Sejak aku duduk di bangku SMA, seorang guru menceritakan sebuah penelitian di Jepang, bahwa sebuah air yang dibacakan ucapan-ucapan yang positif, kristal partikel-partikel didalamnya akan menjadikannya baik untuk kesehatan orang yang meminumnya. Sebaliknya ketika air tersebut diberikan ucapan-ucapan yang tidak baik, maka akan memiliki kandungan yang kurang baik pula.
Ingatan ini membawaku pada masa lalu. “Itulah arti penting dari sebuah doa.” Bagiku doa adalah puisi manusia. Doa memuat nilai-nilai positif. Air yang diminum tidak hanya menghilangkan haus, melainkan juga mendorong untuk melakukan hal-hal positif kepada sekitar.
Suhu ruang kelas tiba saja menjadi amat dingin. Potret kristal-kristal positif dalam air terpampang melalui proyektor menjalar hingga ke kulit tangan dan kaki. Aku membeku.
Pikiran terbuyarkan. Kedua tanganku erat menggenggam gelas berisi es kopi. Membuyarkan lamunan. Kuberada di sebuah Cafe kecil. Kesendirian memang acapkali akrab dengan masa lalu. Ah sial. Aku tidak pernah bisa meminum kopi secara perlahan. Volume air drastis menuju titik terendah dengan cepat, hingga yang kuhisap hanya hampa udara. Serta sisa-sisa air yang tak dingin lagi.
Aku meminum kopi hanya sekedar mencari dedak dalam kedalamannya. Lalu meninggalkannya setelah airnya mengering. Tiada cerita selain perenungan. Aku masih ingin menjaga gelas tetap dingin. Kubiarkan es yang perlahan mulai mencair. Kesabaranku juga mencair, kucari tetes leleh es yang menggenang di permukaannya. Tiada yang kudapat melainkan hanya sedikit. Aku menunggunya sembari menguapkan rindu padamu bersama lelehnya es.
Sekelibat suatu kesadaran hinggap menyapa pikiran. Mengapa harus menunggu es mencair. Lelehan es tidak akan memuaskan dahaga siapapun. Kalau ingin gelas ini agar tetap dingin, jangan menunggu es sampai mencair. Tuangkan air putih pada gelas kemudian. Dada berdegup kencang karena girang. Es-es dalam gelas mendinginkan air yang baru masuk belakangan.
Setelah air menjadi dingin, raut berubah menjadi tanda tanya. Air sedikit keruh bergumul dengan sisa-sisa kopi. Es kini menyisakan wujudnya yang semakin mengecil, lalu tiada. Bagaimana alam menyampaikan pesan? “Prinsip doktrin!?” Es jangan dibiarkan meleleh lalu kehilangan dingin. Es harus ditambahkan air agar menjiwai dingin es. Kemudian banyak orang menyebutnya sebagai air es.
Seorang sastrawan jangan membiarkan lingkungannya menjadi manusia-manusia robot. Tanpa perasaan. Membiarkan manusia penuh dengan kebencian. Melalui puisi, sabda-sabda di dalamnya yang menyuarakan nurani manusia secara tulus. Pesan kebencian yang mana diizinkan oleh agama manapun dan rasa kemanusiaan? Es harus mendinginkan air. Kebaikan sepatutnya dibahasakan dari nurani kepada nurani. Dari es kepada air sebagai asalnya. Bukan kepentingan berkedok nurani, yang mencekik orang lapar. Menekan orang yang takut dengan mengatasnamakan Tuhan. Bahasa yang kukiaskan bisa saja salah, tetapi, banyaknya orang yang lapar, kepekaan rasa yang menipis, serta kemiskinan. Adalah fakta.
Yang paling sulit mungkin ketika kita seorang yang peduli, namun enggan menerima “air yang datang belakangan” agar mereka menjadi peduli. Kita menjadi peduli agar menjadi pahlawan, menjadi peduli agar mendapat penghargaan.
Manusia. Mengapa kita tidak bercermin kepada orang yang lapar? Bukankah dihadapanmu adalah “air” yang sama denganmu.
20 Oktober 2020 at 10:59 pm
Maa syaa Allooh… Bagus sekali..