Seingatku, saat masih duduk di bangku SD, antara kelas satu sampai kelas enam,  di antara teman-teman tidak ada yang menggunakan kacamata. Hingga suatu saat ada seorang menggunakan. Benda tersebut sudah menjadi identitasnya. “Itu lho si Jarmin yang pakai kacamata itu!” terang temanku.

Semakin bergulirnya waktu, orang-orang berdalih, “Ini nggak minus, kok. Kacamata gaya!”

Katanya, Perempuan yang berkacamata itu cantiknya double. Saat ia gunakan kacamatanya juga saat ia melepaskannya. Meskipun begitu, namanya selera, beda kepala tentu beda imajinasi. Seorang teman menasihatiku agar tidak punya pacar yang berkacamata. Sebab saat terbangun dari tidurnya, yang pertama kali dicari adalah kacamata. Hehe.

Bagiku, kini seseorang berkacamata, terlepas dari tren budaya, ialah suatu fenomena lantaran jarak pandang mata yang terbatas. Tak tembus cakrawala, sudah menabrak bangunan tinggi. Tidak menembus angkasa, sudah menembus kos-kos ekslusif, hotel, pabrik, rumah, dan bangunan semen dan beton lain. Mata manusia jadi cepat ‘rusak’. Aku yang sempat hidup dengan lumpur sawah dan sungai yang sudah agak kotor, penat dengan bangunan yang kerap menghalangi sinar matahari masuk.