aldiantara.kata

 

 

Aku tak harus takut kehilangan, karena tak miliki apa-apa. Syukur itu ada setelah aku pernah memiliki. Sesuatu yang membuat khawatir.

Aku merasa bebas tak ada yang mengekang karena pernah merasa terikat. Aku merasa sepi karena pernah berdua.

Aku bersyukur menaiki kendaraan umum setelah lelah menekan pedal gas dan menanggung biaya perawatan. Sementara kini bisa terlelap sembari melihat apa yang dahulu selalu terlewat.

Seorang menginginkan kendaraan pribadi setelah lelah ditahan kemacetan roda empat dan ketergesaan waktu yang tak menunggu empu.

Kita pernah saling menginginkan, sebab lelah lantaran terpaan keadaan yang buat kita enggan menyendiri.

Kita merasa sepi setelah sekian lama mencari melalui tebakan yang tak sepenuhnya salah.

Sudahi dulu, aku sedang meneruskan perjalanan. Supir angkutan umum kota agak frustasi mencari penumpang. Dua anak kecil berteriak “ada badut!”, kukira di dalamnya pria dewasa, mengabaikan celetukan si gadis kecil yang bergandeng bersama ibunya, padahal boneka kartun tersebut adalah anak kecil yang sedang duduk di halte kosong. Apakah iba ku menjadi sedekah, Rabb?

Aku bersendawa setelah kuteguk sisa susu kental manis. Aku menghinanya, kah? Dalam harap doa hidupnya dalam cukup makan dan kabul cita-cita. Keberkahan.

Seorang kakek, pada sebuah angkot penuh, memberi isyarat akan turun sesampai tujuan, “marangga. Sing saralamet ah.” Mendoakan. “Mari, semoga semua selamat (sampai tujuan), ya.” Aku teringat memori lama, terakhir kudengar itu tahun ’99 kala pergi ke kota bersama Kakek. Lama sekali. Ramah dan mendoakan. Kini cenderung Bersikap asing dan mengasingkan.