aldiantara.kata

Pada langit sore yang kelabu, sejatinya sudah nampak tanda. Apakah seseorang hendak berdiam sesaat, sebelum sesal menyadarkan firasat terhadap yang sudah lampau, nan terlanjur kejadian?

Dingin, di tengah perapian, duduk kelilingi unggun. Dengarkan suara alam.

Dedaun, yang kutitip gurat sajak, mengalir menuju muara. Dalam duka, segala ucap akan terdengar mewujud sebagai parau tangis. Melodi-melodi yang menjerit, pekat. Melalui suara yang paling bisu, teramat sunyi.

Adakah tangis langit itu kini, pernah tak disaksikannya oleh manusia. Rintiknya menjadi pesan paling rahasia antara air dan embun. Batang-batang pohon serta rantingnya yang kuyup. Ia jadi pendengar di samping angin yang menggoyangkannya syahdu.

Hidup bukan saja perihal hadapi musuh, ia bisa jadi merupa takdir pahit, yang mesti diterima. Tanpa bisa kita melawan.

Sajak yang tergurat dalam daun itu, yang kini masih diasuh alir sungai, yang berisi bait suka dan duka sekaligus, aku mengiringinya dengan menyalakan lampu lampion kecil yang mungkin sesaat akan padam. Setidaknya, hingga ia luput dalam pandang mata. Pergilah bayang kecilku. Engkau pernah kudekap pada satu penuh malam purnama. Pada hangat rahim malam. Serta kecupku yang tak pernah jemu. Serupa bayang. Apakah engkau sudah bisa mengepal tangan dan berdoa, cukup kuat? Hingga kini berani-beraninya engkau melambai tangan ucap selamat tinggal?