Kabar mengenai Bora yang ‘ribut’ di PSK sudah terdengar ke telinga Pak bos. Nablisi Cahyo sendiri sudah serahkan asistennya tersebut. Pak bos sampai geleng-geleng. Diajaklah Bora berbincang. Meskipun banyak mendapat materi-materi keislaman yang cukup ‘liberal’, namun Pak bos heran dengan sikap Bora yang sangat reaktif seperti Islam garis sweeping. Namun sebenarnya Bora sudah jengah dengan pengkotak-kotakan agamanya ini. Ada garis lucu, garis keras, ada Islam kanan, Islam kiri, Islam tengah. Dan lain-lain.

Memang bukan cuma soal pekerjaan, menghadapi masalah pun membutuhkan jam terbang. Namun, kesimpulan Pak bos, Bora punya kesehatan mental. Maka diajaklah Bora berkeliling Kampung. Hingga akhirnya tiba pada suatu tempat: Rumah Sakit Liberal Jaya. Sebelah bangunan tersebut: Rumah Sakit Konservatif Saklek.

Kini giliran Bora yang geleng-geleng. Kampung macam apa ini. Apakah Pak bos semua yang menjadi otak pembangunan kampung Sumberwaras? Jangan-jangan Pak bos fans berat Mbah Sujiwo Tejo, dan sudah menamatkan berkali-kali Kitab Suci Republik Jancukers. ‘Penodongan’ biaya administrasi publik untuk bikin KTP di Desa atau ngurus surat di Kepolisian bukan hal yang tabu. Tapi kok ini malah polisi punya atasan emak-emak.

Rumah sakit liberal terlihat megah. Rumah sakit konservatif terlihat syahdu. Kata Pak bos, bukan cuma sakit fisik yang harus diobati, pemikiran seseorang bahkan bisa jauh lebih mematikan. Bahkan bisa ‘menular’. Memasuki RS Liberal, dilihat Bora seorang lelaki paruh baya yang didorong oleh kursi roda sambil berteriak, “Jihad! Jihad! Allahuakbar!”. Seorang perawat di belakangnya berusaha menenangkan lelaki tersebut, “Sabar, Bapak. Jihad itu kan tidak mesti dengan pergi ke Suriah yang masih bergejolak. Apakah Bapak masih mempunyai orang tua? Berbakti kepada keduanya termasuk bagian dari jihad lho.”

Setelah berjalan beberapa saat, Bora mendengar percakapan antara dokter dan pasiennya, ia mengeluhkan keadaan yang akhir-akhir ini resah dan gusar. Cukup lama Bora mendengarkan percakapan mereka, sementara si dokter terlihat mengangguk-angguk, sesekali tersenyum. “Bapak, sudahlah, jangan terlalu dipikirkan mengenai poligami. Istri sudah begitu setia dengan Bapak, anak pun Bapak sudah empat. Itu sudah ‘investasi yang sangat bagus lho untuk akhirat kelak. Jelas saja ketika Bapak memberikan buku tentang poligami kepada istri, sang istri merespon dengan merobek buku tersebut kecil-kecil, sedikit-sedikit, itu ekspresi kekecewaan. Monogami juga sunnah Nabi. Memang berapa lama Nabi saw. melangsungkan monogami dengan Khadijah ra.? 25 tahun! Toh masih banyak sunnah-sunnah Nabi yang lain yang bisa diamalkan.”

Bora pun kini sampai di Rumah Sakit Konservatif Saklek. Pada ruangan yang terbuka, Bora pun mendengar percakapan antara seorang pasien dan dokternya. Belum juga si pasien baru memperkenalkan dirinya, belum mengutarakan keluhannya, “Kamu atlet apa?” tanya dokter. Pasien bertopi ‘sutra’ tersebut menjawab, “atlet billiard, Dok”. Dokter jawab, “Mungkin (cedera ini) ada faktor kelalaian, tetapi bagi saya ini teguran dari Allah swt. Kamu tahu ndak olahraga yang disunnahkan itu apa?”. Pasien terlihat diam mendengarkan. Dokter melanjutkan pembicaraannya, bercerita bahwa yang syar’i itu tiga hal; memanah, berenang, serta berkuda. Mengira dirinya baru mengetahui hal itu, pasien tersebut menanggapi, “Setahuku, bukankah ketiga hal tersebut juga bermakna simbolik? Berkuda berarti menguatkan otot, keseimbangan tubuh. Berenang berarti melatih pernafasan dan memanah berarti meningkatkan fokus. Maka, olahraga lain pun jika sejalan dengan beragam manfaat ketiga olahraga tadi berarti bol…” “Mas.” Dokter menyela. “Tidak bermakna simbolik, itu juga bisa pula futuristik kok. Kelak di akhir zaman kita akan kembali ke zaman memanah dan berkuda. Tidak ada yang namanya teknologi atau yang aneh-aneh. Hal ini membuktikan kecerdasan Nabi. Bagaimana lagi, Mas. Teksnya tertulis begitu. Dipahami begitu saja.”

Bora berlalu. Menyisakan pertanyaan di kepalanya. Bagaimana cara masing-masing rumah sakit ‘merekrut’ pasien-pasiennya? Seorang pasien sakit di rumah sakit liberal jaya akan dipandang sehat di rumah sakit konservatif saklek. Begitupula sebaliknya. Ah, kesimpulannya mungkin setiap manusia mungkin penyakitan.

Latar belakang keagamaan keluarga Bora disadarinya beragam. Ibunya dibesarkan dalam lingkungan Muhammadiyyah, namun kemudian menjadi Salafiy. Ayahnya Nahdhatul Ulama. Bora dan kakaknya besar dalam lingkungan Muhammadiyyah tulen, namun sebagian besar teman-temannya juga Nahdliyyin. Peran ibunya dalam menginternalisasi nilai-nilai keagamaan dalam keluarganya begitu dominan. Ibunya sering berpesan dan berharap agar Bora menjadi seorang mujahid bagi agamanya. Meskipun terdidik dalam Universitas Islam, tidak jarang Ibunya khawatir anaknya menjadi liberal. Bora trauma ketika berdialog dengan orangtuanya dahulu perihal sunnah Nabi saw. dalam memanjangkan janggut. Bora berkelakar, “Abu Jahal dan Abu Lahab saja berjanggut.” Ujar Bora sambil mengusap janggutnya yang tak kunjung tumbuh-tumbuh kendati usianya melewati kepala dua. Sontak membuat kedua orangtuanya geram dengan sikap liberal anaknya. Ayahnya merespon, “Bor, jangan nyeleneh! Kamu itu sudah jadi sarjana agama, harusnya memberi pencerahan kepada masyarakat. Jangan membuat masyarakat menjadi bingung.” Ibunya menambahkan, “Ya begitu. Di sekolah hanya bergelut dengan metodologi, tapi hatinya kering.”

Bora merasa jengah. Ibunya menilai perkuliahan Bora hanya membuatnya menjadi liberal dan kering hatinya, sementara dalam hati Bora memberontak bahwa pemahaman ortunya terlalu kaku. Namun tak pernah disampaikannya. Sudah menjadi rutinitas selepas subuh di mana ibunya memberikan kajian tauhid di rumahnya. Bora jengah lantaran di luar pun, pengkotak-kotakan antara pemahaman tekstual dan kontekstual memiliki pengikut ‘fanatik’ masing-masing. Tidak jarang Bora perhatikan tulisan teman-temannya yang kerap menyerang kaum tekstualis, menyebutnya garis keras, dan sindiran-sindiran lain. Bora merasa jengah, apakah dengan tujuan ini ia menjadi seorang yang terdidik? Hanya memihak kepada salah satu kelompok dan menjadi lawan pihak lain? Bahkan Bora ingat dengan perkataan Buya Syafi’i Ma’arif yang mengatakan pengkotak-kotakan ini sebagai ashabiyah, fanatisme golongan, hingga berhala.

Berdiri di antara dua kubu tekstualis dan kontekstualis membuat Bora berada di Punk Hazard (Kartun Onepiece). Secara pemikiran, Bora sudah banyak bergelut dalam pendidikannya dan menyadari metodologi yang ia pelajari dalam mengkaji teks keagamaannya membuatnya menjadi progresif dan aktual merespon zaman. Namun, Bora merasa semakin penat. Bahwa ‘Salafiy’ yang dipahami Ibunya sangatlah unik. Outputnya adalah terbentuknya komunitas pengajian perempuan di kampungnya, yang sangat progresif.

Hm. Saatnya pergi ke bioskop. Rumah sakit liberal jaya atau rumah sakit konservatif saklek bukanlah pilihan bijak.