Memang nasibnya kaum mustadh’afin. Kaum yang dilemahkan oleh keadaan. Melihat perkembangan jagat dunia maya, nyaris pesimis manusia mencari celah untuk tunjukkan eksistensinya. Apa yang belum ada? Hal baru apa yang bisa dilakukan? Merintis sesuatu saat ini seperti halnya meramal kebangkrutan sendiri, bersamaan.
Bersamaan pula, manusia dipaksa untuk tetap bertahan hidup. Meneruskan jalan hidup yang sudah dimulainya.
Terkadang berpikir, aku kini sudah terlalu “tua”, haruskah memulai jalan dari awal untuk kembali belajar?
Sudah. Sudah. Tugasku barangkali memikirkan sesuatu yang utopis. Yang kupikirkan saat ini mungkin dianggap sebagai hal konyol: agar corona segera berpamitan, internet harus dinonaktifkan. Biar saja tidak tahu informasi soal corona. Biar masing-masing dinas kesehatan setempat yang lakukan sosialisasi langsung turun ke masyarakat. Sekalian tidak hanya sosialisasi, melainkan agar dapat melihat langsung bagaimana manusia-manusia hidup dalam ketidak-berdayaan.
Bila melihat manusia yang hidup dalam ketidak-berdayaan, bidang keilmuan mana yang harus bertanggung jawab? Ekonomi kah? Sosial kah? Agama kah? Kumerenung manusia kini hidup dalam sekat-sekat yang terbatas. Namun juga tidak bisa hidup menguasai banyak hal sekaligus dengan keterbatasannya.
Pada sebuah seminar pada tahun 2019, Eko Prasetyo bilang, “Andai Soekarno menuruti bidang keilmuannya, mungkin dulu beliau sudah menjadi mandor. Andai Hatta menuruti bidang keilmuannya, beliau mungkin sudah menjadi pegawai bank. Andai keduanya menuruti bidang keilmuannya saja, Indonesia mungkin belum merdeka.”
Yang kupikirkan saat ini pula, apa yang kubaca dari tulisan Buya Syafi’i Ma’arif dalam buku Menerobos Kemelut. Dalam salah satu bagian beliau menerangkan bahwa dalam kondisi segenting apapun, tidak boleh memelihara kepesimisan. Sebab dalam al-Qur’an menyiratkan pesan keoptimisan dengan terus beramal. Lalu Buya katakan, andai dalam al-Qur’an terdapat suatu ayat yang membolehkan manusia untuk menyerah, maka dirinya terlebih dahulu yang mengamalkannya. Barangkali pesan keoptimisan pasti selalu ada dalam semua kitab suci.
Yang kupikirkan saat ini, anak TK melihat gunung dan hutan melalui internet. Sebagiannya tiada lagi yang menggambar pemandangan dua gunung kembar, matahari di tengah-tengahnya, jalan lurus menuju gunung, di pinggir jalannya banyak pepohonan, dihimpit sawah yang padinya digambar seperti huruf V. Sementara petaninya tidak ada di sawah. Anak-anak TK kini sebagian hanya pandai menggambar rumah atau bangunan besar. Sementara mereka berlibur semester tidak lagi berekreasi dengan tema pemandangan alam atau kebun binatang, melainkan mengunjungi sebuah bangunan asing, mereka tidak memasukinya, begitu pula guru-gurunya, mereka semua hanya berdiri memandangi bangunan asing tersebut dengan jarak dua puluh meter. Semuanya terdiam memandanginya selama dua jam, lalu pergi kembali pulang.
Tinggalkan Balasan