aldiantara.kata

 

Suatu negeri Nenek Moiang, yang sudah ditinggal kakek entah dari zaman apa. Negeri tersebut dipimpin oleh seorang kepala suku. Dengan sikap yang aneh. Membingungkan. Ia bukan seorang terpelajar, agamawan, atau seorang yang kaya raya.

Ikatan Dokter Nenek Moiang (IDN) bahkan masih memvonis kesehatannya baik-baik saja, disuntikkan vaksin secara berkala tidak berpengaruh apa-apa. Kepala suku tak kalap dengan tawaran jabatan dan ribuan kilo emas meski sudah dihadapan.

Kepala suku yang sudah memutuskan sesuatu, takkan berubah. Tak bisa disuap. Ia hanya bisa makan dari kedua tangannya sendiri. Sebetulnya masyarakat memiliki hak untuk tidak setuju terhadap kebijakan-kebijakannya, namun  selalu saja mereka memilih untuk menyerahkan urusan kepada kepala sukunya.

Padahal kedua tangannya tidak terlalu tampak kekar, tak terlalu kuat, wajahnya biasa saja, jauh dari kata rupawan. Apalagi disandingkan dengan Arya Saloka. Kepala suku yang nyaris tak memiliki keistimewaan apapun.

Kepala suku sudah sedari awal terpilih, karena ia terlahir sebagai seorang pemimpin. Tinggal sejak lama di negeri Nenek Moiang. Paling tahu soal sejarah masyarakat yang sangat bergantung pada ca kangkung, tahu tempe dan sambal.

Desas-desus katakan, bahwa ia hanya tertarik pada matahari senja dan hijau alam.

Pernah ada sekelompok pendatang yang tiba dari negeri Cucu Saha. Kepala suku menyambutnya dengan penghormatan sebagai penghuni di bumi manusianya. Mereka pendatang membawa banyak hewan ternak, dan hasil tambang bernilai tinggi.

Kekayaan mereka tak sedikit pun melunturkan kharisma kepala suku. Harta mereka tak bisa membeli pengaruh dan kebijakan di negeri ini.

Banyak kalangan menilai negeri Nenek Moiang sebagai negeri hijau terakhir di bumi, sementara negeri-negeri lain yang meski sudah lebih memiliki ‘kemajuan peradaban’, nyatanya bencana banjir kerap menamui mereka. Membabat alas-alas demi pembangunan serampangan.

Maka negeri Nenek Moiang sangat menghormati hujan. Perlambang rahmat Tuhan, yang memberi kesuburan kepada tetumbuhan dan juga air yang mengalir.

Sore hari, kepala suku  seperti biasa duduk memandangi pantai. Burung-burung yang terbang terlihat seperti siluet. Beterbang ke arah matahari yang terbenam. Seorang warga menghampiri, mengabarkan ada seseorang mencari kepala suku, dari negeri Apa Tere.

Setelah pertemuan selesai. Kepala suku mengabarkan kepada seluruh warga mengenai kabar bahwa di bawah tanah yang mereka pijak memiliki hasil tambang yang menjanjikan bila dilakukan pengolahan.

Warga masyarakat sudah tahu bahwa kepala suku takkan setuju bila harus mempertaruhkan lahan negeri Nenek Moiang. Seorang warga berdiri, mengabarkan bahwa sebelumnya terdapat seorang mata-mata dari negeri Apa Tere yang sedang survei lokasi, bertanya kepadanya,

“Agama mayoritas di sini apa?”

“HAHAHAHAHA” seluruh warga sontak tertawa sejadi-jadinya.

Keesokan harinya, mata-mata negeri Apa Tere belum juga menyerah. Mereka sebelumnya menggali banyak  informasi mengenai negeri Nenek Moiang, sejarah serta apa yang menjadi peluang untuk memuluskan proyek.

Pada saatnya mereka harus menghadap kepala suku dengan suatu pertemuan rahasia.

“Aku tahu, bahwa selama ini negeri Nenek Moiang bukanlah negeri sekedar nama lama. Nenek Moiang sebetulnya masih hidup, bukan? Ia masih tertidur lelap, namun penyakitnya belum ditemukan obatnya. Di sebuah tempat ia terbaring. Menderita sebuah kutukan.”

Kepala suku terheran dengan rahasia negeri yang selama ini tertutup rapat, tlah diketahui oleh manusia di negeri seberang. Nenek Moiang merupakan seorang ratu. Satu yang pasti bahwa penawar kutukan itu bukan berasal dari rempah-rempah atau vaksin, melainkan ciuman dari bibir Kakek Moiang atau turunannya.

“Di negeri kami, Apa Tere, ada seseorang yang merupakan keturunan kakek Moiang. Bukankah bila Nenek Moiang siuman, negeri ini selama tujuh hari tujuh malam dapat menyaksikan senja terindah yang belum pernah ada dalam sejarah peradaban manusia, tanpa bencana dan manusia yang tiada?”

“Bisakah kita lanjutkan pembahasan kesepakatan tambang?”

Kepala suku bertaruh dengan keputusannya. Setelah bulat dengan keputusannya, seorang yang dianggap memiliki keturunan kakek Moiang datang. Pada suatu tempat rahasia di negeri Nenek Moiang: rumah yang di dalamnya tersimpan jasad Nenek Moiang yang tertidur.

Meski namanya Nenek, namun ia terlihat sama sekali tidak tua, terkenal karena keabadiannya. Bahkan meski sudah berusia lebih dari seabad, namun nampak selintas memiliki perawakan subur, cantik jelita, sedikit mirip dengan Chitose Saegusa. Sebagian malah dengan sembarangan berpendapat lebih mirip dengan Meguri. Adapula yang memirip-miripkan dengan Amanda Manopo.

Hingga tiba ketika mencium Nenek.

Mengecupnya.

Memperhatikannya. Tidak ada reaksi apa-apa. Mata sang ratu tetap tenang. Mencium bibirnya sekali lagi. Bahkan melihat cantiknya Nenek Moiang, seorang tersebut malah bermain-main lidahnya. Hingga kepala suku menghentikannya.

Tak lama. Seorang tersebut tersungkur. Meregang. Memegangi lehernya. Wajahnya menjadi membiru, seperti tercekik. Sesak. Mulutnya berbuih.

Semua akhirnya meninggalkan rumah tersebut. Seorang yang mengaku turunan dari kakek Moiang belum kunjung siuman. Sementara peristiwa ini pada akhirnya diketahui oleh seluruh warga Nenek Moiang.

Warga memahami perasaan dilemma sang kepala suku, yang berujung pada pemberian maaf. Kepala suku benar-benar merindukan Nenek Moiangnya. Juga yang akan membawanya kepada pemandangan senja terindah sepanjang peradaban manusia.

Mau bagaimana pun, warga Apa Tere harus diselamatkan. Penasihat negeri Nenek Moiang mengumpulkan para sastrawannya agar mencari pengetahuan penawarnya lewat karya-karya sastra negeri Nenek Moiang.

Ditemukan! Tanamlah 1000 pohon hingga berbuah: di negerinya sendiri.