Gambar: Sibro Malisi

 

Chrome, kawanku, “aku bosan dengan rutinitasku; makan, pergi belajar, tidur, ibadah, tidur lagi. Aku capek, butuh istirahat.” Heuheuheuheu.

Kini Chrome cekikikan tertawakan hidup.

Kawanku yang lain, “Kehidupan jangan dibawa berat.”

Aku, “Kau sedang menasihati dirimu sendiri. Aku justru memikirkan renungan di dataran tinggi, mencurahkan waktu. Dihajar dingin. membaca beberapa buku sastra.”

Percakapan-percakapan intim di Whatsapp sudah berganti dengan emoticon. Simbol-simbol sticker. Percakapan panjang dan intim hanya ada di novel-novel, puisi narasi dan naskah drama. Orang berkenalan malu-malu. Lewat aplikasi kencan. Sisanya hanya koneksi teman kerja, teman sekolah, teman insidental, temannya teman. Sama seperti pekerjaan kini, tanpa koneksi, usaha membutuhkan keringat lebih.

“P”

“P”

Saling membalas dengan isyarat-isyarat. Simbol-simbol. Bahkan ada juga yang membalas “P” dengan “V”. Saling kode untuk meminta bertemu. Lelaki sibuk kumpulkan portofolio pencapaian: ajak dia makan malam. Perempuan sibuk mencari alasan menolak, tuntut lelaki kesungguhan. Keduanya sejatinya tak lepas dari kesepian.

“Dia online. Tapi mengapa pesanku lambat diresponnya.”

Percakapan si jantan dan betina memutar pada topik-topik yang mudah ditebak. Sudah makan? Beri perhatian, kalau perlu minta pap. Punahkan saja buku-buku kamus bahasa. Masa ini rasanya tak butuh kamus atau tesaurus untuk buktikan banyaknya diksi atau diantarakata yang bisa dirangkai menjadi obrolan.

Memulai obrolan, mungkin bagus memulainya dengan, “Rekomendasi lagu yang enak didengar saat ini?” atau “Lagu apa yang mewakili perasaanmu sekarang?” Barangkali akan sedikit manjing.

Hidup memang tak melulu soal pencapaian kelas pendidikan. Semua soal strata dan kedudukan. Hidup mengalir seperti menemukan lagu-lagu enak di kedai kopi. Mencatatnya. Pulang ke peraduan lalu memutar lagunya ulang.

Waiter waitress dengarkan obrolan pelanggannya. Ghibah menjadi mubah. Dalihnya sebagai sejarah. Sepertinya aib-aib manusia tidak hanya menjadi rahasia-rahasia yang dipegang semesta atau malaikat, namun juga ditangkap oleh telinga security, waiter waitress, atau tukang mie ayam di Kaliurang. Aku suka sekali ketika sebagai pelanggan, mereka pura-pura tidak tahu. Pura-pura tak melihat.

Menjelang akhir studi, beberapa teman sidang munaqasyah. Panas. Munaqasyah lebih seperti perlombaan. Penelitian yang dibatasi deadline-nya. Kejar agar tak bayar UKT lagi. HAHAHA. Namun pada suatu hari bahagia di mana kuyakini sudah ada gilirannya, tak lupa aku kirim pesan ucapkan selamat sepanjat doa agar pencapaian strata pendidikan menjadi berkah bagi kehidupan. Seorang temanku jawab, “Makasih. Semoga segera menyusul.” Seperti ucapan klise.

Aku hanya berandai bila aku ada di posisinya, aku jawab: “Terimakasih atas ucapanmu. Aku tahu ini seperti perlombaan. Tapi temukanlah kebahagiaanmu. Bahkan aku pun tidak bahagia dengan pencapaian ini. Tapi maukah kau ikut sedikit senang untuk hari ini?”