aldiantara.kata
Apa yang sesungguhnya menjadi dasar, barangkali bermula dari hadis-hadis berikut. Tentang bagaimana kaitan antara i’tikaf dan “menghidupkan malam” pada akhir Ramadan.
“Barangsiapa beribadah (menghidupkan) bulan Ramadan dengan iman dan mengharap pahala, maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu,” (HR Bukhari dan Muslim).
Atau pada hadis lain,
Dari ‘Aisyah ra., ia berkata, “Rasulullah Saw. biasa ketika memasuki 10 Ramadan terakhir, beliau mengencangkan sarungnya, menghidupkan malam-malam tersebut dengan ibadah, dan membangunkan istri-istrinya untuk beribadah.” Muttafaqun ‘alaih. (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam buku Kontemplasi Ramadan Nasaruddin Umar memahami i’tikaf sebagai sikap ‘uzlah (pemisahan diri) sementara dari hiruk pikuknya pikiran ke sebuah tempat yang sejuk dan nyaman. Di dalamnya diisi dengan membaca al-Qur’an, shalat, tafakur (perenungan) dan berzikir.
Setengah dekade lalu, i’tikaf sebagai sebentuk ibadah pada sepuluh malam terakhir Ramadan masih relatif sederhana. Masjid-masjid yang tak mematikan lampu utamanya setelah tarawih, beberapa di antaranya sengaja redup. Serta para para ibad al-rahman yang mencari posisi yang dianggapnya nyaman, berjarak dengan orang lain dengan menenteng tas berisi al-Qur’an dan buku-buku.
Suara-suara lantunan ayat suci yang dibacakan dengan nada yang lirih, suara lutut yang bertemu dengan tanah saat hendak lakukan sujud salat sunah.
Suasana begitu tenang dan nyaman untuk melakukan kegiatan reflektif pada sela zikir dan membaca kitab suci. Hidupnya malam saya rasa demikian. Terkadang saya membuka catatan lalu menulis outline tulisan dari ide-ide yang tiba-tiba muncul saat perenungan.
Namun, kini situasinya berbeda. Kehidupan manusia nampaknya tidak merasa secara utuh berada dalam dunia interaksi nyata sebagaimana dapat diterawang dan sentuhan langsung. Aktivitas manusia baik secara individu atau komunal mendapat tempatnya di jagat maya atau media sosial.
Pada bulan Ramadan kini, ragam aktivitas dan program komunitas hingga masjid-masjid dipromosikan tidak hanya melalui papan pengumuman atau Pak Takmir yang memberitahukan para jamaah. Melainkan melalui flyer yang dibuat seindah dan semenarik mungkin di media sosial.
Dari info sajian takjil, ‘bintang tamu’ yang menjadi penceramah tarawih, tabligh akbar, hingga di antaranya program i’tikaf pada sepuluh hari terakhir Ramadan.
Khusus yang terakhir ini, i’tikaf sebagai sebentuk ibadah yang akrab dalam horizon pengalaman pribadi dalam suasana tenang dan sunyi, kini menjadi gegap gempita, ajang kontestasi hingga komodifikasi.
Memang saya menemukan pemahaman dalam kitab al-Fiqh al-Manhaji ‘ala al-Mazhab al-Imam as-Syafi’i yang menjelaskan mengenai sunah saat melaksanakan i’tikaf, di antaranya menyibukkan diri dengan melaksanakan ketaatan pada Allah, seperti berdzikir, membaca Al-Qur’an dan diskusi keilmuan. Namun kini tidak hanya kepada keilmuan agama, melainkan pelatihan softskill dalam tajuk sharing is caring.
I’tikaf kini sebagiannya menjadi program berbayar dengan ragam ‘benefit’ yang akan didapatkan. Seperti tempat tidur, coffee break, snack, dan makan sahur. Makan sahur dalam beberapa masjid disediakan dalam bentuk kupon.
Bahkan saya menemukan program sebuah masjid yang mengadakan program i’tikaf. Setelah mendaftar, peserta i’tikaf mendapatkan: tas bagwash wadah untuk alat mandi, buku dzikir pagi-petang, tasbih digital, bahkan beauty water untuk wajah. Selain itu disediakan pula kopi radix dan pop mie.
Uniknya, ada pula yang memasukkan perlombaan di dalamnya. Di antaranya ada lomba untuk menjadi peserta terbaik i’tikaf. Terdapat pula beberapa lomba seperti hafalan zikir pagi dan petang, hafalan asmaul husna, hafalan ayat popular seperti QS. Al-Kahfi ayat 1-10 dan ayat 1-1-110. Lagi, hingga di penghujung acara penutupan semua peserta i’tikaf mendapatkan ‘benefit’ berupa beras, gula pasir, dan kurma cokelat.
Seiring berkembangnya teknologi dan media sosial, i’tikaf tidak lagi menjadi ibadah yang rahasia nan pribadi. Kini tercapture melalui status-status WhatsApp dan Instagram dengan nuansa narsistik. Beberapa pula ada yang dijumpai asik memainkan gawainya dan streaming sepakbola.
Keadaan yang cukup kontras antara keadaan dulu dan kini perlu dikhawatirkan i’tikaf menjadi kehilangan substansinya dan menjadi sebatas euforia semata.
Saya jadi teringat dengan tulisan-tulisan Cak Nun dalam bukunya Tuhan pun “Berpuasa”.
I’tikaf sebagaimana dalam pemahaman Cak Nun, merupakan ruang kontemplasi untuk memikirkan kepentingan kita, apakah bersifat pribadi kultural yang dikonstruk oleh masyarakat dan capaian-capaian diri, kuantitas pahala atau ketauhidan yang berdampak dalam memeriksa secara reflektif terhadap kesehari-harian kita.
“Cobalah engkau beri’tikaf malam-malam. Engkau hitung hubungan-hubungan global maupun parsial, kaitan-kaitan makro maupun mikro, sentuhan-sentuhan permanen maupun temporer, antara kegiatan puasa dan riuh rendah kepentingan pribadi atau golongan yang bersemayam di dalam hati dan otak kepalamu.”
Seperti biasa, Cak Nun tak pernah terlewat melontarkan kritik sosial dalam cara berpolitik secara ideal melalui ajuan pertanyaan reflektif, “Apakah sesudah memasuki hakikat Ramadan, engkau yang terlibat di dalamnya mampu menghikmahkan puasa padanya? Mampukah seorang pemimpin dan “Bapak” memerdekakan diri dari rantai kepentingan kekuasaan yang notabene bersifat golongan? Mampukah tokoh yang semestinya bersifat mengatasi kepentingan-kepentingan subjektif diri dan golongannya sendiri serta kepentingan subjektif diri dan golongannya…demi kepentingan yang lebih tinggi? Yakni kepentingan kolektif, kepentingan bangsa…kepentingan kemanusiaan…”
Sikap-sikap kontemplatif ini yang nampak pudar dalam ‘seremonial’ i’tikaf kini. Sebab sikap-sikap kontemplatif ini yang menentukan perubahan sikap fundamental dalam sehari-hari manusia. Juga menunjukkan hasil bulan pendidikan dalam puasa Ramadan agar kian progresif menjadi pribadi yang takwa, termasuk di dalamnya saleh secara sosial.
Kaitannya dengan i’tikaf, sikap kontemplatif ini menjadi penting agar tidak hanyut dalam euforia dan konstruk sosial, serta kontestasi-kontestasi di dalamnya.
Bahkan Cak Nun, meluaskan pengertian i’tikaf tidaklah harus dalam keadaan bersila atau bersujud di atas tikar atau karpet masjid. Beri’tikaf dapat dilakukan sewaktu-waku. Tak dibatasi oleh tempat atau aktivitas yang dikerjakan. Dalam semua keadaan itu batin beri’tikaf, yakni jiwa merenung, pikiran yang terkonsentrasi kedalamannya kepada Allah. Wallahu A’lam Bishawab.
“Kalau ada orang kesepian, jangan tanya apa partainya, langsung saja sapa dia dan sayangi dia, agar engkau mendapatkan pintu untuk bersamanya meningkatkan diri ke kepentingan yang lebih tinggi, yaitu tauhid ilahiyah.” –Emha Ainun Nadjib
Tinggalkan Balasan