Selesailah aku membaca buku Rendra: Ia Tak Pernah Pergi. Buku ini diberi kata pengantar oleh Ignas Kleden, diterbitkan oleh Kompas pada tahun 2009. Buku ini merupakan rangkuman tulisan yang pernah dimuat di harian Kompas selama kurun 30 tahun terakhir. Penamaan buku tersebut barangkali diambil dari ucapan Sutardji Calzoum Bachri kala Rendra wafat, “Tetapi saya tidak bersedih atas meninggalnya Rendra karena ia sebenarnya tidak pernah pergi. Seniman besar tak pernah pergi. Karyanya selalu besar. Inilah orang besar di antara kita.” (hlm. 329)
Dulu di bangku Sekolah Menengah Pertama aku pernah mengikuti lomba baca puisi untuk tingkat kabupaten. Dari beberapa pilihan puisi, kupilih “Doa Orang Lapar” WS. Rendra. Tak disangka sebelas tahun kemudian justru aku menjadi pengagumnya. Perkenalanku dengan Rendra juga melalui sajaknya yang dibacakan oleh seseorang dalam channel youtube. Tulisan di bawah ini merupakan pembacaan pribadi; sebagian poin-poin penting/rangkuman dari apa yang kubaca dari buku Rendra: Ia Tak Pernah Pergi. Hampir keseluruhannya merupakan kutipan langsung, sebagiannya kuubah sedikit redaksinya.
Sajak adalah media perjuangan untuk memperbaiki keadaan masyarakat. Tulisan Rendra selalu menyebabkan penikmatnya membayangkan suatu gambaran konkret menyentuh pengalaman. Itulah Willibordus Surendra Rendra, kelahiran Solo 7 November 1935. Tokoh Indonesia abad-20. Puisi bagi Rendra merupakan kekuatan bangsa menghadapi kekuatan-kekuatan yang dinilai sebagai musuh nurani bangsa itu sendiri. Rendra sempat menjadi lambang perlawanan Orde Baru. Puisi Rendra adalah puisi yang naratif, berkisah, dan menggali segi-segi yang terabaikan oleh dunia persajakan Indonesia. Tidak hanya sebagai penyair, Rendra juga dikenal sebagai teaterawan. Penggagas Bengkel Teater.
Seni tidak sebatas bentuk estetika, melainkan seruan hati nurani yang berfungsi kritis dan profetik. Seni harus kontekstual dan terlibat. Pembaca tulisan Rendra dibuatnya menjadi merenung, berefleksi, atau bercermin pada karya Rendra. Demikian menurut Bambang Sugiharto.
Rendra senantiasa mempertanyakan setiap gejala yang ditangkap inderanya, direnungkannya, dipertanyakannya kembali, dan seterusnya. Kumpulan-kumpulan puisinya menandai pergulatannya dengan situasi dirinya dan zamannya. Julukannya sebagai burung merak oleh Goenawan Mohammad. Lantaran sebagai seseorang yang pandai menari. Baik tubuh maupun kata-katanya.
Syu’bah Asa katakan, tidak ada seniman sejati yang tidak mencintai orang-orang papa. Putu Wijaya akrab dengan kawan-kawan gembelnya dan cekikikan bersama mereka, sementara Arifin C. Noer menyanyikan nasib para jelata dan nasib yang dihubungkannya dengan disain besar kosmis, adapun Rendra menggebrak untuk kepentingan orang-orang terlempar itu kepada dunia sebagai lingkungan nyata. Rendra barangkali seniman yang paling banyak berurusan dengan pemerintah, namun bukan karena ideologi.
Rendra menuturkan kesadaran untuk peduli terhadap lingkungan di sekitarnya pertama kali dikenalkan kepada dirinya oleh seseorang bernama Janadi, yang merupakan seorang pembantu dari kakeknya. “Mas Janadi menjadi guru pribadi saya sejak saya berumur 4,5 tahun.” Rendra menghabiskan masa kecilnya di Solo, Jawa Tengah. Pelajaran yang diberikan Mas Janadi dirumuskan dalam kalimat “Manjing ing Kahanan, nggayuh Karsaning Hyang Widhi” (Masuk dalam kontekstualitas, meraih kehendak Allah.) Bekalnya rewes (kepedulian) dan sih katresnan (cinta kasih). Pelajaran yang diberikan Janadi tersebut merupakan kunci proses kreatif Rendra.
“Manjing ing Kahanan, nggayuh Karsaning Hyang Widhi” bermakna pula semangat untuk hadir dan mengalir. Hadir di tengah masyarakat, mengalir mengikuti perkembangan, hidup adalah universitas kehidupan bagi Rendra. Maka seorang kreatif harus selalu berusaha memiliki kepedulian terhadap lingkungan yang mengelilingi dirinya, dari saat ke saat. Mulai dari lingkungan-lingkungan terdekat: baju-bajunya, meja tulisnya, lemarinya, negaranya, segenap flora dan faunanya, tetangganya, bangsanya, bumi, langit, samudera, alam semesta raya. Janadi menganjurkan kepada Rendra bagaimana mengolah kesadaran pancaindra, kesadaran pikiran, naluri dan jiwa untuk lebih cermat dalam memedulikan lingkungan. Disiplin kepedulian harus dilanjutkan dengan langkah ngerangkul: keikhlasan untuk terlibat. Latihan keterlibatan ini harus dimulai dari lingkungan terkecil sampai jauh melebar.
Untuk melatih kepekaannya di dalam menyerap problematika sosial Rendra selalu mengaku memunculkan kesadaran indra, pikiran, hati dan naluri. “Ini harus jadi totalitas kesadaran.” Kata Rendra pula, “Saya heboh kalau sedang menulis, badan bergetar, bulu-bulu kuduk bisa berdiri. Tidak mungkin saya tuliskan kesedihan tanpa libatkan liver atau ginjal saya. Ekspresinya harus sertakan kelenjar-kelenjar tubuh, karena irama ada di situ.”
Tidak hanya bekerja di belakang meja, Rendra memasuki ruang-ruang sosial yang nyata yang sebelumnya tabu bagi citra romantisme kepenyairan kita. Bagi Rendra, Penyair harus berpihak dan tampil sebagai pembela martabat dan nurani manusia. Penyuara nurani bisa saja dibunuh, tetapi nurani itu sendiri tetap akan “hidup”, sebab setiap sejarah yang melahirkan ketidak-adilan, ia pun melahirkan martir-martir lain yang baru. “Dilarang dan tidak itu urusan pemerintah. Urusan saya adalah mencipta dan mencipta!”
Di Bengkel Teater diajari bagaimana lebur dalam kodrat alam semesta dan dalam kehendak Tuhan yang Maha Besar. Tiga tiang pokok yang dipelihara dan diperkembangkan adalah hukum akal sehat, hati nurani dan integritas pribadi. Sekolah seni terutama harus mengajarkan mata-mata kuliah yang bisa melatih kepekaan jiwa, pembentukan kepribadian-yang harus melewati peristiwa-peristiwa meditasi, pengajaran Yoga dan lain-lain. Kaun intelektual, seniman kreatif, selama ini keterlibatannya dalam seni kurang merupakan suatu keterlibatan hidup (kurang total, kurang jenuh, kurang utuh pribadi) senimannya. Rendra menggunakan teater sebagai pengendapan dari perasaan yang hidup dalam masyarakat pada zamannya. Dan, ini memang salah satu fungsi teater: refleksi dari masyarakat.
Rendra sosok penyair yang mengharuskan dirinya harus selesai dalam urusan ekonominya, alias harus mandiri. “Maka saya sekarang sudah beli kambing, sapi, Saya tahu, tak semua orang senang mengurus kambing dan sapi. Maka, saya bikin kursus bahasa Inggris, jadi kelak mereka bisa memperoleh penghasilannya dari keterampilannya…Saya tak percaya kesenian diajarkan dengan menarik bayaran. Kasihan, kan seniman hidupnya tidak pasti. Belum apa-apa sudah harus bayar. Akademi kerawitan masakan pakai uang segala. Padahal, nanti kalau lulus dari sana, belum tentu dapat imbalan sesuai dengan uang yang dikeluarkan…Pengajaran kesenian itu gratis…Makanya standar hidup harus diturunkan. Seperti sekarang ini teman-teman tidur di lantai, yang belum menikah tak punya kamar. Semua harus diusahakan pelan-pelan, tetapi yang penting harus dilakukan. Kalau tidak namanya meninggalkan kewajiban. Dengan adanya padepokan, saya ingin anggota Bengkel Teater punya kesejahteraan ekonomi yang mandiri, yang swasta…Memang tak semua orang punya rezeki seperti saya, dibantu anak istri untuk menjalani kepastian hidup. Yang tidak pasti saya bikin pasti. Pasti itu artinya hidup miskin. Orang miskin kan tidak perlu sengsara. Yang penting ada tikar ada atap. Buktinya saya lebih sehat dibandingkan orang yang tidur di tempat tidur.” Rendra membuat suasana luar biasa yang dibangun bersama bersama kawan-kawan Bengkel Teater seperti rajin membaca buku, menulis, mengekspresikan diri, tahan membaca, tahan diskusi, tahan seminar.
“Suatu impian, suatu cita-cita betapapun utopisnya, akan menuntun tangan kita untuk menarik garis yang mengacu ke sana dalam memetakan perencanaan di masa depan. suatu garis yang mungkin lain daripada arah yang secara robot kita ikuti, kalau enggan sejenak berkontemplasi.” ~Alfons Taryadi. Tak setiap orang punya keberanian untuk menyuarakan hati nuraninya, bahkan tak punya bakat dan kepekaan untuk menyuarakannya. Dari sekian ribu orang mungkin hanya sekian sastrawan, sekian politikus, dan kolumnis sosial-politik. Karenanya, sastrawan, politikus, dan kolumnis dinanti dan diharapkan setiap orang di setiap zaman. Sastrawan dan kesusastraan sosial-politik selalu dinantikan orang, selalu dirindukan generasi muda dari setiap dekade. Demikian menurut Beni Setia.
Rendra pernah ditanya mengenai masa depan Indonesia. Rendra menjawab, “Salah besar kalau Indonesia sudah tidak memiliki masa depan. selalu dan akan selalu ada masa depan buat Indonesia…belakangan saya mengamati makin banyaknya siswa SMU dan mahasiswa yang melalap habis buku-buku humaniora. Ini investasi budaya. Daya kritis tampak ketika mereka menggugat berbagai masalah kebangsaan dan lingkungan. Ini membanggakan.”
Bagi Rendra, kemajuan negara tidak mungkin diciptakan oleh penguasa. Yang bisa dilakukan penguasa paling jauh menyeret bangsanya maju setahap saja, tetapi perkembangan bertahap-tahap seperti di Inggris hanya bisa dicapai dengan kemampuan rakyat. Dan, itu bisa terjadi berkat dukungan daulat rakyat yang dilindungi oleh daulat hukum.
Kesadaran adalah matahari
Kesabaran adalah bumi
Keberanian menjadi cakrawala
Dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata. (WS. Rendra)
“Dari kesusastraan, orang bisa banyak belajar banyak tentang manusia, kesadarannya, jiwanya, nalurinya, kelemahan-kelemahannya, lingkungannya, dan kebudayaannya. Masyarakat yang buta humaniora akan sulit beradaptasi dengan dunia modern dan akan babak belur dalam mengembangkan industrialisasi. Sebab menerapkan teknologi tanpa pengetahuan humaniora akan membawa dampak ketegangan sosial.”
“Rakyat Indonesia tidak pernah menjadi warga negara dengan hak yang penuh untuk bebas berpartisipasi dalam urusan kemasyarakatan, urusan pemerintahan, dan urusan kenegaraan…Rakyat yang tidak berdaya adalah rakyat yang kehilangan kemanusiaannya. Kekuasaan pemerintah yang absolut akan menjadi berhala. Ia bisa mengobrak-abrik tatanan moral dan peradaban.”
“Zaman revolusi, setiap orang biasa disapa dengan sebutan “bung” atau “saudara”. Akan tetapi kini, begitu kemerdekaan negara sudah mapan, mereka tak mau disapa seperti itu karena ingin disapa sebagai “bapak”. Kalau rakyat datang bertemu dengan birokrat disebut sebagai ‘menghadap’. Sikap birokrat yang sangat kurang ajar seperti itu, anehnya, sekarang ini malah disebut sebagai ‘tata tertib’…dalam perspektif budaya, reformasi politik-ekonomi takkan menjadi reformasi yang beneran bila tidak berhasil memberdayakan rakyat. Padahal setiap warga negara harus diberdayakan hingga masing-masing punya sumber nafkah, rumah tempat tinggal yang layak, dan seterusnya.”
Rendra kecil dikenalkan mengenai puisi oleh ayahnya sendiri, Raden Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo. Dikenalkannya bentuk-bentuk puisi semacam soneta, pantun, stanza, dan sebagainya. Terlebih ketika diberikan pelajaran mengenai sandiwara. Ketika berulang tahun, ayahnya memberikan sebuah mesin tulis harapannya agar anaknya menjadi semakin produktif. Mulai saat itu sajaknya bermunculan. “Saya terlibat dalam pergerakan reformasi masyarakat sejak kanak-kanak, mengikuti ayah saya.” Ayahnya RSC Brotoatmodjo adalah guru bahasa Indonesia dan Jawa Kuno sebuah sekolah katolik dari Yayasan Kanisius, sementara ibunya seorang penari keraton. “Saya tumbuh dalam keluarga yang idealisasinya mengubah masyarakat untuk maju.”
Rendra seorang seniman sejati, sebagai kepala keluarga, hidup bersama dua istri dan tujuh anak, ibunya bahkan prihatin menyaksikan kehidupan putranya yang tanpa penghasilan tetap, selain dari honor bermain drama. Bahkan Rendra yang selalu menolak beberapa pemberian atau subsidi dari beberapa yayasan yang bermaksud bekerja sama dengan Rendra. Bagi Rendra, dalam gelimang uang dan kemewahan, orang bisa menjadi malas dan impoten. Rendra menolak malas-malasan dan kerja-kerja rutin yang tidak kreatif. Memilih untuk menelaan buku-buku, menjalani puasa serta seringkali tidur tanpa bantal, selain sepotong kayu yang keras.
Rendra meninggal setelah menderita serangan jantung koroner pada tanggal 6 Agustus 2009. Dimakamkan di TPU Bengkel Teater Rendra, Depok. Posisi seorang budayawan yang ideal itu tidak berpihak kepada apa pun dan siapa pun, tetapi kepada kebenaran. Rendra menyebut kelompok ideal seperti ini sebagai “mereka yang berumah di atas angin”. Mengenang Rendra adalah mengenang keberaniannya menerobos batas dan kebebasannya berkreasi. Bukankah kebebasan berpikir dan keberanian melakukannya yang membawa perubahan?
Berikut salah satu puisi Rendra yang sarat akan kritik sosial;
Sajak Sebatang Lisong
Menghisap sebatang lisong
melihat Indonesia Raya
mendengar 130 juta rakyat
dan di langit
dua tiga cukong mengangkang
berak di atas kepala mereka.Matahari terbit
Fajar tiba.
Dan aku melihat delapan juta kanak-kanak
tanpa pendidikanAku bertanya.
tetapi pertanyaan-pertanyaanku
membentur meja kekuasaan yang macet,
dan papantulis-papantulis para pendidik
yang terlepas dari persoalan kehidupan.Delapan juta kanak-kanak
menghadapi satu jalan panjang,
tanpa pilihan
tanpa pepohonan
tanpa dangau persinggahan,
tanpa ada bayangan ujungnya.
………………………………….Menghisap udara
yang disemprot deodorant
aku melihat sarjana-sarjana menganggur
berpeluh di jalan raya
aku melihat wanita-wanita bunting
antri uang pensiunan.
Dan langit
para teknokrat berkata:Bahwa bangsa kita adalah malas,
bahwa bangsa mesti dibangunin,
mesti di-up-grade,
disesuaikan dengan teknologi yang diimpor.Gunung-gunung menjulang.
Langit pesta warna di dalam senjakala.
Dan aku melihat
protes-protes yang terpendam,
terhimpit di bawah tilam.Aku bertanya,
tetapi pertanyaanku
membentur jidat penyair-penyair salon,
yang bersajak tentang anggur dan rembulan,
sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya,
dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan
termangu-mangu di kaki dewi kesenianBunga-bunga bangsa tahun depan
berkunang-kunang pandang matanya,
di bawah iklan berlampu neon.
Berjuta-juta harapan ibu dan bapak
menjadi gemalau suara yang kacau,
menjadi karang di bawah muka samodra.
………………………………………………………..Kita mesti berhenti membeli rumus-rumus asing.
Diktat-diktat hanya boleh memberi metode,
tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan.
Kita mesti keluar ke jalan raya,
keluar ke desa-desa,
mencatat sendiri semua gejala,
dan menghayati persoalan yang nyata.Inilah sajakku!
pamplet masa darurat.
Apakah artinya kesenian,
bila terpisah dari derita lingkungan.
Apakah artinya berpikir,
bila terpisah dari masalah kehidupan.19 Agustus 1977
WS. Rendra
Disadur dari buku Potret Pembangunan dalam Puisi Karya WS. Rendra, diterbitkan oleh Pustaka Jaya, Bandung. hal. 31.
Sumber gambar WS. Rendra: Kompas
Tinggalkan Balasan