aldiantara.kata

 

Ketika doa menjadi basa-basi
Ketika Aamiin sebagai pelega percakapan

Orang mendoakan dirinya sendiri.
Orang menyembah dirinya sendiri.

Seseorang duduk di pojok tempat ibadah, sungguh sabar mendoakan satu per satu orang-orang yang dikehendaki dan tidak dikehendakinya. Pikirannya menengadah, “Apakah ia sudah menerima kado doaku?”

Maaf jika terbata-bata, tanpa rayuan, lebih banyak pengakuan dan tak gunakan jenis bahasa yang disukai Tuhan sebagaimana kitab suci dan contoh para Nabi suci.

Maaf jika sempat teralihkan pikiranku kepada hal perihal lain, sebelum menuju bait doa selanjutnya yang menuju inti.

Pesan Tuhan kerap nampak sederhana, Ia titip melalui lisan seseorang, seperti, “Namanya juga kita masih hidup di dunia, yakinlah bahwa Tuhan pasti akan berikan rizki masing-masing.” Lalu aku bercerita kepada-Mu, kemudian berterimakasih, tanpa membandingkan dengan yang berkekurangan, tanpa mendongak ke atas merasa rendah. Pesan-Mu telah sampai.

Suara-suara yang didengar terkadang datang sebagai alamat tertentu, apakah kita berbuat bajik atau kurang ajar.

Sebagian orang menitip doa, bermaksud menebalkan segala harap. Berduyun sebagai tamu berdatangan kepada-Nya. Memohon.

Kapan terakhir kita sungguh-sungguh mendoakan orang lain, selain sungguh-sungguh mendoakan diri dan kolega sendiri?

Agar tiada lagi Amin paling serius dan Amin paling dengki.

Mantra-mantra ajaib yang sudah tersusun wangi, bersembunyi di bawah permadani langit, hingga sampai waktunya seseorang tiba, ia membuka kejutan-kejutan. Mengenai siapa yang selama ini sungguh mendoakan. Padahal semasa dalam buaian kehidupan, tak nampak sama sekali perhatian kepadanya. Namun ternyata ada yang sungguh-sungguh mendoakan.

Doa itu barang mahal. Penerima doa tak akan tahu siapa yang kini mendoakannya, bila sekiranya sudah waktunya untuk tahu, sudah tidak ada waktu untuk mengucapkan terimakasih.

Selain itu…

Tuhan tidak pernah tidur. Tentu Ia mendengar jeritan-jeritan pedih mereka yang tak diperlakukan adil, oleh pemangku kesementaraan yang tertipu. Lantas, apakah mereka juga berdoa untuk kesejahteraan orang lain?

Ataukah…

Untuk dirinya sendiri?
Keluarganya sendiri?
Kepentingannya sendiri?
Urusannya sendiri?
Kekuasaannya sendiri?