aldiantara.kata
Aku kerap mengira bahwa orang dengan profesi dokter sudah bejibun banyak. “Kalau sudah banyak dokter, lalu siapa yang sakit?”. Atau muncul ungkapan “Kenapa tidak banyak minat orang-orang kepada jurusan sosial keagamaan yang bukan ‘lahan basah’; lulusan susah cari kerja. Akan tetapi pandanganku berubah setelah mengikuti suatu acara talkshow yang diselenggarakan oleh KBR.id dengan tema Lika-Liku Peran Dokter di Tengah Pandemi. Acara ini juga sekaligus memperingati hari dokter nasional yang biasa diperingati setiap tanggal 24 Oktober.
Acara ini dipandu oleh Rizal Wijaya. Adapun yang menjadi pemateri acara ini adalah dr. Ardiansyah, selaku pengurus Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan dr. Udeng Daman selaku Technical Advisor NLR Indonesia. NLR sendiri merupakan sebuah organisasi non-pemerintah yang didirikan di Belanda pada tahun 1967 yang berfokus untuk menanggulangi kusta dan konsekuensinya di seluruh dunia. Saat ini NLR beroperasi di Mozambique, India, Nepal, Brasil, dan Indonesia.
Aku pernah mengikuti acara bedah buku karangan Eko Prasetyo yang berjudul Orang Miskin Dilarang Sakit. Penulis buku tersebut memiliki banyak keresahan dalam bidang sosial-kesehatan. terutama mengenai BPJS Kesehatan yang kurang tepat sasaran, anggaran jaminan kesehatan yang banyak menanggulangi penyakit-penyakit gaya hidup yang tidak sehat, tidak meratanya penyebaran tenaga kesehatan hingga pelosok-pelosok terpencil, hingga sekolah kesehatan yang tidak murah. Eko Prasetyo bercerita perihal tenaga kesehatan dibutuhkan di Yogyakarta pada masa pandemi sekitar 300 tenaga kesehatan, namun yang mendaftar hanya sekitar 60 tenaga kesehatan. Angka tersebut perlu dipertimbangkan untuk ukuran Yogyakarta sebagai salah satu kota besar di Indonesia.
Dr. Ardiansyah menjelaskan mengenai rasio ideal jumlah dokter untuk mengakomodir kesehatan masyarakat. “(jika mengacu) rekomendasi WHO adalah satu dokter per seribu penduduk. Kalau dokter kita sudah diangka 240 ribu, sementara dokter umum sudah di angka 150 ribu, jika dibandingkan dengan penduduk kita (Indonesia) berjumlah 270 juta kurang-lebih, masih kurang jika mengikuti rekomendasi WHO Belum tercukupi. Meskipun ada juga standar yang menggunakan 2.500 atau 5.000 penduduk. Jika dibandingkan dengan negara Malaysia dan Singapura, mereka sudah lebih satu (jumlah dokter ideal dari penduduknya). Kita masih kurang sekitar 70.000 dokter. Setiap tahunnya kita bisa menghasilkan 12.000-13.000 sarjana kedokteran. Dalam 5-6 tahun sebetulnya dapat terpenuhi rasionya. Namun panjangnya proses pendidikan dokter menyebabkan para calon dokter tidak dapat lulus secara serentak.”
Beliau juga menambahkan bahwa dokter memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat dan negara, diakui atau tidak. Rasio jumlah dokter di Indonesia terbilang sangat rendah sebesar 0,4 per seribu penduduk. Hal itu artinya hanya ada empat dokter untuk melayani 10.000 penduduk, dan jumlahnya semakin mengkhawatirkan khususnya setelah terjadi pandemi covid-19, hampir dua ribu tenaga kesehatan berguguran, yang dampaknya pelayanan kesehatan menjadi tidak optimal.
Salah satu kelompok terdampak adalah pasien kusta. Pada beberapa kasus mereka terpaksa putus obat dan tidak mendapat pelayanan. Akibatnya temuan kasus baru menurun karena pelacakan terhadap kasus ini menjadi terbatas, sementara angka keparahan atau kecacatan diakibatkan penyakit ini meningkat. Talkshow yang bertemakan lika-liku dokter pada masa pandemi tersebut secara umum berbicara mengenai upaya perjuangan para dokter dalam memberikan pelayanan secara optimal dan tantangan yang dihadapi para dokter dan tenaga kesehatan khususnya kusta di tengah pandemi.
dr. Ardianysah menceritakan bahwa di tengah pandemi, tenaga kesehatan tetap melakukan pelayanan di fasilitas masing-masing. Seperti di Puskesmas, klinik, rumah sakit, atau praktik mandiri, hal itu tentu harus kita lakukan. Selain itu juga dilakukan edukasi kepada masyarakat. Hal terpenting memang kesadaran masyarakat dalam mematuhi protokol kesehatan. Dengan kata lain, di tengah pandemi, selain peran dokter dan tenaga kesehatan, penting kiranya kerja sama masyarakat dalam mematuhi protokol kesehatan yang telah dicanangkan agar tidak terjadi penularan wabah secara masif.
dr. Udeng ketika memaparkan penjelasan mengenai penyakit kusta, berdasarkan data dari Kemenkes, di Indonesia terdapat beberapa kabupaten yang masih belum tereliminasi. “Situasi endemisitas setiap daerah tentu berbeda-beda, mulai dari lingkungan, sosial ekonomi, kesehatan, kepadatan penduduk serta perilaku hidup bersih.” Terlebih jika terdapat penyintas kusta pada sebuah daerah terpencil yang belum terdapat dokternya, hal ini menjadi tantangan tersendiri. Penting untuk meningkatkan kapasitas petugas dan rujukan dalam penanganannya. Setiap pasien kusta yang datang kepada suatu fasilitas kesehatan, perlu pelacakan kontak penyintas terdekat.
Ardiansyah menambahkan, “Kita perlu pemerataan distribusi tenaga medis khususnya di daerah-daerah terpencil, tidak hanya jaminan kesehatan, namun jaminan keamanan, pendidikan, dan lain-lain, semuanya perlu dicarikan jalan keluar. Idealnya distribusi dokter dari jumlah penduduk 270 juta semestinya tersedia 270 ribu.”
Ketakutan tertular saat melakukan pelayanan kesehatan terhadap masyarakat bagi dr. Ardiansyah adalah manusiawi, namun selama sudah protokol kesehatan, semua menjadi kewajiban, terlebih ada sumpah dokter akan selalu melakukan pelayanan kesehatan bagaimana pun kondisinya.
“Kita ingin pandemi segera berakhir. Kita ingin kehidupan yang normal setelah pandemi.”
Idealnya setiap fasilitas kesehatan harus dapat menangani penyintas kusta. Termasuk dokter praktik swasta hingga rumah sakit harus bisa menangani. Setidaknya dapat aware terhadap kusta sehingga ketika mendiagnosa penyakit kusta dapat memberi rujukan kepada puskesmas terdekat karena obatnya terdapat di puskesmas atau rumah sakit. Semua sudah ada sistem rujukan. Baik puskesmas, rumah sakit dan dinas kesehatan semua sudah terintegrasi dalam penanganan penyakit.
Selanjutnya, menurut dr. Udeng, penanganan kusta harus diperiksa secara langsung. Penggunaan telemedisin hanya membantu untuk mengarahkan suatu pasien terkena kusta atau bukan. Uniknya program di puskesmas kalau ada pasien kusta, harus diperiksa. Tidak bisa jika hanya ditelepon atau dilihat gambarnya. Terdapat kardinal sains yang harus ditentukan itu menjadi diagnosa kusta sehingga dapat diobati. Misalnya jika terdapat yang mengeluh kelainan kulit dan mati rasa. Maka telemedisin hanya membantu mengarahkan, selebihnya perlu pemeriksaan lebih lanjut dengan diperiksa dengan kapas, gangguan fungsi saraf, dan lain-lain.
Penyakit kusta merupakan salah satu penyakit yang menular, beberapa dijumpai di berbagai daerah, namun tidaklah sederhana. Lantaran stigma terhadap penyakit ini sangat tinggi. Penyintas penyakit ini cenderung lebih banyak menyembunyikan. Terlebih sebagian masyarakat masih menganggapnya sebagai aib. Selain pengobatan yang perlu ditingkatkan, upaya sosialiasi agar tingginya stigma penyakit ini diatasi perlu dilakukan. Sebab stigma yang tinggi terhadap penyakit ini tidak hanya berasal dari masyarakat, namun juga dari petugas kesehatan.
Sebelum pandemi, dalam upaya penanganan kusta memang harus komprehensif, tidak hanya dalam case management, namun juga upaya preventif, pengobatan, dan rehabilitasi medik. Dalam kaitan saat pandemi, penanganan di lapangan tentu ada penyesuaian. Nampak terlihat kegiatan penanganan cukup terbatas, namun tetap ada solusi. Misal dengan pemeriksaan door to door, komunikasi WhatsApp, dan lain-lain. Memang perlu diakui terdapat penurunan terhadap penemuan kasus baru selama pandemi. Kemungkinan karena tidak terdeteksi. Dengan adanya pandemi, keadaan diperparah dengan tidak sedikitnya dokter yang gugur, hal ini berimbas terhadap pelayanan kesehatan terlebih dalam penanganan penyakit kusta dan penyakit-penyakit lainnya. Poin penting dalam penangan kusta saat pandemi adalah menjaga protokol kesehatan. Selama itu dilakukan, pelayanan tetap dapat diberikan secara optimal.
Para pemateri dari talkshow pada akhirnya memberikan gagasan sebagai upaya penguatan tenaga medis di tengah pandemi. Distribusi dokter pada daerah prioritas dengan endemis tinggi harus ada. Kemudian perlu ada peningkatan kapasitas petugas kesehatan. Perlu pelatihan formal dan informal. Hal ini tentunya memerlukan biaya tambahan. Di samping itu pelatihan ini jarang dilakukan. Padahal pelatihan-pelatihan tersebut menjadi penting untuk mempertajam kompetensi dokter dan petugas kesehatan. NLR sendiri memiliki program agar Indonesia bebas kusta, zero leprosy, zero disability dan zero stigma.
Tinggalkan Balasan