Cipcip, kucing oranye, milik tetangga kos, seperti tertegun ke arah Merapi selepas Maghrib. Pada malam harinya, kubaca berita terkini, Merapi kembali tunjukkan tanda aktif. Memang begitu biasanya, hewan selalu lebih pandai membaca alam.
Biasanya ketika Cipcip mengeong, antara makanan keringnya habis, atau sekedar hendak ditemani makan. Bila hujan turun dengan deras, ia berlari memasuki kamarku, bersembunyi di bawah ranjang, menyisakan sepasang mata yang menyala.
Pagi harinya, bukan cuma dirinya saja yang berloreng oranye, terdapat dua ekor lagi. Berjaga jarak, berhadapan dengan dua ekor kucing lain, mungkin dari tetangga sebelah yang lain, berwarna abu loreng, seperti bernegosiasi, saling mengeong, pagi-pagi sekali. Berebut kekuasaan wilayah.
Cipcip dulu merupa jantan berbadan kurus, namun setelah kawin dan berteman dengan si betina bernasab bagus, kini gemuk juga, aku sempat khawatir dengan kalung penanda di lehernya yang akan membuatnya sesak, seiring dengan bertambahnya bobot.
Aku masih terbayang cara bagaimana Cipcip berpandang lurus ke arah Merapi. Ia tak terusik dengan langkahku. Memandang seperti menembus awan, serta langit yang tak dapat diterka dengan mata telanjang. Mataku.
Cipcip diam, masih tertegun, melihatnya cukup membuatku takut, namun ia terlihat tenang. Seperti sedang berkomunikasi melalui udara.
Cipcip diam, tak seperti buih suara manusia yang tak berhenti nyinyir.
Ah, aku terlalu fokus pada Cipcip. Makan malamku dikerubungi semut revolusioner. Mereka berkerubung, seperti menyidak seakan aku menyembunyikan lobster yang sedang ramai menjadi perbincangan, di dalam nasi goreng.
“Sumpah. Aku tidak tahu menahu!”
Semut tak menghiraukan.
Seseorang memaki semut dengan umpatan, “Anjir.”, “Anjing!”, “Bajigur”, “Badjingan”. Seakan tak ikhlas dengan makanannya disantap duluan oleh makhluk lain.
Tinggalkan Balasan