aldiantara.kata
Di Jalan Bali, Klaten, selepas Maghrib, aku mendongak ke arah langit adakah hujan yang tiba-tiba akan turun. Kendaraan roda dua berjalan dengan lamban melihat-lihat adakah jajanan sesuai selera.
“Mau duduk di atas kursi taman itu, yang sudah diklaim Wedang Ronde Indri?”Tanya pengunjung.
Es potong yang payu memancing hujan di tengah gerah.
Ayam goreng presto Bu Eny, terbalut telur dan sambal segar.
Mencari awal kata, kini sulit sekali membuka obrolan. Sama halnya mencari awal kata memulai tulisan. Sebelum semua kembali menunduk dan menatap layar gawai. Video terputar tanpa konteks real time, mengabaikan kawan. Terbahak mengetuk kembali pintu-pintu maya.
Suara lato-lato. Sambatan-sambatan online di jagat Twitter.
Sepi ramai pengunjung bergilir mendatangi pedagang.
Aku hanya takut jika siang dan malam adalah sama, sebagai tempat transaksi. Adakah suatu tempat yang terlepas dari transaksi. Bahkan para pejalan malam bertransaksi menukar sepi dengan ramai. Di Jalan Bali. Adakah sesuatu yang tak bisa ditawar, yang tak bisa dibeli. Kehidupan yang sejatinya bebas, harus ditukar dengan rutinitas-rutinitas yang tak diinginkan, menggadainya untuk berjudi pada masa depan mencukupi standar-standar hidup tak masuk akal. Takut berbeda dan dianggap tak normal?
Kebebasan barangkali ada pada tanggal merah, kerap ditukar pula untuk upload-an sosial media.
Tetiba aku rindu pada Lawu. Pada seorang pendaki paruh baya yang bertemu di tengah pendakian. Ia seorang diri dan kerap melakukan perenungan-perenungan pada tanah landai sebelum beranjak pada pos sebelum puncak. Rutin ia mendaki seorang diri saban bulan. Baginya, Lawu adalah tempat paling pribadi antara dirinya dan kekasihnya semasa hidup.
Kini, apakah penyair ada bertransaksi menjual kata-kata, kerelevanan, kalimat yang ‘mengena’.
Banjir yang menggenang sebagian kota, permasalahan kemanusiaan yang urung rampung, adakah menjadi bahan transaksi dan janji-janji politik.
Sementara, aku teringat pada seorang lelaki dengan pakaian atasan compang-camping, tak bercelana, berjalan bebek di bawah hujan, mencabuti rumput-rumput liar sepanjang jalan sebelah perguruan tinggi. Adakah justru ia yang terjaga kewarasannya di tengah arus budaya yang barangkali sejatinya tak waras. Ia bertransaksi untuk apa dan siapa.
Tinggalkan Balasan