aldiantara.kata

 

I

Ada yang mematung bagai batu.
Katak malam. Tak melawan kala kuusir.
Ia datang kembali menuju jalannya.
Lalu menjadi batu di bawah malam.
Menunggu petuah atau garis waktu yang bersinggungan.

Ritmik lompatan aneh.
Aku tak bisa perhatikan sebab dingin keji.
Hidup berupa komposisi suka dan duka bergiliran.
Cara manusia menghujat menjadi lingkaran dendam yang harus diperbuat kepada sesama.
Ada pula yang mendendam sendiri pura pura sabar.

Manusia tinggal memilih kepada siapa ia mengadu derita.
Semua orang bekerja menjadi pewarta berita.
Tentang sepasang rumah tangga diambang kehancuran.
Antara iba dan tiada niatan membantu.
Merasa senang seolah tahu.

Bayang bejana lebih panjang dari yang nyata.
Kulihat ia di malam, masih kutambahi dengan prasangka.
Gelandangan tak terlihat di gelap malam malam, tiada beri obat dingin yang menjadi demam.
Gelandangan bahkan dengan siang pun menjadi bahan tulisan.
Masih berkelit diadu kata, mereka sudah mau pergi.
Mencium wangi masakan.
Mereka mengumpat masakan enak ini sudah siap saja, waktu berbuka masih jauh.
(Ini sudah Syawwal. Padahal)

II

Di bawah jembatan yang mirip gambar landscape Google.
Sungai kecil tak mengalir berwarna kotoran.
Sabar ikan masih mau berenang.
Manusia saja yang tak mendengar kritiknya.
Pampers bayi masih tetap menggenang di tempat yg sama.

III

Pada suatu desa, orang berjalan menjinjing pahala.
Ia meminta izin berjalan lewat.
Senyum berkembang berbuah sapa.
Bahkan anak yang tipsy masih menoleh pandang.
Bolehkah kukatakan manusia modern semakin ramah dan santun?