Bos besar terlihat sudah nyaman dalam petualangan imajinatifnya dalam suasana temaram. Bora dan teman-temannya dari Kampung Sumberwaras mulai beranjak dari sofa. Pembantu terlihat buru-buru namun tetap menjaga agar langkah setengah buru-burunya tak menimbulkan kegaduhan. Sembari menyodorkan tiga amplop cokelat, amanah dari bos besar.
Di perjalanan pulang, ketiganya membuka amplop tersebut. Segepok uang. Merah semua. Teman-teman Bora tersebut mengambil beberapa lembar uang di dalamnya, mengambil perkakas dalam tas, kemudian memaku uang-uang tersebut di atas tanah. Lalu pergi.
Pagi harinya, setelah laporan pada Pak bos, Bora ditanyai mengenai pengalaman dalam pertanian. Sebagai fresh-graduate, memahami satu buku saja tak tuntas, hidup tak punya inisiatif, bekerja fisik pun belum pernah, tentu saja mengenai perkakas seperti cangkul dan arit belum pernah Bora berhubungan intim dengan perkakas-perkakas tersebut. Malah ketika liburan di rumah, daripada membantu ayahnya membenarkan genteng bocor, atau sekedar membantu Ibunya mencari dan memukul tikus, Bora lebih senang mencuci piring di dapur.
Kebetulan sekali Pak bos meminta untuk mengerjakan joblist berikutnya. Yakni mengunjungi PSK. Alias Pusat Studi Kampung Sumberwaras. Bora diminta untuk menemui dan mengamati seorang peneliti bernama Nablisi Cahyo. Memang agak mirip dengan seorang peneliti terdahulu: An-Nablusi. An-Nablusi merupakan seorang peneliti, pada tahun 1997 melakukan eksperimen di perkebunan Fakultas Sains. Beliau menjelaskan bahwa pohon dan tumbuh-tumbuhan sama seperti benda-benda langit. Mereka bisa merasa, mendengar, bereaksi, dan merespons, baik negatif maupun positif, terhadap pengaruh-pengaruh luar yang berada di sekelilingnya. Hal tersebut merupakan konklusi penelitian yang dilakukannya. Bahwa dengan dibacakan bacaan-bacaan dari surah kitab suci, terdapat pertumbuhan 44% gandum lebih banyak daripada tanaman yang tumbuh standar.
Kini, Nablisi Cahyo melakukan hal yang mirip-mirip dengan An-Nablusi. Pada eksperimen ini, Nablisi membuat empat rumah plastik dengan ukuran yang sama lalu di dalamnya ditanami tanaman gandum jenis tertentu. Keempat rumah plastik ini diisi tanah dengan jumlah yang sama lalu ditanami tanaman gandum dengan kedalaman yang sama, diberi pupuk dalam jumlah yang sama dan dari jenis pupuk yang sama, dan disirami dengan jumlah air yang sama. Beliau lalu menugasi tiga asistennya dengan tugas yang berbeda-beda. Seorang beliau tugaskan untuk membaca beberapa surah dari al-Qur’an, yaitu surah Yasin, al-Fatihah, dan ayat Kursi, dua kali dalam seminggu di dalam rumah plastik yang pertama. Seorang yang kedua beliau tugaskan Bora untuk datang ke rumah plastik kedua dua kali dalam seminggu sambil membawa beberapa tumbuhan yang selanjutnya Bora potong-potong dan ia “siksa” di hadapan tanaman yang ditanam dalam rumah plastik tersebut sambil mengucapkan kata-kata yang kasar dan tidak pantas. Seorang yang ketiga ia tugaskan untuk memukul-mukul tanaman yang ditanam di rumah plastik ketiga serta memangkas daun-daunnya. Jadi, ada tanaman gandum yang diperlihatkan dihadapannya “penyiksaan” terhadap tanaman lain, ada tanaman gandum yang menerima “siksaan”, dan ada tanaman gandum yang dihadapannya dibacakan ayat-ayat al-Qur’an. Adapun rumah plastik yang keempat tidak diapa-apakan dan dibiarkan tumbuh biasa yang untuk selanjutnya diberi label ‘standar’.
Memang agak prosedural, sesuatu yang membuat Bora memang menghindari hal-hal berbau eksak. Dulu saja ketika Ujian Nasional SMA-nya, ketika ujian fisika, kimia, biologi dan matematika, ia malah pamer-pameran dengan teman di belakangnya kalau ia mengerjakan ujian pelajaran tersebut tak perlu melihat lembar soal. Setelah mengisi data pribadi, Bora malah asik menyusuri lembar jawabannya, memberikan kepercayaan kepada pensil agar berbuat sesukanya. A, A, B, B. C, D, C, D. A, B, C, D. Sambil membayangkan Mie Ayam Mang Olih favoritnya setelah selesai ujian.
Memang tugas untuk jadi asisten Nablisi ini tidak sulit. Ia berpikir bagaimana cara efektif agar makian-makiannya terdengar ada penjiwaan nan penghayatan. Agar makian dan umpatan kata-kata tak pantas ini terlihat natural. Sehingga penelitian ini tidak main-main. Bora ndilalah punya ide. Sebelum bertugas, ia berikan list kebutuhannya pada Nablisi.
Keesokan harinya.
Bora kini punya asisten. Seorang napi koruptor dan seorang dukun. Sebagaimana tugas bora dalam penelitian ini: datang ke rumah plastik kedua, dua kali dalam seminggu sambil membawa beberapa tumbuhan yang selanjutnya Bora potong-potong dan ia “siksa” di hadapan tanaman gandum yang ditanam dalam rumah plastik tersebut sambil mengucapkan kata-kata yang kasar dan tidak pantas.
Setelah beberapa tumbuhan dipotong-potong dan ‘siksa’ di depan tanaman gandum, ketika hendak mengucapkan kata-kata kasar dan tidak pantas, Bora jalankan skenarionya. Sang dukun memegangi tengkuk leher sang napi koruptor, kemudian ia pun memijiti tengkuknya, tiba-tiba sang napi terlihat mual dan katakan: “proyek, proyek, proyek…Rakyat, anggaran, anggaran…pengajian, pengajian, sapi, kambing, undangan, buku, rakyat, rakyat, rakyat, demi bangsa dan negara……..” “Kampreeett..” sontak Bora dan sang dukun sama-sama kaget. Kode korupsi macam apa ini!?! Ujar Bora. Sementara sang dukun masih memijiti tengkuk sang napi. “Proyek, liqo, liqo, liqo, satu juz, dua juz, tiga juz, empat juz, kiai, ustad, pesantren, proyek, rakyat, demi bangsa dan negara”. “Anjiiiinnggg…” Umpat Bora. “Astaghfirullaah” pekik sang dukun, padahal selama ini dikenali warga tak beragama. Bora tak bisa menahan emosinya. Bora terlihat reaktif mendengar simbol-simbol agamanya diusik. Kekerasan tak terhindarkan. Berbagai jenis combo, hits, pukulan, menghujani tubuh tak berdaya sang napi. Seakan Bora mempraktikkan jurus-jurus Bakuryu, Gado, sesekali Shen Long di game Bloody Roar 2 yang ia mainkan di PS 1 saat dia masih SD, diselingi pukulan seperti Paul di game Tekken. “Jancooookk..sabar Mas. Sabar Mas.” Teriak sang dukun berusaha melerai.
Sepertinya tugas Bora sebagai asisten Nablisi Cahyo berjalan sangat lancar. Tidak hanya memaki dan menyiksa tanaman tersebut. Bahkan menyiramnya dengan darah manusia. Natural sekali.
Tinggalkan Balasan