Bora, alias Borangan, merupakan salah satu warga di suatu daerah asing di provinsi Ambora, alias Amboradul. Ditilik dari namanya saja ada mirip-mirip. Jelas sudah orang tak meragukannya lagi sebagai warga pribumi.
Akhir-akhir ini Bora menjadi bulan-bulanan warganya. Sebagai mahasiswa yang kuliah di jurusan agama, ia justru kedapatan mencuri mushaf al-Qur’an mushalla Kampung Sumberwaras. Tanpa kenal ampun, meskipun di tengah wabah kian menukik angka positif di Provinsi Ambora, warga akhirnya memperlakukan koruptor ini—maksudnya pencuri ini, sejalan dengan amanat pemerintah di tengah wabah corona, dengan dilakukannya Physical Distancing. Terbebaslah si anak dari bogem mentah.
Namun jika dirunut ke belakang, maling-maling lain yang kedapatan basah curanmor di Kampung Sumberwaras. Justru diperlakukan dengan baik. Dikasih makan; diberi suguhan-suguhan khas yang tidak ada di negeri lain, sebut saja cimplung, misro, awug, blukoja dan lain-lain, bahkan disediakan pula tempat istirahat.
Sebelum pulang si maling akan ditanya mengenai dalang dibalik perbuatannya, dicarilah orang tersebut. Konon, si dalang kriminal pun, yang membawahi jaringan maling kelas teri, tidak diberi bogem mentah oleh tim intelijen Sumberwaras. Akan tetapi hanya dipisah-pisahkan saja setiap organ tubuhnya.
Ndilalah, mushaf yang diambil Bora rencananya akan digunakan untuk pembinaan anak-anak kos. Katanya tidak efektif kalau melalui aplikasi android, sementara mushaf dibiarkan dihormati debu, ketimbang oleh lisan manusia.
Warga Sumberwaras sebenernya ngga kagetan. Baru semalam tadi ada curanmor. Ngga ada penggebugan. Motifnya murni kelaparan. Yang ada, si maling mengeluh, “Di kampung para warga (selalu shalat) jama’ah, ada kajian pula, tetapi masyarakatnya ngga peduli wong cilik seperti saya.”
Fresh-graduate pengangguran hal biasa. Si Bora yang semestinya boyong bulan depan, sepertinya harus menunda kepulangan. Para warga sepakat untuk membawa Bora ke hadapan seorang tokoh berpengaruh di Kampung Sumberwaras. Tokoh tersebut dikenal dengan nama Pak Boosoek. Bahkan selama ini sosoknya misterius, tidak dikenal apa pekerjaan dan identitasnya. Yang jelas, ketika berhadapan dengan tokoh tersebut. Semua warga segan kepadanya.
Setelah berhadapan dengan Pak Boosoek. Orangnya bahkan biasa-biasa. Tidak nampak aura-aura kharismatik, apalagi aura kesucian seorang pandita atau pemuka agama. Menurut rumor yang beredar, justru tokoh ini yang ‘menjamin’ perekonomian warga Sumberwaras. Namun tidak ada seorang pun yang tahu apa pekerjaannya. Dilihatnya si Bora, keduanya bertatapan. Tanpa basi-basi, sebagai hukuman, Pak Boosoek meminta Bora untuk menjadi pegawai kontrak bawahannya. Tidak bisa menolak. Toh juga (masih) fresh graduate pengangguran. Tidak ada ‘hitam di atas putih’. Pak Boosoek meminta Bora untuk datang besok pagi-pagi sekali ke rumahnya.
‘Bagaimana bisa pekerjaan si Bapak saja tidak jelas, apalagi bisa memberiku pekerjaan.’ Lamunan si Bora membayangkan pekerjaan apa yang akan dilakoninya dalam masa hukuman besok. Tidak lama, keesokan harinya. Tepat waktu Bora sampai. Pak Boosoek terlihat sudah sibuk ketak-ketik depan laptop.
Tanpa melihat ke arah si Bora. Pak Boosoek hanya menyodorkan list tugas yang harus dikerjakannya. Tetiba mengernyitkan dahi. Si Bora justru heran dengan apa yang harus dilakukannya. Menuju nomer pertama saja, antara yakin dan tidak. Ini adalah sebuah pekerjaan alternatif! Tanpa baca berulang-ulang. Ia sudah tau apa yang harus dilakukan.
Joblist nomer satu: menghitung jumlah rumah berwarna ungu di Kampung Sumberwaras. Meski terdengar konyol, lumayan juga harus berkeliling kampung seluas wilayah 20 km². Dua kilometer lebih besar dibanding kota Magelang. Bermodalkan onthel, satu buku-pulpen serta smartphone. Tidak mungkin ia harus meminta bantuan search engine internet. Ia hanya harus mengerjakan tanpa banyak bertanya. Setelah menjelang maghrib, selesailah joblist pertama. Laporan dokumentasi serta hasil dikirimkan pada Pak bos. Alias Pak Boosoek.
Joblist nomer dua: mencari 20 pemain sepakbola yang bisa mencetak gol pada menit yang sesuai dengan nomer punggungnya. Kemarin bekerja bak kuli bangunan, kini bak pegawai kantoran. Cukup duduk mantengin cuplikan-cuplikan gol-gol sepakbola streaming-an. Sebagai penikmat bola, rasa-rasanya memerhatikan menit saat terjadinya gol hanya ketika gol datang pada menit-menit akhir. Tidak penting!
Gila saja. bahkan Lionel Messi atau Gareth Bale yang dawam mencetak gol saja belum tentu memerhatikan menit yang tepat untuk mencetak gol. Apalagi harus pas pada menit 10 atau 11 sesuai nomer punggungnya. Namun mau tidak mau, pekerjaan alternatif ini harus dilakoni dengan dengan lapang suntuk, ketimbang lapang dada. Dirinya pun tak yakin, secapek ini bekerja memangnya si Pak bos bisa gaji berapa. Setelah dipikir-pikir, toh ini karena dia ketangkep basah jadi maling. Palingan dia hanya diupahi makan siang bareng.
Belum selesai pekerjaan, Bora sudah melihat list pekerjaan selanjutnya yang tak kalah mengherankan. Namun, pada akhirnya, joblist kedua dapat diselesaikan selama dua hari semalam. Baru saja hendak dikirimkan, tetiba dapat telepon Pak bos.
Besok gajian!?
Kata Pak bos, bagi fresh-graduate menyedihkan seperti Bora, menerima gaji pertama sangatlah berkesan. Meski Bora sudah tak berharap apa-apa. Hadiah apa pun takkan terlupakannya. Setelah berbincang dengan Pak bos. Makin lemaslah sarjana itu. Benar saja Pak bos tak memberinya uang. Ia hanya menyodorkan selembar kertas kosong. Lalu meminta untuk menuliskan semua kebutuhan pokok selama sebulan. Si Bora makin yakin bahwa ada yang tidak beres dengan otak Pak bos ini. Meski sadar ini merupakan ‘pekerjaan’ pertama, Bora sepenuhnya yakin tidak ada pekerja yang diberi gaji seperti ini sebelumnya.
Akhirnya mau iya mau, ia tuliskan kebutuhannya dari mulai listrik pulsa yang pajaknya lebih mahal daripada isi kwh-nya, beras kualitas standar, gula yang melambung tinggi harganya, uang sampah lantaran belum bisa mengurus sampahnya sendiri, telur, sayuran, dan lain-lain.
Baru saja selesai tuliskan semua. Hendak menyodorkan. Pak bos terlebih dahulu menyodorkan selembar kertas kosong serupa. Rupanya ia meminta agar Bora sekalian antarkan kertas tersebut pada pekerja bangunan masjid yang sedang sibuk renovasi kejar tayang agar rampung saat Ramadhan. Pak bos cerita bahwa ketika ia melewati masjid tersebut menjelang dzuhur, ia melihat seorang jama’ah masjid di pelataran memperhatikan pekerja bangunan yang ngecat. Pakaiannya lusuh. Kusam. Badannya kekar. Pak bos tak suka. Berbeda dengan jama’ah tersebut yang wangi dan rapih. Pak bos bilang tak suka dengan cara jama’ah tersebut menatap. Pak bos bilang tatapannya seperti melihat siamang di kebun binatang!
Bora terlihat masih gelisah. Sepertinya ada kebutuhan yang lupa ia tulis. “Yakin ini saja, cukup?”. Si Bora mengambil kertas dari tangan Pak bos, menulis dalam ingatan remang berselimut ragu. Poin baru. Ia tuliskan dalam kebutuhannya. Poin dua belas. Biaya kos. Poin tiga belas……………………Kondom.
Tinggalkan Balasan