Sudah bukan lagi pemain calung yang menghibur pengendara di lampu merah. Di perempatan Gramedia, pemain saksofon membawakan lagu-lagu yang tak kukenal. Sesekali para pemainnya melirik pengendara mengambil perhatian. Kuning, lalu hijau. Kendaraan melaju. Suaranya mengetjil lalu terngiang dalam alam pikir.

Pikiranku malah hinggap pada suara saksofon Film Ada Apa Dengan Cinta 2 berlatar Brooklyn, New York. Awal ketika Nicholas ‘Rangga’ Saputra muncul.

Pikiranku juga malah mengembara pada film Titanic pada tahun 1997an, di mana terdapat grup musik masih bermain biola di antara para penumpang yang panik menyelamatkan diri kapal yang karam. Hingga salah seorang dari grup musik The Unfinished berkata, “What’s the use? Nobody’s listening to us anyway.” Seorang yang lain meresponnya, “Well, they don’t listen to us at dinner, either. Come, on. Let’s play. Keep us warm.” Kemudian mereka memainkan “Orpheus”.

Sudah lama tak duduk sambil melihat tugu kala malam. Banyak orang melakukan hal serupa sambil bergurau. Padahal malam sudah larut. Teh panas dipesan sudah menjadi dingin. Aku malah memesan es jeruk dan dua tusuk tempura bakar.

Lampu merah menyala. Selalu ada kendaraan berhenti menunggu. Seseorang menggodaku agar berpose ikonik seperti The Beatles yang sedang menyeberang di atas penyeberangan pejalan kaki di Abbey Road, London.

Pada akhirnya malam menggoda agar manusia menceritakan nasibnya yang kelam. Seseorang menyanyikan lagu Let It Be, “And when the broken hearted people living in  the world agree, there will be an answer, let it be. For though they may be parted, there is still a chance that they will see. There will be an aswer, let it be.”

Kuning menuju merah. Kendaraan berhenti. Seorang kakek dengan gerobak sampah. Memegangi perutnya yang kelaparan, dihantam dingin malam. Pikiranku lagi-lagi berkelana pada kisah Nabi Sulaiman as. yang hendak memberi makan makhluk darat dan laut. Tuhan tak mengizinkannya. Kenyataannya kekayaan dimiliki tidak bisa mengenyangkan makhluk-Nya.

Apalah aku yang miskin namun dengan keinginan sebesar Sulaiman as!!! Apakah dengan air mata mampu mengenyangkan perut-perut mereka yang dendam terhadap pembangunan membabi buta?

Kekasih. Kau tau bila aku mencintaimu. Kau pun mungkin menyayangiku. Keberadaanmu entah di mana, sementara ku mencari kejelasan hubungan kita yang kau abaikan.

Bila saja, seseorang mencintaiku dan membuatnya lupa akan dirinya, apa kau masih mengharapkan keberadaanku? Dengan kuasa apa kumenolak cintanya? Hatiku tidak terbuat dari besi dan baja mall dekat kampus kita.

Hijau ke merah. Kendaraan berhenti. Bubar bubar!!! Satpol PP sudah datang membubarkan kerumunan. Meminta para pengunjung agar kembali ke rumah, sembahyang dan menulis hasil perenungan lalu suarakan perlawanan terhadap kesenjangan sosial. Sementara di hotel dekat tugu, seorang wanita dipaksa kekasihnya untuk mengeram pejuh dimulutnya. Buang!!!!

Terang kota tak lagi sama. Sudah saatnya kau tengok puing yang tertinggal. Bau wangi hujan tak lagi sama. Sudah saatnya kau jemput musik yang tertinggal. Ingat waktu itu ku bertanya. Aku mau dengar jawabnya. “Sesuatu Di Jogja” – Adhitia Sofyan.

Pulang.