aldiantara.kata
Meski pada malam itu, aroma yang menyeruak adalah amis tak sedap, di tengah kota. Dari selokan-selokan yang berisi sampah-sampah. Kemudian kita menyaksikan air-air memancar pada samping jembatan pada waktu-waktu tertentu, bersahutan, berhias lampu-lampu.
Engkau bertanya, “Seberapa lama jarak waktu yang dibutuhkan agar suasana malam dapat dengan indah terkenang pada muara ingatan, tanpa perlu dipantiknya lalui gambar kamera tanpa perlu mendengar cuplikan obrolan yang tak sengaja didengar kedai-kedai kopi yang naik daun (janda bolong?) tanpa perlu di antara kita membahasnya tanpa perlu di antara kata mencari-cari pembahasan sebagai bahasa kenang tanpa perlu melihat buah tangan yang terpampang di atas almari ruang tamu tanpa perlu kau terjemahkan air wajahku sebagaimana kita pernah laluinya tanpa perlu lama-lama tertegun mengenang hingga takut rencanakan perjalanan mendatang.
Di Jalan Simongan, tak terhitung jemari tangan engkau tunjuk satu per satu bangunan asing, engkau bisikkan aksara-aksara yang mewujud, terbaca dalam alam pikiranmu dari jalanan panjang terik menuju senja. Hingga pada batas kota, yang sama-sama kita lalui dengan perasaan asing, menerima keramahan, rencana untuk mengunjungi kembali, tanpa perlu mengosongkan memori masa lalu.
Lalu engkau bertanya perihal kemana kini hujan berlabuh. Mega senja yang mulai nampak oranye, jingga, hingga menuju gelap yang tiba-tiba tanpa kita sadari saksikan, setelah sekian lama kita menjumpai sore dengan langit kelabu berhari-hari. “Hujan rintik-rintik, amat kecil, yang bahkan tak bisa untuk mencuci tangan.” Bisikmu pada suatu sore. Ia hendak menjemput siapa, yang rindu pada hujan, disangkakan sebab bencana, menggenang-genang barang di kota.
Di Jalan Simongan, engkau memutar siaran televisi yang memuat berita-berita terpilih untuk dibacakan. Sesekali bosan, engkau gulirkan visual-visual gawai yang engkau lihat sambil merebah. Rilis lagu-lagu baru, peristiwa-peristiwa baru, kasus-kasus baru, usaha-usaha baru seleb centang biru, foto-foto baru, sudut pandang baru, komentar-komentar baru, rekayasa baru.
La-la-la-la-la-la-la
Boleh lupa kain dan baju
Jiwa manis, indung disayang
La-la-la-la-la-la-la-la, oh, janganlah lupa
Janganlah lupa kepada saya……
Keroncong Kemayoran, yang kita dengarkan pada malam, sembari mengantri pesanan es kopi, bekal menghadapi malam yang cerah gerah.
Nun jauh lagu merdu nada malam
Berkumandang melarasi
Tebaran cahya candra nan indah adi
Menghiburkan risau hati
Senandung hati
Ingin pula menggugah indahnya alam
Namun tiada sebentuk kata pujangga
Sepadam untuk memuja
Ah…. Giliran lagu Keroncong Candra…
Tinggalkan Balasan