aldiantara.kata

 

  1. “Saya selalu percaya bahwa inspirasi bukanlah sesuatu yang bisa saya datangkan, namun inspirasilah yang mendatangi saya” Djenar Maesa Ayu dalam pengantar dalam buku 1 Perempuan 14 Laki-Laki.
  2. “Yang terlupakan adalah waktu yang mengalir dalam lautan debar, samudra getar, cakrawala harapan.” Djenar Maesa Ayu dalam cerpen “Waktu Nayla” dalam buku Mereka Bilang, Saya Monyet!
  3. “Tapi mimpi juga terbatas waktu. Debaran itu mendadak buyar ketika terdengar suara ketukan pembantu di pintu kamar. Suara kokok ayam. Kicau burung. Kemilau sinar matahari menerobos jendela.” Djenar Maesa Ayu dalam cerpen “Waktu Nayla” dalam buku Mereka Bilang, Saya Monyet!
  4. “Semua orang harus tepat waktu sampai di tujuan. Semua orang tidak punya kesempatan untuk sekadar berhenti memandang embun sebelum menitik ke tanah. Semua orang melangkah bagai tidak menjejak tanah.” Djenar Maesa Ayu dalam cerpen “Waktu Nayla” dalam buku Mereka Bilang, Saya Monyet!
  5. “Karena itu juga Wong Asu menulis? Membunuh kesepian. Memberinya terapi untuk diri sendiri.” Djenar Maesa Ayu dalam cerpen “Wong Asu” dalam buku Mereka Bilang, Saya Monyet!
  6. “Manusia dengan naluri anjing jauh lebih rendah daripada anjing.” Djenar Maesa Ayu dalam cerpen “Wong Asu” dalam buku Mereka Bilang, Saya Monyet!
  7. “Sastra itu bukan sekedar seni menyusun kata-kata, lebih penting lagi adalah bagaimana seseorang telah sampai kepada pilihan kata-kata yang disusunnya itu—yakni bentuk perhatian seorang penulis kepada dunia dan kehidupan sekitarnya.” Seno Gumira Ajidarma dalam testimoni buku Doa untuk Anak Cucu – W.S. Rendra.
  8. “Dalam kuliah itu ia mengatakan bahwa puisi-puisinya merupakan ‘Yoga bahasa’. Yaitu semacam ruang ibadah. Dan, kemudian ia lebih tebal mengatakan: ‘puisiku adalah sujudku’.” Catatan Editor buku Doa untuk Anak Cucu – W.S. Rendra.
  9. “Pernyataan Rendra dalam sebuah wawancara dengan seorang wartawan. ‘Mengapa Anda begitu berani melancarkan protes terhadap praktik pembangunan oleh pemerintah?’ Rendra menjawab, ‘Saya protes dan bersikap kritis terhadap pemerintah bukan lantaran saya berani. Malah sebaliknya, karena saya takut apa yang bakal menimpa anak cucu di masa depan.’ ” buku Doa untuk Anak Cucu – W.S. Rendra.
  10. “Jika kita membuka sejarah hidup sastrawan, menulis baginya adalah kebutuhan, dan sebab kebutuhan itulah maka penyair Carl Sanburg (Chicago, USA) tak demikian peduli apakah sajaknya mendatangkan uang atau tidak. Tetapi baginya, dimuat di jurnal Chicago Poems adalah menjadi harapannya, 20 tahun kontinyu Carl Sanburg mengirim sajaknya ke jurnal itu dan barulah dimuat. Setelah pemuatan pertama itu kemudian terus menerus karyanya dimuat, dan dalam tahun yang sama Sanburg, mendapatkan Pulitzer, hadiah terhormat USA untuk dunia kepenulisan.” Buku Sastra Pencerahan – Abdul Wachid BS