Bab IV

Manusia diciptakan dengan sempurna. Al-Maraghi tafsirkan tidak hanya dengan bentuknya yang paling baik, namun juga karunia akal agar dapat berpikir dan menggali ilmu pengetahuan sehingga dapat mewujudkan segala inspirasinya. Menuju kemaslahatan manusia.

Eko Prasetyo dalam buku terbarunya, Tafsir Progresif Surat Al-Ashr, menjelaskan dengan menggugah mengenai keadaan manusia yang merugi. Al-Maraghi katakan manusia merugi lantaran habiskan umur untuk mencari keinginan dan pemuasannya. Ekopras bilang yang rugi ketika manusia tak lagi kritis atas situasi yang dialaminya.

Baginya, rugi manusia menjadikan hubungannya dengan manusia lain sebagaimana terhadap benda: relasi majikan-pekerja atau subjek-objek. Manusia yang merugi lantaran kehilangan keunikannya. Manusia kian seragam antara satu dengan yang lainnya. Manusia merugi karena tergelincir pada naluri hewaniah: rakus, tamak, dan sewenang-wenang. Manusia merugi sebab kemampuan manusiawinya terus menurun: tak mampu berempati terhadap sesama, tak mudah untuk membela mereka yang teraniaya, kurang berani berpihak pada yang tak berdaya.

Sebagian akademisi dalam banyak penelitiannya pada bab IV senang sekali membuat klasifikasi pemisah. Mapping yang seolah memudahkan. Membagi hitam dan putih. Sejujurnya, bukankah kehidupan tidak sesederhana itu?

Manusia makhluk unik. Dalam upaya memecahkan suatu permasalahan, aku cenderung meyakini, tidak harus diselesaikan dengan cara normatif. Dunia, rasaku yang mungkin tidak benar, membutuhkan orang-orang yang ambyar, menyelesaikan masalah di luar pakem, yang terkadang melakukan “pekerjaan kotor”, karena cara-cara normatif saja ngga cukup.

Aku tidak sedang membela seseorang. Namun mengapa harus tertipu dengan tampilan luar. Tertipu dengan tato, bahasa yang kasar dan alkohol? Orang berpendidikan sudah banyak, tetapi mengapa tidak mulai membaca fenomena dengan pertanyaan mendasar ‘apa’, ‘bagaimana’ dan ‘mengapa’?

Seakan suara berbeda dari mayoritas adalah pemberontakan. Harus dibungkam dan diadili dengan umpatan.

Menurutku, Jerinx tidak benar-benar menantang WHO. Sebaliknya, membela rakyat tanah airnya. Meskipun dengan cara “kotor”. Meskipun mengumpat, Jerinx menghibur tenaga medis dan korban positif covid di Wisma Atlet Kemayoran. Menantang agar dipertemukan dengan korban positif covid tanpa APD, itu bahasa sensasinya. Maksud yang kutangkap adalah kegelisahannya menangkap raut sebagian besar rakyat yang ketakutan dengan wabah ini. Ketakutan berlebihan. Hal ini buruk. Dampak lanjutannya ekonomi lumpuh namun tidak ada yang merasa bertanggung jawab dan meneguhkan solidaritas.

Jerinx menantang WHO, namun ia sibuk membagi-bagikan makanan dan sayur bersama tim nya selama hampir dua bulan (masih berlangsung) setiap harinya. Ketika dalam peristiwa bom bali hampir dua dekade silam, ia menjadi sukarelawan di rumah sakit. Demonstrasinya terbaru yang menolak rapid test dan swab, aku malah membaca narasi kemanusiaan di belakangnya, misal di mana ia bersimpati terhadap ibu hamil yang seharusnya memerlukan penanganan cepat, tetapi administrasi menghambat penanganan dengan persyaratan rapid. Ia prihatin dengan korban kecelakaan yang membutuhkan pertolongan sigap tetapi dihalangi dengan persyaratan rapid.

Karena ia sebagai musisi, maka ia membuat lagu-lagu perjuangan dan optimisme. Misal dalam lagu tarian kesepian, dalam liriknya yang indah: “…Meski lelah dan tersisih, percayalah ku akan bangkit menemukan sebuah ketulusan, menarilah rayakan sepi itu sendiri, kawan sejati akan datang aku berjanji.”

Karena mungkin ia merasa suara ‘lembut nan baik-baik’ tidak lagi didengar dan berpengaruh bagi khalayak, maka ia harus menempuh cara kotor ini.

Ah, anjir. Lebay banget tulisanku.

Bukankah ini adalah bumi manusia yang unik. Yang tidak bisa kita hakimi hitam atau putih. Dokter yang bekerja keras bilang pada masyarakat agar diam di rumah. Baik. Jerinx suarakan agar masyarakat tidak takut berlebihan terhadap wabah. Juga baik. Dokter tangani pasien di rumah sakit. Jerinx dkk aksi sosial teladankan kebaikan bagi-bagi makanan dan bahan pangan. Ah, aku tak pandai sekali membaca fenomena dan merangkai kata. Namun harapanku, tulisan tolol ini setidaknya berharap menghentikan seseorang agar berhenti mengumpat di medsos pada fenomena yang ia nilai secara tidak fair.

Lantas, mengapa kita masih percaya pada satu media yang memframing pemikiran kita, yang membuat kita bersikap tidak adil dalam pikiran dan perbuatan?

2 Comments

  1. Neny Muthi'atul Awwaliyah

    28 Juli 2020 at 2:45 am

    Wow keren

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *