aldiantara.kata

Berkabung

Hampirinya kepadaku, setiap hari berada dalam pengintaian, maut, menunggu perintah-Nya.

Kemajuan pengetahuan, pesat teknologi, seperti memberi tanda, kematian seperti suatu musim. Seperti yang kita ketahui melalui status-status WhatsApp. Memanggil manusia tanpa aba-aba.

Sebab doa adalah senjata. Kala sebagian orang dengan ragu bertanya, apa makna suatu harapan bila sudah waktunya pupus. Kepasrahan. O Tuhan. Selamatkanlah. Jangan beri rasa sakit.

Percakapan yang seperti tanda perpisahan. Tugas dan rezeki yang tlah purna. Memanggil jiwa-jiwa yang tenang. Hujan air mata di luar belumlah reda.

Berkabung.

Sementara aku yang masih hidup, takut bila seperti orang yang tiada. Dalam sebuah buku disebutkan, mengutip perkataan Ibnu Qayyim.

“Teramat jauh bedanya antara orang-orang yang telah mati tetapi hati orang lain dapat hidup ketika menyebut namanya, dan dengan orang-orang yang masih hidup tetapi hati orang lain dapat mati bila bergaul dengannya.”

Kematian yang lain

Aparat sedari malam minggu lalu sudah berpatroli sosialisasikan peraturan pemberlakuan jam malam. Kegiatan masyarakat dibatasi pada dan hingga waktu tertentu. Jam tujuh malam hampir semua jenis usaha harus tutup.

Entah mengapa aku jadi teringat dengan kata-kata Sujiwo Tejo yang kusaksikan di YouTube. Setelah menyanyikan lagu “Pada Suatu Ketika”.

“Orang miskin punya problem, orang kaya punya problem, tapi se-problemproblem nya orang miskin, masih enak-an problemnya orang kaya. Ngga enaknya, orang miskin itu kalau membunuh (secara) fisik. Kita melihatnya tidak tega. Kalau orang kaya membunuhnya: matikan usahanya (lalu) kita jadi leader market, kita ekspor benur (benih udang), dan lain sebagainya, banyak yang mati, tapi ngga kelihatan sadis padahal tiap hari terjadi ‘pembunuhan’. Yaa ayyatuhannafsu al-muthma’innah, irji’i ila Rabbiki radhiyatan mardhiyyah, fadkhuli fi ‘ibadiy, wadkhuliy jannatiy.