Tiada kata-kata yang sungguh menenangkan. Yang menenangkan adalah teman yang berkenan bertanya mengenai keadaanmu, memberi perhatian, memarahimu, bahkan berani mengoreksi dengan berucap kata-kata pahit. Padahal, caranya bertanya dengan penuh ketulusan itu, ngga dilihat oleh dosen, ngga dipuji oleh Bu RT, ngga direpost oleh selebgram, ato ngga pula diberi giveaway oleh brand tertentu. Cuma aku dan kamu.

Aku baru tau lho kalo ternyata kamu ngga bisa masak. Kamu bilang, “Aku ngga ngerti ya kenapa orang-orang bisa senang dan ahli masak. Padahal aku disuruh masak air doang, cuma buat bikin kopi aja, malasnya minta duit.”

Salah sendiri sepulang kerja minggu lalu, kau memilih untuk makan di rumah, padahal sudah kutawari makan malam bersama. Rasain! Nyaho kan. Sesampainya di rumah, tiada makanan di meja. Haha.

Siang ini kau malah memintaku bertanggung jawab karena mengiming-imingimu pizza manis matcha dengan aneka topping. “Al, tanggung jawab bikin aku kepingin itu!” ujarmu sedikit merengek. Susah sih bayang wajahmu kek gitu. Biasanya kamu selalu pasang wajah dingin dan songong. Menyebalkan. Pizza manis topping matcha sepertinya belum ada di pasaran. Sudah kubilang bikinlah sendiri. “Aku ngga suka repot dan ngga mau repot. Kalau kamu mau buatin aku mau makan.”

“Cinta pun banyak komposisinya, bukan? Anggap saja pekerjaan baru, hal baru, semua akan menyenangkan.” Tawarku.

“Ya.”

Dosenable banget jawabanmu. Seperti ketua prodi, kepala Tata Usaha, kepala keuangan, kasubag, dosen pembimbing, etc.

“Aku mending beli aja, ngga usah repot.” Jawabmu mengakhiri percakapan.

Setelah berlalu dua hari percakapan kita, kau masih saja memberi perhatian. “Apa dia menjawab pesanmu?”

Aku tahu. Dia sahabatmu. Aku ceritakan, sulit menghadapi perempuan yang introvert seperti dia. Pendiam sekali. Meski sudah enam tahun. Dia pun tak pernah benar-benar bercerita mengenai dirinya sendiri, life circle nya, dan hal-hal privasi lainnya. Aku tak pernah sama sekali memaksakan kehendakku, toh aku senang setiap-tiapnya memiliki rahasia. Perempuan selalu tampak indah matanya kala memendam rasa rahasia. Bola matanya yang tampak kecoklatan.

“Singkirkan egomu. Chat dia sekarang.” Desakmu.

Kau seperti hujani aku dengan nasihat, hingga aku terpancing emosi dan merasa seakan akulah penjahatnya. “Untuk apa aku menghubungi seseorang yang enggan membuka komunikasi? Seperti mengaliri air pada gelas yang tertangkub.”

Dalam keadaan hubunganku yang renggang dengan kekasih, kau seakan memberiku dua pilihan template. Chat dia bahwa aku merindukannya, atau chat bahwa aku ingin dengan tegas mengakhiri hubungan. Kau tahu? Aku suka sekali dengan dua template pilihan yang kau tawarkan, kedua-duanya kau buatkan puisi yang kau buat secara spontan!

Yang pertama, kau tawarkan, “Chat dia dengan kata-kata ini.” Isinya, “Rasa rindu padamu datang seperti ombak. Malam ini aku tenggelam.” Ah, deep. Aku terhenyak. Tenggelam ku pun diantarakatamu.

Aku enggan. Kau malah tawari aku dengan kata-katamu lain yang ajaib! Isinya, “Aku ingin bersamamu selamanya. Semudah itu. Sesulit itu.” Sederhana namun indah sekali. Kalimat awalnya seperti klise. Tetapi untaian “Semudah itu. Sesulit itu.” seakan merangkum perjalanan silam, lalu menegaskan bahwa merajut cinta tiada jalan mudah.

Yang kedua, kau tawarkan, “Chat dia dengan kata-kata ini.” Isinya, “Duhai masa laluku yang memuakkan, kepadamu kutawarkan puisi perpisahan ini. Kuharus membuang sisa-sisa hari ini yang tak boleh kian memburuk lagi, pun mimpi-mimpi yang paling mengerikan ini, meski itu bisa membunuhku.”

Kejam. Aku tahu kekasihku sendiri sebagai orang sangat perasa. Mudah tersentuh. Namun, dibanding mengiriminya kata-kata penuh untai rindu. Kukirimkan template-mu yang kedua. Penegasan bahwa aku ingin segera mengakhiri penderitaan ini.

Done!” sambil kutunjukkan padamu bahwa aku memilih template kedua.

“Serius? Kau kirim itu padanya?”

“Ya.”

“Meskipun kau sudah dua pekan tak saling menghubungi. Sadarilah kata-katamu ini.” Sepertinya kau tak ingin menjadi kambing hitam bila sampai pada akhirnya aku harus berpisah dengan kekasihku.

“Aku akan menganggap itu sebagai kata-kata yang keluar dari ludahku sendiri.” Jawabku.

“Tapi di pesan ini kau bilang bahwa kau muak padanya.”

“Ya.”

“Di pesan ini kau juga bilang bahwa hari-hari yang kau jalani bersamanya sangat buruk dan memuakkan.” Kau mencoba membangunkanku dari ego.

“Ya.” Aku kekeh berkeras kepala.

“Lihatlah” terusku. “Whatsapp nya saja centang satu. Terus saja seperti itu.” aku menggerutu.

Aku pun punya alasan. Beberapa kali kuhubungi, tetap saja dia tak balas. Membalas secara singkat. Atau membalas hingga sehari berikutnya. Sedikitnya aku harus memberikan shock therapy, agar aku mendapat perhatiannya. Agar dia online dan memperhatikanku, membalas pesan Whatsappku dengan panjang lebar. Aku harus berpura-pura aku marah, menawarkan untuk mengakhiri hubungan. Aku kini seperti anak ketjil yang butuh belaian. Aku benar-benar merindukannya. Seperti berjudi, aku hanya pasrah bila jawabannya memang dia menghendaki untuk mengakhiri hubungan.

“Setahuku, dia hanya jatuh cinta dua kali. Dan kini aku sangat senang kau menjadi lelaki yang memperjuangkannya.”

“Selalu ada kesempatan untuk jatuh cinta ketiga kalinya, bukan?” tanyaku.

“Centang dua.” Kini dia online!! Aku setengah berteriak. Apa yang akan dia jawab. Lama sekali rasanya seperti sewindu, padahal baru dua minggu tak komunikasi.

Kau malah meledekku. Katamu, “Dan aku bener-bener makin yakin kamu bucin. Kamu selalu cek apa dia online atau ngga. Dan kamu marah karena pesanmu ngga dibalas-balas padahal dia online.” Kau tertawa terbahak.

Kau juga tertawa karena jawaban seseorang yang kuanggap sebagai kekasih itu hanya jawaban datar lalu dia menghilang, tak jawab pesanku seperti biasanya. Kau menyemangatiku bahwa semua akan lekas membaik. Aku tak perlu mencemaskan apapun.

Tiga tahun berlalu. Baru hari ini kita bertemu. Makan ays cream. Sudah lama tak bertemu, kau masih dengan karakter yang tak berubah. Dingin. Menyebalkan. Judes. Kau sahabat kekasihku. Tapi perhatianmu masih sama. kegandrunganmu pada sastra tak berubah.

Kata-katamu sangat bagus. Kau pernah bilang, “Jangan iri. Tiap orang ada jatahnya masing-masing. Mungkin jatahmu sekarang harus sabar diacuhkan dia.” Kukatakan, “Jatah butuh jatuh. Mau jatah dikasih jatuh. Dikasih jatuh haus jatah. Jatah jatuh kelak akan tiba jatuh jatah. Aku ngga sabaran.”

Kau juga sering mengejekku kala aku kesepian. Kau bilang bahwa aku ditemani sepi. Kukatakan, “Sepi adalah bayangan simetris tubuhku. Bukan lagi teman.”

Ah masih banyak kata-katamu yang ingin kuabadikan di sini. Kau pun mengirimiku antologi puisi yang super tebal. Puisi-puisimu tak pernah sederhana. Memang belum waktunya saja dunia membaca akan sastramu ini. Sepertinya semua orang memiliki diantarakata nya masing-masing.

Sebentar lagi kau akan menikah. Aku penasaran seperti apa lelaki yang membuatmu jatuh cinta. Kau bilang proses pendekatannya tidak sampai satu semester. Kau bilang perempuan hanya butuh kepastian. Tidak perlu berlama-lama hingga tahunan. Kau menyindirku.

Kita jatuh cinta, namun menikahkah kita dengan cinta kita?

Aku tak ingin menutup tulisan ini dengan kata-kata sok bijak lagi. Karena sudah kutaruh di paragraf awal. Heuheuheuheu.