Aku merindukan dunia yang luas. Kini sempit. Sesempit ruangan sekitarku menghabiskan hari-hari karantina mandiri. Bung Karno pernah mendekam dalam dingin jeruji. Begitupun Ustadz Abu Bakar Ba’asyir. Begitupula Hatta, hatta Tan Malaka.

Namun kini aku mendekam dalam ‘LP level pejabat’ lantaran wabah corona. Tidak seperti Hamka yang menyusun Tafsir Al-Azhar. Aku produktif membuang sampah-sampah makanan hingga tisu bau amis.

Produksi, produksi, produksi. Buatku jengah. Jadilah manusia kreatif banyak duit. Jadilah kreatif yang mengundang banyak khalayak untuk berkunjung, agar banyak endorse iklan: bisa cepat kaya!

Jangan lupa giveaway kontrasepsi agar semakin dicintai viewer.

Di Whatsapp berseliweran iklan pakaian dan obat jerawat. Di kedai kopi borju mahasiswa banyak memesan espresso dan lava cake. Sementara penelitian mereka mengenai “resistensi masyarakat petani”; “Pemberontakan rakyat” hingga “Konsep Kemiskinan”.

Aku merindukan dunia yang luas. Di mana seorang bapak dan anak berada dalam satu atap pekerjaan. Dan sang anak bangun dan terpejam dalam bayang keteladanan hidup sang bapak. Lihatlah di Pesantrian Ombo yang menjadi santri lantaran terdampak kesibukan orangtuanya di rumah.

Aku merindukan dunia yang luas. Tidak sesempit ruangan ini. Aku tidak ingin punya jam kantor, aktifitas rutin-monoton, rekan-rekan kerja yang berbaju rapi kantoran: karena sudah sering kuamati di Pornhub keyword ‘at office’. Namun tak ku download karena kampus tak beri aku pulsa dan kuota. Aku tak berkenan produktif kreatif dalam bayang industri: aku ingin jadi manusia saja.