Sebuah Film Televisi (FTV). Berjudul “Kejebak Cinta Neng Jamu Gendong” (2016). Bercerita mengenai seorang Ibu penjual jamu, memiliki seorang gadis. Sang Ibu sakit. Digantikan anak gadisnya berjualan. Bertemu dengan seorang pria yang ternyata merupakan asisten dosen Bahasa Indonesia di mana sang gadis berkuliah.
Begitu kreatifnya kehidupan (di FTV), sang asisten dosen pun ternyata mendaftar les karate yang ternyata mengharuskan ia dimentori oleh sang gadis.
Lantaran perkenalan kehidupan antara sang gadis dan asisten dosen diawali dengan momen yang kurang baik, suatu kali sang asisten dosen mengerjai sang gadis dengan menyuruhnya untuk membacakan suatu puisi di depan kelas. Sementara sang dosen hanya mencontohkan dengan membacakan bait-bait puisi tentang senja dan embun.
Cut Cut! Kini giliran Aldiantara Kata yang jadi sutradaranya. Bait puisi mengenai temaram senja atau embun kadang membosankan.
Aldiantara Kata pun membagikan buku Nyanyian Akar Rumput yang merupakan kumpulan puisi Wiji Thukul kepada seluruh mahasiswa kelas. Maka kuminta pada sang asisten dosen untuk memulai kembali adegan. Sebagian mahasiswa geleng-geleng kepala dengan nama asing Wiji Thukul. Adegan ini sengaja dipilih Aldiantara Kata secara ndadak agar proses film terlihat natural.
Sementara para mahasiswa sibuk membaca puisi-puisi Wiji Thukul diberi waktu tiga puluh menit untuk memilih puisi yang hendak dibaca.
Setelah tiga puluh menit berlalu.
Seorang mahasiswa kedepan membacakan puisi berjudul Kuburan Purwoloyo. Dengan penghayatannya dan penekanan yang kuat, sang mahasiswa membacakan:
Di sini terbaring
Mbok cip
Yang mati di rumah
Karena sakit
Tak ada biaya
Di sini terbaring
Pak Pin
Yang mati terkejut
Karena rumahnya digusur
Di tanah ini terkubur orang-orang yang
Sepanjang hidupnya memburuh
Terisap dan menanggung utang
Ah, mahasiswa dalam ruang kelas terlihat merenung, mengingatkan pada buruh-buruh pabrik di sekitar tempat tinggal mereka dengan kehidupan yang terlihat biasa saja, ternyata menyimpan segudang permasalahan di belakangnya.
Selanjutnya, seorang mahasiswa maju dengan membacakan puisi berjudul Catatan 88:
Saban malam
Dendam dipendam
Protes diam-diam
Dibungkus gurauan
“Protes diam-diam. Dibungkus gurauan.” Para mahasiswa senyum-senyum sendiri. Berlanjut dengan seorang mahasiswi yang membacakan puisi berjudul Sajak Ibu, suasana ruangan perkuliahan semakin panas dengan puisi-puisi Wiji Thukul yang menggugah.
Ibu tak bisa memejamkan mata
Bila adikku tak bisa tidur karena lapar
Ibu akan marah besar
Bila kami merebut jatah makan
Yang bukan hak kami
Ibu memberi pelajaran keadilan
Dengan kasih sayang
Mahasiswa semakin merasa bahwa ruangan perkuliahan terlalu kecil bagi idealisme dan semangat mereka. Terlebih setelah seorang mahasiswa yang maju dan membacakan puisi berjudul Ucapkan kata-katamu.
Jika kau tak berani bertanya
Kita akan menjadi korban keputusan-keputusan
Jangan kau penjarakan ucapanmu.
Jika kau menghamba pada ketakutan
Kita akan memperpanjang barisan perbudakan
Mahasiswa bertepuk tangan mengamini. Puisi yang relevan untuk masa kini. Namun pembacaan puisi belum selesai. Masih ada si gadis pemeran utama yang terlihat geram dan berapi-api terbawa suasana. Sang sutradara, Aldiantara Kata, semakin girang bukan tante, lantaran ekspresi, mimik dan suasana sangat natural betul-betul akan menjadi FTV yang unik menarik. Dalam bayangnya.
Sang gadis menyingsingkan lengan bajunya, maju ke depan. Para mahasiswa memperhatikannya. Ia pun memberi prolog bahwa yang ia bacakan bukan dari Wiji Thukul, melainkan puisi pribadinya. Sepertinya belum diberi judul. Sang gadis langsungs saja membacakan:
Tidak kepala desa. Tidak Camat. Bupati atau Pemimpin lain.
Harus mandi junub!!
HAHAHA. Pecah tawa seluruh mahasiswa. Namun segera mereka kembali menata kembali perhatian menunggu kelanjutannya.
Bukan karena pejuh
Atau menstruasi
Tapi karena dosa biarkan rakyat lapar!
Sekian.
Dalam pikiran Aldiantara Kata selaku sutradara: “Rating. Rating. Rating.” Ah ternyata tidak sampai dua jam. Polisi meringkus sang Sutradara sebelum filmnya tayang, ternyata suasana shooting yang terlalu natural membuat sang sutradara tidak menyadari sebagian mahasiswa merekam adegan pembacaan puisi dan menyebarkannya lewat media sosial.
Sang sutradara gadungan pun ditangkap dengan tuduhan menghasut para mahasiswa yang “penurut dan taat aturan” untuk mencintai keadilan dan keberanian hidup.
Eh, eh. Cerita belum selesai. Sang gadis pembaca puisi terakhir ternyata termasuk 10 besar dalam ajang pencarian bakat acara Sumberwaras Idol. Malam ini ia akan tampil membawakan sebuah lagu. Setelah tampil dengan membawakan Bunga Terakhir dari Bebi Romeo, sang pembawa acara DJ Daniel seperti biasa bertanya-tanya tentang suatu hal pada peserta, “Eh tapi sepertinya aku lihat mata kamu berkaca-kaca banget ketika membawakan lagu ini, bisa ngga kamu ceritakan apa ada kenangan khusus atau pengalaman pribadi tentang lagu ini?”
Sang gadis menjawab: “Aku capek!!!” teriak sang gadis. “Aku jengah harus menjadi komersil iklan, harus mengiklankan produk makanan gang-bang. berpura-pura tersenyum dan membuat orang lain senang. Aku tidak mau jadi kacung industri yang membuat diriku sendiri terasa asing.”
Sumber Gambar: Pixabay
Wiji Thukul, Nyanyian Akar Rumput, diterbitkan oleh Kompas Gramedia pada tahun 2014. Puisi Wiji Thukul di atas merupakan kutipan singkat, untuk membacanya secara utuh silakan untuk membaca bukunya secara langsung.
Tinggalkan Balasan