aldiantara.kata
Sampai pada suatu titik, aku bertanya kepada diri sendiri, “untuk apa yang aku lakukan selama ini, sejauh ini, sedalam ini.” Banyak merenung, melakukan refleksi seakan menjadi suatu hal yang sia-sia. Orang memperkenalkan sebagai penulis refleksi bak seorang anak yang gemar menulis diari keseharian, atau orang dewasa yang gandrung menulis jurnal. Rasanya tak ada hal patut dibanggakan. Pada mulanya.
Sudah hampir setahun kira-kira menuju kediaman Ikal, yang bekerja pada sebuah penerbit. Aku kerap duduk di meja kerjanya yang nampak biasa saja, tidak ekslusif. Ada segaris merah secara vertikal pada sebelah kiri layar komputernya kala dinyalakan.
Foto Dian Sastro. Terpampang. Pada dinding yang sudah kusam. Gelas kopi sisa sedikit bercampur ampasnya, yang diejek rekan kerjanya sebagai jamu. Pahit. Sela-sela keyboard berhias pernak-pernik puntung rokok. Namun obrolan semalam, kau bilang malah sebal dengan Raisa yang nyata-nyata pendukung Red Devils. Kau kira Dian Sastro pendukung The Reds?
“Aku baru coli semalam”, kau ceritakan segera. Kau sesalinya dan berdoa a la tarikat yang memulai lembaran baru ketika mandi besar.
Kau cekikikan melihat cermin. Kala yang berada di depanmu adalah bayang masa lalu yang terjaga di sudut ingatan, “Jangan yang kiri terus, Mas. Gantian.”
Cermin yang hingga kini belum kunjung kau bersihkan. Berwarna jenuh.
Hal ini bukan soal keringat, katamu, melainkan perihal gairah yang pernah menemukan muaranya.
“Jangan sampai kau temukan buaya wanita.” Pesanmu.
Duh. Namun yang kutemukan kemudian malah angkringan dekat tempatmu bekerja. Pisang goreng panas, es susu tape serta nasi oseng jamur yang pedas. (Kok kamu ngga bilang sejak dulu kalau ada angkringan seenak ini di dekat tempat kerjamu?)
Kita menyantapnya. Sambil melihat pelanggan menunggu pesanan gembus goreng yang minta dimasak lebih kering.
Beberapa orang pulang kerja merapat menyuapi rasa lapar. Kau selesai makan duluan. Cekikikan membaca komentar kepala desamu yang memberi sticker pada postingan Facebook merespon postinganmu.
“Pesan tersampaikan.” Ujarmu puas.
“Aku cuma nanya dan meminta keterbukaan informasi publik mengenai program desa. Kok yo tiba-tiba gapura desa direnovasi. Apa karena agar truk-truk proyek leluasa masuk ‘membangun’ ndesa? Kok warga tidak ada yang tau. Tau tiba-tiba.”
UU No. 14 Tahun 2008 Pasal 7 tentang Keterbukaan Informasi Publik, “Setiap Informasi Publik bersifat terbuka dan dapat diakses oleh setiap Pengguna Informasi Publik.”
Padahal termasuk kawasan ruang terbuka hijau. Korporasi semakin liar saja membakar ambisi pribadi pemangku kuasa. Mau dibangun apa lagi, sih?
Memang ya, suara dari nurani tidak bisa disangkal. Seakan kau tak sadar bahwa kau telah berteriak melawan. Padahal pemberontak bukanlah sebuah profesi. Namun aku merenung, hal itu termasuk sebentuk syukur atas kepekaan terhadap keadaan sekitar.
Seakan kau bersuara tanpa rencana. Mewakili suara-suara yang tertahan pada kesunyian.
Kupikir-pikir, aku sempat kesal kala aku sebagai ‘tamu’ perantauan, sementara kau adalah si tuan rumah, kau bertanya, “sudah menahun tinggal di sini menempuh kuliah, apa sih yang udah kamu berikan untuk kota ini?” Selama-lama aku berpikir, pertanyaanmu itu sebentuk cintamu kepada tanah airmu, kan? Ah, diksiku salah, cinta memang tak menempati ruang dan batas…
Kau bercerita tentang dirimu yang menjadi relawan membantu para korban ketika Gunung Merapi meletus 2006 dan 2010. Sembari kau membuka topi dan membenarkan rambut, kau bilang, “Dulu rambutku lurus, tapi terkena abu vulkanik, entah kenapa sejak saat itu rambutku jadi ikal.”
Kau nampak berpikir. Tidak ada turunan dari siapapun yang memiliki rambuk ikal. Hanya kau seorang di keluarga. Kau menjadi semakin yakin dengan ‘jasa abu vulkanik’.
Setelah sendawa, kau nyalakan sebatang rokok kretek produksi Kudus, kubertanya, “Kau tak takut hilang?”
Sebenarnya aku tak berharap mendapat jawabannya, aku malah tertarik menafsirkan makna ikal rambut berkat abu Merapi.
Mungkin sedjak itu ia resah. Sedjak itu ia skeptis dengan keadaan yang tenang. Sedjak itu ia gelisah, sedjak itu ia melawan. Sedjak itu pula ia siap menghilang.
Pantas saja menjadi ikal. Sebagaimana keresahanmu yang melingkar jalar.
Apa kau juga membaca berita perihal cukong-cukong di Sangihe yang sedang berpesta dengan izin usahanya yang kontroversial. Apa kau masih memperingati kasus Munir yang takkan pernah terungkap.
Ah, kau sudah pasti pura-pura tak mendengar. Sibuk membenarkan rambut ikalmu yang tak bisa kembali sediakala. Memang tak ada jalan untuk pulang. Dan aku? Aku malah mulai merasa bahwa inilah alasan mengapa aku menulis tulisan refleksi. Kebanggaan mampu menceritakan kisah-kisah hebat si ikal pemberontak.
Kau lihat televisi semalam? Nunung Srimulat sudah terbahak di televisi, setelah sebelumnya pernah candu obat-obatan. Candu kuasa lebih susah direhabilitasi, kan?
Kita juga pecandu. Pada pinggang-pinggang kekasih yang sudah dingin dan merasa rindu berguncang.
Tinggalkan Balasan