiram muka keadilan hukum yang mulai mabuk. Berjalan sempoyongan namun masih sadar pada siapa harus mengabdi. Pada yang berkuasa!!!

Sudah memasuki Sore, Pak, Bu. Anak-anak semestamu harus berdoa lagi. Melanjutkan hidup. Meski sadar keberhasilan perjuangan adalah mimpi siang. Bukankah kewarasan nurani harus terjaga senantiasa?