aldiantara.kata
Dari sebuah gelas, aku belajar banyak hal. Aku gunakannya meminum air putih. Lain waktu menyeruput teh panas, kopi dengan sisa ampas hingga minuman bersoda. Tiap kali mencucinya, selintas memang hal biasa, namun aku merasa tidak mudah mengambil sikap ‘mencuci langsung setelah pakai’.
Justru karena tidak ‘mencuci langsung setelah dipakai’ itu, gelas satu-satunya ini terlihat menjijikan, entah karena semut, atau cicak yang entah tiada angin, hujan bahkan pandemi, sudah berenang di sisa ampas kopi yang dangkal.
Kadang pula menjijikan karena dibiarkan begitu lama hingga sisa minuman menjadi basi dan berbau tak sedap. Padahal bekas minumku sendiri.
Korban-korban gelasku sudah banyak. Bila sudah terlihat demikian halnya, tak jarang aku buang gelasnya. Bisa saja aku membersihkannya, tapi ketika nanti aku minum, rasanya aku enggan mengingat-ngingat bagaimana keadaan gelas itu sebelum dibersihkan. Apalagi harus meminum air putih dengan aroma busuk yang masih menempel. Sebab posisi mulut dan hidung berdekatan. Andai posisi mulut sekarang, sementara hidung berada di tengah-tengah paha mungkin akan sedikit berbeda ceritanya.
Pernah, pernah, pernah, kala itu aku membeli gelas baru, kaca berwarna bening. Tiga buah. beberapa teman berkunjung, membuat minuman manis. Entah bagaimana ceritanya, setelah mereka pulang, rasanya masih malas untuk langsung mencucinya. Kupikir, jika aku tak segera mencucinya, setidaknya aku harus merendamnya saja agar mudah mencucinya. Betul! Aku berhasil merendam ketiga gelas selama….tiga hari. Pppfft.
Ah, kupikir tak apa. Aku mencucinya hingga kinclong. Menyimpannya pada rak perkakas setelahnya. Keesokan hari setelah kucuci, hendak digunakan, ternyata beningnya gelas sudah tak lagi bagus, ia berwarna kusam. Ah, gelasnya tak cantik lagi. Akhirnya, gelas-gelas kaca yang berjumlah tiga itu, kujejerkan di tempat sampah dengan rapi. Aku tak melemparnya ke tempat sampah, lho! Beda ngga, ya?
Hingga kini, sisa satu gelas kupunya. Berwarna putih susu, tak bening tembus pandang. Tidak akan ada lagi kupikir gelas berwarna kusam. Harusnya tidak ada lagi korban-korban gelas berikutnya. Aku tidak dalam perasaan menggebu-gebu. Aku masih dalam kebiasaan jorok. Hanya saja, ketika tiba gelas (satu-satunya) ini masih menyisakan minuman yang sudah basi, atau cicak yang sudah dipanggil Yang Maha Kuasa dalam kubangan ampas kopi, aku hanya memastikan mencucinya dengan baik, sabun yang sedikit lebih banyak agar tak menyisakan bau. Setelah kucuci dan kering. Kubaui… Ah, mantap (lagu TikTok).
Apalagi ketika teman berkunjung di kediamanku, hendak minum, tiada gelas lagi selain gelas yang cantik ini, ia tak berpikir panjang. Kumengernyitkan dahi, dia tak mati setelah minum. Lagipula, ia tak harus tahu bahwa aku tak harus meminjam diksi Danilla Riyadi pada acara Pengadilan Musik YouTube, “bercumbu secara tidak langsung” lantaran satu gelas yang sama, maksudku, bukan hanya bercumbu denganku, tapi juga dengan makhluk-makhluk Tuhan lain, cicak yang lucu, kecoa yang gagah, semut yang pemberani dan sedikit pongah, hingga sayap-sayap patah sang laron. Kita harus minum tanpa berprasangka apapun, mungkin termasuk sianida di dalamnya.
Bentar, bentar, bentar. Sepertinya ketika aku berkunjung ke kediaman temanku, aku pun tak pernah berpikir demikian halnya aku. Siapa jamin? Bisa saja bukan cuma bekas binatang, namun juga bekas batu bara, timah, avtur, kerikil, pasir putih, gypsum atau vaksin?
Lantaran tragedi gelas ini pun, ketika aku berkunjung ke kediaman temanku, bilaku sudah memakai gelas untuk seduhan minuman, segera ku mencucinya sendiri, sekalipun terkadang dihalangi oleh tuan rumah. Entahlah. Takut ada korban gelas lain kali~
Lalu, apa ternyata yang kupelajari?
Tinggalkan Balasan