aldiantara.kata
Seakan masih akhir tahun. Hujan berada pada pundak kemarau, yang meminta untuk bermain setiap sore.
Saat aku harus berjalan menyusuri jalan-jalan, pada masa lampau, di mana jalan ini aku tak pernah melewatkannya setiap hari.
Ia banyak berubah, namun tak sedikit pula yang masih menetap. Ranting yang kokoh serta genting, mengenaliku dengan sapaan.
Kenangan dengan aksara edjaan lama. Serta bayang pikiran yang masih berwarna kelabu. Ia harus bertemu dengan gambaran nyata yang banyak berubah.
Tikungan dan bunyi klason. Udara dan sinar surya pagi.
Kita mencari kudapan, lalu pergi menuju Selatan. Kita habiskan waktu, hingga lembar-lembar usang yang terekam memori kita harus menggali pusaranya sendiri, sebab detik waktu menjadikannya tiada. Seperti bergantian, kita harus angkat kaki.
Kau percaya pada keabadian edjaan lama, ia adalah kalimat masa lalu yang terus terucap hingga masa kini? Ia berada di pundak dan pikiran. Seperti hujan yang dipangku musim, meminta asuhan.
Kita yang menghadapi masa kini dengan pikiran-pikiran masa lalu. Melalui edjaan lama.
Kita akan terus mengedja. Hingga terbata-bata.
Rembulan dengan cahaya berbeda memasuki jendela kamar malam ini. Ia nampak kedinginan. Mengedja malam.
Apa yang kau edja, sebelum lelap. Degup dada yang meminta kata, namun engkau berikan tubuhmu yang tak habis kuedja.
Tinggalkan Balasan