aldiantara.kata
Tumben sekali kau bersemangat membahas buku. Tak ada angin, tak ada hujan. Meski sekarang sudah memasuki bulan Juni. Dadak-dadak kau malah ingin bercerita soal buku Eyang Sapardi Djoko Damono; ‘Ada Berita Apa Hari Ini, Den Sastro?’ alih-alih buku Hujan Bulan Juni.
Kau malah bilang meski puisi-puisi populer Eyang Sapardi begitu ngena’, tetapi kau bercanda bahwa kau ingin dianggap berwawasan luas dengan membaca buku Eyang Sapardi yang lain, agar tak melulu membahas Sapardi berarti puisi Hujan Bulan Juni dan Aku Ingin. Iya-iya kau serius?
“Ngga juga, sih. Siapa tahu sepenggalan saat membaca bukunya bisa aku kutip lalu dijadikan status WhatsApp.” Jawabmu.
“Quote a la a la … ”
“Lalu berpikir perihal kesenduan, membacanya pada sebuah kafe dengan kaca berembun, memandangi jendela sembari ditemani secangkir kopi. Tapi pada kenyataannya hasil fotonya nampak biasa saja, faktanya berada di kafe cangkir biasa dengan angel mainstream, ngga ada estetik-estetiknya.” Aku melanjutkan.
Kau merengut. Menyadari aku bercanda tapi benar adanya.
Lalu kau bercerita bahwa kau sedang membereskan almari bukumu yang sudah lama tak kau sentuh sejak sibuk dengan tugas akhir kuliah. Kau bilang yang penting beli dulu saja buku-bukunya, pasti ada waktu untuk nanti dibaca.
Aku jawab, “Iya kalau memang buku-bukunya akan terus utuh. Bulan lalu aku harus membuang beberapa buku yang sudah mendapat invasi rakyat rayap. Tinggal sesal kenapa mereka harus menyerang buku-buku yang belum tamat dibaca.”
Kau melanjutkan cerita, kau bilang, ketika membereskan buku-buku, tiba-tiba buku Eyang Sapardi ini kebetulan menyembul di antara yang lain, dibacalah sebelum dirapikannya kembali. “Eh di awal-awal beliau mengutip quote Robert Frost, ‘And of course there must be something wrong. In wanting to silence any song.’ ” Kau bilang jadi teringat dengan puisi terjemahan Robert Frost yang baru kau baca di rumah sastra www.diantarakata.com berjudul Stopping by Woods on a Snowy Evening.
Kemudian, aku mengajakmu untuk bergegas mencari tempat yang baik untuk berbincang. Selatan Kampus Bayangan terdapat banyak pilihan tempat nongkrong (cari waypay).
Katamu, meskipun kafe-kafe belakang kampus banyak sediakan buku, para pengunjung lebih dulu memastikan password waypay. “Buku-buku terjemahannya tak menarik.” Ucapmu ketus.
Meski percakapan kita terpotong dengan waiter yang mengantarkan pesanan, kau sudah sibuk mencari guratan pensil yang kamu tandai pada lengan buku, pinggirnya. Kau bilang membacanya dengan sedikit kantuk, bak kenangan yang menggelayuti kelopak matamu agar lekas beristirahat.
“Aku menandai rangkaian kata yang relate dengan keadaanku.”
Dengan demikian, pada masa yang akan datang, baris baca yang terlewat saat ini, bisa jadi akan mengena’ di kemudian hari. Piiih! Aku malah sibuk memperhatikan tahi lalat sebelah kiri bibirmu.
Kau mulai membacakan apa yang kau beri tanda, pada judul puisi pertama, “Ada Berita Apa Hari Ini, Den Sastro?”
“/2/
Apakah kenangan bisa begitu saja meninggalkan tubuhku?
Ada yang terasa nyeri ketika sesuatu kebetulan kautangkap dalam kenangan, pada suatu pagi yang jeritnya bagai ombak, ketika perempuan itu dulu bertanya padamu tentang segala yang telah kaulalui, tentang bekas-bekas jari tanganmu yang masih bisa terbaca di seluruh tubuhnya. Kau tidak ingat benar apa yang ditanyakannya, apa yang sebenarnya ingin ia dapatkan kembali darimu. Ia toh sudah menjadi daun penanggalan yang tiap bulan kausobek dan kaucampakkan di tempat sampah.”
“Bicara kenangan, apa yang sebenarnya ingin ia dapatkan darimu?” diulanginya.
“Kalau lagi rindu kepada kenangan yang sudah jadi lampau, selalu ada harap mengulangi momen yang pernah, kan?”kau mulai berlagak menafsir.
“Sidang skripsi?” tanyaku.
(aku tak ingin menceritakan kelanjutannya, tapi kemudian dia melemparkan kepadaku sesuatu)
Ternyata, aku dan kau sama-sama suka dengan puisi “Rumput”. Banyak orang dalam kehidupannya yang menyimpan sesal dengan apa yang sudah dijalani dan yang jalan yang tak dipilih. Kita bacakan, bergantian.
“Seandainya tidak kuambil jalan ini. Jangan katakan itu. Sebab kau tidak bisa tawar-menawar dengan masa lampau. Dan tak boleh menyebut apa pun yang sudah pernah kaujalani, atau tidak pernah kaujalani, sebagai nanti. Sebagai bayangan dirimu sendiri.”
“Seandainya kulalui jalan yang satu lagi.
Jangan pernah mengucapkan itu sama sekali.
Kalau yang kaupanggil rumput memang harus rumput, ambil saja jalan yang menjulur di depanmu dan lanjutkan saja kehendak (kehendak?) yang telah melemparkanmu kemari. Sekarang ini.”
“Jalan tak pernah berdusta
apakah ia harus membujur ke selatan
atau utara, apakah ia harus berkelok
atau lurus saja, apakah ia siap menerimamu
berjalan perlahan menyusurinya.”
“Jalan tak pernah diberi tahu di mana akhirnya,
tak pernah diajar merencanakan
arah selanjutnya; ia hanya boleh rebah,
begitu saja, dan menjadi sahabatmu.
Kauhayati atau tidak, ia jalan.
Yang menjulur di bawah
matahari. Ia tidak mengatur langkahmu
di kelokan itu. Ia tak lain jalan,
di bawah matahari.”
“Kelokan tak meributkan rumput, tak peduli apakah rumput memang harus rumput dan tidak boleh dipanggil lain, misalnya burung atau kijang. Yang bebas terbang, yang menggemaskan larinya.”
“Kelokan akan menerimamu dengan ikhlas, seperti kalau ia menerima hujan kiriman di musim kemarau. Seperti kalau ia menampung bulu bunga randu yang tak lagi dikehendaki angin. Seperti kalau ia menerima saja segala kehendak jalan. Ia, kau tahu, sungguh tulus.”
…
Irisan buah naga menyisakan beberapa potong di piring meja, jamu yang kau pesan dan temulawak yang kupesan menyisakan sisa setengah. Menuju senja, klakson kendaraan mulai terdengar seperti bersahutan. Jam pulang kerja. Aku melanjutkan perbincanganmu denganmu. Suara menjadi samar, sekitar berputar tanpa kami sadari. Sementara puisi-puisi Eyang Sapardi yang telah kau tandai dengan pensil masih terus berbicara dengan sendirinya melalui suara latar.
“Pertanyaan adalah hasrat
untuk meloloskan diri dari kelokan tajam,
pertanyaan adalah taruhan bagi kehendak
yang terus-menerus hanya dibayangkan.
Pertanyaan selalu kembali lagi
ke pertanyaan. Yang jawabannya
tersembunyi rapi dalam pertanyaan.”
Puisi “Perihal Waktu” Eyang Sapardi berbunyi di alam pikiran kita.
“Hei, hari apa kamu?
Kita saling menatap, padahal tak ada
siapa pun yang menyampaikan pertanyaan itu.
Kita mungkin memang ditakdirkan
untuk merasa bahagia, duduk di beranda.”
“Dan ketika mendengar tokek di belakang rumah
kita suka menghitung ya, tidak, ya, tidak,
dan ya –
kita pun merasa lepas dari angka-angka
yang rumit, yang mengaburkan pandangan kita.
Untuk apa kita harus merasa tidak bahagia?
Untuk apa laron melepaskan sayap-sayapnya
hanya untuk mendekati cahaya?
Untuk apa pula anak desa itu
berlayar ke negeri-negeri jauh
hanya untuk dikutuk menjadi batu?”
“Selembar angin yang melayang
entah dari mana dan tak ingin
jatuh ke bumi – dan udara menjadi biru
seperti langit yang memantulkan warna laut.
Kita mungkin memang diciptakan
agar ada yang pernah
merasa bahagia.”
“Hidup adalah penyeberangan
yang menggantung
antara rahim dan bumi.”
“Siapa yang menantiku di seberang?
Sungguh adakah yang menantiku?”
“Mungkin ada yang sejak lama menungguku
nun di sana, tetapi adakah jarak
antara yang ditunggu dan yang menunggu,
antara berangkat dan pergi,
antara tanah yang kita kenal
dan yang kita bayangkan pernah ada?
Kali ini aku sendiri, tidak mendengar suaramu
Kita mau ke mana?”
“Benar, kau pernah bilang tak perlu
membedakan pergi atau pulang,
mengosongkan atau mengisi teka-teki silang.
Stasiun bukan Pohon, bukan Bukit, bukan Gua –
stasiun adalah tempat orang gelisah
karena menunggu kereta, bukan Sabda.
Beberapa patah kata
di papan-papan itu hanya menunjukkan arah,
suara peluit sekedar isyarat –
selebihnya kitalah
yang berurusan dengan makna.”
“Apakah aku harus
memberimu selamat tinggal
hanya karena di stasiun?”
Perbincangan kita kembali kepada buku puisi Eyang Sapardi, ‘Ada Berita Apa Hari Ini, Den Sastro?’ Aku sebetulnya iri ingin menjadi kursi yang kau sandari, sepertinya kau sudah mulai bosan. Aku sampai mengguratkan angka romawi menghitung berapa kali kau menguap. Dari dua puluh empat ayat puisi “Surah Penghujan”, menjadi sesi perbincangan yang terakhir, aku menyukai ayat dua belas, sementara kau menyukai ayat dua puluh.
“penghujan mencari ujung akar dan melesat ke daun-daun
yang mengganggu pandanganmu
dan ia terus mencari ujung akar
Aku menyaksikannya menaklukkan urat pohon itu dan
menggoyang-goyangnya dan menekuknya dan merubuhkannya
dan sesudah itu menatapmu dengan penuh kasih sayang
dan katanya kenapa kau masih saja merindukannya? dan Aku
menyaksikannya menyerbu ke dalam kenanganmu yang terletak
jauh di lereng kemarau
*
dan Aku menyaksikanmu memegang dada kirimu.”
Kau bilang sangat suka dengan amsal kemarau yang mampu mengeringkan bekas-bekas luka.
“Kau hanya mencintai kemarau sebagai kemarau kau membayangkan kemarau bisa mengeringkan bekas luka-luka dan kau tidak mencintai penghujan hanya karena suka menjelma tanah hanya karena kau tak menginginkannya mengaburkan pandanganmu.”
Sudah saatnya pulang. Kau masih sempat menilik-nilik tanda pada buku, memastikan tak ada yang terlewat. Larut dalam waktu, menyisakan tempat yang mulai menyepi. Kau bilang bahwa kau akan membaca buku Hujan Bulan Juni. Meskipun kau sudah terlebih dahulu menonton Adipati Dolken dan Velove Vexia sebagai Sarwono dan Pingkan. Aku katakan kepadamu bahwa aku kini memiliki ketakutan dalam mengumbar rencana. Biasanya malah tak jadi dilakukan. Kau tak percaya mitos itu, ya?
Di atas motor matic sepulang kita, sama-sama membacakan “Sajak Tafsir”
“Tolong tafsirkan aku sebagai hasrat
untuk bisa lebih lama bersamamu.
Tolong ciptakan makna bagiku,
apa saja – aku selembar daun terakhir
yang ingin menyaksikanmu bahagia
ketika sore tiba.”
dalam hati, tanpa menjaharkannya. Berhasrat. Membacakannya dalam kesunyian namun saling mengalamatkan kepada alamat yang jelas. Tolong, waktu! simpan kenangan ini pada sebuah tabung, agar bisa kutamui, sekali lagi, nanti.
Sumber Kutipan Puisi:
Sapardi Djoko Damono, Ada Berita Apa Hari Ini, Den Sastro? (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2017)
Tinggalkan Balasan