aldiantara.kata

 

Bila seseorang berupaya membahagiakanmu, apakah harus tergantung pada benda nominal prin-prinan yang tidak ia cetak, namun ia harus kejar dengan korbankan apapun.

Lembar mata uang yang buat banyak manusia kalap, melupakan waktu hingga kulitmu keriput.

Siapa sebetulnya yang membuat standar bahagia. Rasanya hendak memakan krikil, orang tidak bisa terus memakan makanan sisa sela-sela dari gigi berlubang kaum borjuis yang sudah tak sedap baunya mengendap berhari-hari.

Duduklah dekatku walau pandemi, berjarak. Aku sedang melakukan perjalanan malam. Bintang di langit bak lampu-lampu yang bergantung. Langit berikut panorama alamnya sekilas seperti di Vormir yang kita saksikan di film Avengers.

Kita kunjungi lagi alun-alun kota yang sudah sepi lantaran larut waktu. Cari tahu petis jawa timuran kesukaan yang kau habiskan sendirian.

Sulit di sini menemukan bunga menarik, sulit di sini menemukan keabadian, selain jejak kita.

Pandemi menambah beban jarak, di samping kasih sayang kita. Haruskan manusia saling menjaga jarak. Tidak bisa berpeluk seperti dahulu. Bertaruh nyawa.

Tidak saja berjarak badan, kini berjarak keinginan, harapan, proyek, ambisi, apapun. Membuat orang teralienasi.

Bisakah untuk menemuiku tanpa apapun? Tanpa kulit yang akan terlihat gelap setelah diterpa sinar matahari, tanpa harus putih bergincu, berbadan kurus dan anggapan ideal lain?

Diantarakata ku sebagian terajut dari kesedihan, apakah bisa berbuah senyummu? Kubuat lalu kau kenakan setiap hari?

Diantara kesedihan, ingatlah mata yang tak menangis tanpa sepasangnya. Ceritalah. Meski kau curahkan sebagai udara.