aldiantara.kata

 

Dua Jam Lebih, telat

Dua jam lebih, telat. Dua jam telat dari waktu makan siang, seorang pendorong gerobak berjongkok di bawah rindang pohon membuka nasi bungkus. Sepertinya lemas. Kedua tangannya bergetar. Kertas minyak terlihat rembes minyak, pinggirannya berwarna oranye kemerahan, penuh sambal.

Dua jam lebih, telat. Acaranya telah berakhir. “Seandainya”, “Bila saja”, “Kalau saja” adalah tanda sesal yang tak ada obatnya. Dua jam lebih, sudah telat. Sang waktu sudah tidak bisa menoleh kebelakang untuk kembali.

Dua jam, terlambat. Pesawat sudah terbang landas. Kereta yang membawamu kini hanya meninggalkan debu. Minuman panas yang menjadi dingin.

Dua jam, terlambat. Seandainya saja aku ikut undangan perjamuan makan, yang ku tak berkenan hadir lantaran tak membawa buah tangan apa-apa, serta enggan berhutang budi.

Dua jam terlambat. Bila saja aku memakan masakan yang kamu bawakan, kini sudah basi lantaran aku enggan berhutang budi. Terbuang. Sepengetahuanmu! Kamu bahkan memilih untuk tak marah. Tak lampiaskan amarah pada seekor manusia sepertiku.

Dua jam terlambat. Kalau saja aku menyadari, bahwa aku hanya harus menerima dan menjiwai syukur atas anugerah. Aku hanya harus menerima kebaikan orang lain, tanpa terus mencoba memberi. Aku hanya harus memberi kesediaanku untuk hadir, untuk membuatnya tersenyum. Tanpa harus malu tak bawa apa-apa.