aldiantara.kata

 

Aku melewati banyak pepohonan tanpa daun menuju Glagah. Menyisakan ranting-rantingnya yang dihinggapi beburung. Pagi yang syahdu. Rintik yang tak kunjung menghujan. Perahu bersandar dermaga. Kopi terlalu cepat mendingin. Jalan lengang yang biasanya ramai. Banyak alasan mengapa manusia malam harus bangun pagi lalu berefleksi melihat masyarakat kota dan desa yang bekerja mendahului matahari terbit.

Hubungan pertemanan seperti benang tipis yang perlu dirajut. Kita yang saling berkunjung kepada seseorang akan semakin memperkuat benang, menambah benang penguat. Hubungan yang dingin menipiskan temali, percakapan canggung. Di luar circle keseharian, seorang bisa datang bila membutuh.

Batu grip pemecah ombak di Glagah tak bosan dengar debur air. Sebagian menghitam. Beberapa kepiting kecil melintasi jalan pantai yang mulai dipadati manusia. Dari kejauhan keluarga kecil bermain dengan air yang tiba mencumbu pesisir. Suara musik apa yang lebih merdu dari suara tawa kekasih yang penuh dengan isyarat cinta, sementara debur ombak menggoda menyamarkan tawa.

Ombak laut yang merekam lagu senang dan sendu sekaligus. Menyampai pada kaki kekasih yang sedang duduk di tepian,  baru sempat ‘tuk luangkan waktu. Cerita yang tertahan. Keraguan yang tak terurai. Perasaan yang pelik.