Apakah cinta hanya beriman kepada hal yang tunggal, menafikan kata “dan, serta, bersama, dengan”? Bukankah kini “dan” menjadi sedemikian wajar dan menjadi jaminan kebahagiaan?
Ujar sebuah tanya, suatu kali.
Sudahkah tanya menemuimu, yang tanpa tanda tanya, serupa tanda, nir-bentuk, kata-katanya tersusun seperti pertanyaan, yang enggan dinamainya sebuah tanya kepadamu, agar tak lagi berdebat soal siapa yang hendak memulai tanya, meminjam lengkung bertitik bawah itu, sebagai sapaan yang bernada asing, kepada rindu yang terpasung.
Maka waktu datang malam itu kepadamu, ia bertanya perihal tafsiran-tafsiran atas pembacaanmu, pada antologi puisi Sapardi, yang dawam engkau baca saban bulan Juni. Engkau bilang selalu berhenti pada kata sederhana yang tak sederhana itu, sembari menuntun hujan yang kau bawa membersamai puisi.
Engkau juga kerap mendaku berhenti pada “yang fana adalah waktu, kita abadi”. Kau tafsirkan kalimat itu dengan sederhana yang tak pernah sederhana itu, bukankah bukan tugas kita mengurusi keabadian itu? (dengan tanda tanya)
Aku sempat menitip kalimat kepada tanya, agar disampaikan kepadamu tanpa tanda tanya, “Sudah sampai halaman berapa engkau mengasuh puisi-puisi bulan Juni Sapardi. Bak kehidupan, yang tak menemukan lembar epilog. Jumlah halamannya bertambah engkau baca. Pada pertengahannya ia terjatuh pada kata-kata. Pada selanjutnya ia menemukan kerikil tajam. Pada selanjutnya ia kembali jatuh cinta.”
Engkau tak memberi jawaban atas pernyataanku (sebuah tanya). Engkau malah tak beriman kepada kata-kata, yang engkau sangka kata-kata itu bukan milikku, tapi milik tanya, tanpa menanyaiku.
Tinggalkan Balasan