Sebetulnya, saya cukup menyesal karena bertahan menjadi manusia yang tertib. Seperti memilih untuk tidak ngebel saat bangjo baru saja hijau, menegur pengendara yang lupa mematikan sein, hingga antre di toilet. Untuk kasus yang terakhir ini, sebagai manusia tertib, jelas saja saya tidak mau masuk ke toilet bertanda khusus perempuan meski keadaan kosong.
Dalam sebuah fragmen cerita yang akan aku bagikan berikut ini, barangkali juga pernah dialami oleh kalian. Namun, dalam pandangan saya, fragmen ini menunjukkan konstruk sosial masyarakat khususnya mengenai gender.
Masalah gender nyatanya tidak harus muluk-muluk sebagaimana kita membaca berita tentang femisida. Peristiwa-peristiwa yang pernah menggegerkan masyarakat seperti penemuan mayat perempuan dalam koper, mutilasi yang dilakukan oleh suami terhadap istri hingga bagian-bagian tubuhnya dijajakan kepada khalayak sekitar, keduanya contoh kejahatan luar biasa berbasis gender.
Namun, cerita berikut sebagai contoh yang lebih sederhana, yang bisa saja dilakukan dan dianggap normal oleh sebagian besar khalayak.
Mainan Milik Laki-Laki dan Perempuan
Suatu ketika, saya cukup terkejut melihat fasilitas puskesmas yang relatif sudah lebih keren dibanding satu dekade lalu. Fasilitas yang tersedia (saya melihat di beberapa puskesmas daerah Yogyakarta dan Klaten) relatif lengkap. Termasuk di antaranya ada area bermain untuk anak.
Tentu saja, pada hari-hari yang biasanya ramai, akan semakin ramai pada jadwal imunisasi anak. Antrean untuk mendapat imunisasi, jika tidak lekas sedari pagi akan mencapai antrean dua digit. Beberapa ada yang mengantre pada kursi ruang tunggu yang tersedia, sementara beberapa orang tua yang lain mengajak anak balitanya bermain di area yang tersedia agar anak tidak bosan. Terdapat variasi mainan seperti puzzle, buku bacaan, perosotan mini, alat kreativitas hingga kuda-kudaan serta mobil-mobilan.
Dapat diterka, bagaimana pun, terbatasnya alat bermain membuat beberapa anak harus menggunakannya secara bergantian dengan anak lain. Kebetulan, apa yang saya lihat adalah seorang anak perempuan yang dengan asik bermain mobil-mobilan, beberapa anak yang lain yang melihatnya nampak tidak sabar hendak bergantian.
Lantaran ibu dari gadis kecil itu tidak enak karena harus bergantian, ia berbicara dengan anaknya,
“Dek, sudah, ya. Masa’ anak perempuan mainannya mobil, kan itu buat laki-laki.”
Seketika saja ujaran dari Ibu tersebut secara otomatis ter-screenshot dalam memori ingatan saya hingga kini.
Sumbu pendek pikiran saya melalui fragmen cerita tersebut, sedari kecil memang sudah ada eksternalisasi dan internalisasi pengetahuan mengenai stereotip gender. Anak laki-laki harus kuat, perempuan harus lemah lembut. Cita-cita anak laki-laki menjadi normal untuk menjadi dokter, tentara, atau pilot. Sementara perempuan menjadi normal untuk menjadi guru, ibu rumah tangga, perawat, dan lain-lain.
Mainan laki-laki mobil-mobilan, sementara perempuan harus bermain dengan boneka. Fragmen yang tidak jarang dialami oleh siapa pun dan di mana pun, seringkali dijadikan suatu hal yang normal. Seolah ujaran sang ibu tadi sedikit banyak mewakili konstruk sosial mengenai gender.
Saat yang sama, sebetulnya teori psikologi perkembangan Diane N. Ruble cukup relevan diketengahkan. Di antara teorinya mengenai perkembangan gender, bahwa anak-anak usia satu dan tiga tahun telah “mempelajari” stereotip gender konvensional. Anak-anak dihubungkan dalam konstruk sosial gender ini seperti mobil-mobilan untuk anak laki-laki dan boneka untuk anak perempuan.
Selain itu anak-anak juga belajar mengasosiasikan jenis pakaian, seperti rok untuk anak perempuan dan celana panjang untuk anak laki-laki. Saat awal sekolah, tidak jarang anak-anak menghubungkan keluarga, pekerjaan dan gender, sehingga mereka memahami bahwa anak perempuan tinggal di rumah untuk mengasuh anak, mengurus rumah tangga, sedangkan anak laki-laki pergi keluar untuk bekerja.
Bagi sebagian kalangan, ini bisa jadi cuma urusan kecil. Tapi, hal ini jika disadari menjadi penting bagi anak dalam memahami peran, tanggung jawab, dan hubungan antara laki-laki dan perempuan. Hal ini penting bahwa sosial turut mengonstruk pemisahan-pemisahan ‘mainan’ dan ‘pekerjaan’ laki-laki dan perempuan.
Padahal laki-laki dan perempuan memiliki hak, peluang, dan tanggung jawab yang setara, bukan?
Kesadaran mengenai kesetaraan ini lebih jauh akan memberikan kebebasan kepada anak untuk memilih minat, hobi, atau karier tanpa dibatasi oleh ekspektasi gender yang mengekang. Kesadaran ini pula yang menjadi penting sehingga menghormati perbedaan dan memahami pentingnya kerja sama terhadap orang lain tanpa memandang jenis kelamin. Pun juga berdampak dalam mencegah perilaku diskriminatif atau kekerasan berbasis gender.
Nyesal Menjadi Manusia Tertib
Singkat cerita, setelah saya mruput mengambil antrean imunisasi untuk anak di puskesmas, dalam masa tunggu yang lama itu, tiba-tiba saya kebelet pipis.
Sesampainya di toilet, saya berhadapan dengan tiga pintu; toilet untuk laki-laki, perempuan, serta difabel.
Sebagai laki-laki, saya memilih untuk antre ketika toilet laki-laki terisi, sementara toilet untuk perempuan dan difabel tersedia. Lama saya menunggu, memang sedikit terbesit untuk masuk saja ke toilet yang tersedia, di samping karena tidak akan lama, juga keadaan agaknya sudah diujung ‘tanduk’.
Saya tetap memilih untuk antre menunggu toilet laki-laki terbuka. Hohoho. (Halah Sebenarnya tulisan ini ditujukan untuk meminta validasi karena saya bersikap tertib di toilet).
Kemudian saya melihat situasi sekitarnya, sepertinya tidak nampak tanda-tanda ada orang yang menuju ke toilet perempuan atau difabel. Saya agaknya tergoda lagi untuk masuk saja ke toilet yang tersedia.
Ah tapi dasarnya saya memang ribet. Saya tetap memilih menunggu.
Setelah itu, klak! Terdengar bunyi slot kunci yang terbuka dari toilet laki-laki yang saya tunggu-tunggu dalam masa penantian ini. Saya bersiap untuk bergantian masuk, ternyata setelah pintu terbuka, kulihat… perempuan. Badalah!
Tinggalkan Balasan