Oleh: Ibnu Masykur
Siang makin nyala di luar. Di dalam, rokok-ku redup menunggu mati. Sedang nama-nama di dalam dada, kian nyalang nyanyikan lagu tentang duka. Duhai, Gusti. Kemana perginya doa-doa kami? Engkau dengarkah? Doa Sukir semalam saat ia dapat giliran jaga ronda, tentang anaknya yang ngadat minta sepatu berlampu.
Juga doa Sukemi kemarin sore. Ia terbatuk di depan mesin pemotong kertas, tentang anaknya yang harus beli buku sekolah.
Lalu, jangan lupa doa Rendra. Bukan, bukan Rendra penyair itu, tapi Rendra yang kemarin pagi menangis depan makam orang tuanya. Ya, betul, Gusti. Rendra yang putus sekolah lalu ikut memulung bersama kedua orang tuanya yang kini telah tiada. Ibunya ditemukan mati mengambang di Ciliwung, beberapa tahun yang lalu. Penyebabnya tak pasti. Sedang ayahnya, mati dikeroyok massa lantaran dituduh mencuri ampli masjid sebelah rumah. Ya, Rendra itu yang kumaksud. Engkau dengar doanya pagi tadi, Gusti?
Tentang dendam yang akan terus ia jaga agar tak padam. Bukan, bukan dendam pada orang-orang yang mengeroyok ayahnya, tapi dendam padaMu yang duduk begitu tenang entah di mana. Astaga, Gusti. Engkau harus waspada, karena Rendra kecil itu, kini sudah pandai memilah sampah, bukan tak mungkin kelak ia akan benar-benar mencariMu. Tapi aku sendiri agak ragu, karena aku tahu siapa Engkau, Gusti. Engkau tak akan terluka hanya karena sebuah gancu di tangan gemetar seorang bocah!
Tinggalkan Balasan