Penulis: Nurhidayah

Mati Suri

Oleh: Nurhidayah

Aku mengaduh sepanjang malam
Menahan nyeri dibalik rintihan
Pucat pasi mewarnai bibir yang menggetar tak karuan
Menggigil raga tiada henti

Fajar masih remang-remang
Mentari tak kunjung terbit menyambut siang
Tubuh membasah bermandikan keringat resah
Seolah jengkalan maut memutus nadi

Seketika tubuh terbujur kaku
Bibir terkunci membisu
Dalam hati aku bertanya “Apakah ini yang disebut sakaratul maut?”
Detik-detik menegangkan aku tak sadarkan diri

Sukma dan raga serasa berpisah
Pada yang kuasa aku hanya berserah
Pada takdir pun aku berpasrah
Harapku sempat hilang tuk melihat mentari di lain pagi
Kukira aku sudah disurgawi
Ternyata aku hanya mati suri

Berkencan dengan Sepi

Oleh: Nurhidayah

Suasana petang silih berganti
Raja siang dan Dewi malam siap berganti posisi
Tapi kata pamit tak pernah kau lontarkan sama sekali
Kau menghilang bak senja ditelan malam

Waktu memaksaku berkencan dengan sepi
Begitu lincah kau mengatur siasat
Hingga aku pun jatuh dan terjerat
Aku tak tahu kau sedang bersandiwara atau hanya menjadikanku pelampiasan semata

Tak lucu bercanda dengan luka
Apalagi hingga banjir air mata
Kerap kali kau bangunkan kecewa yang sudah kunina bobokan
Rangkain derita kembali kau tumbuhkan

Berapa banyak pohon dusta yang kau tanam?
Tiap hari tak pernah telat kau pupuk dengan kenyamanan
Dan tak lupa kau suburkan dengan berbagai rayuan
Hingga mengakar luas merasuki saraf

Menggumpal dalam darah berbuah nanah
Pecah menuang resah dan gelisah
Tak tahan raga bermesraan dengan lelah
Sampailah aku pun dititik menyerah

Salatiga, 26 Agustus 2021.

Waras yang Merapuh

Oleh: Nurhidayah

 

Duka lara seolah memeluk erat
Perkara yang hinggap teramat berat
Hidup terasa kelabu
Langkah yang kuambil melulu keliru

Raga bak tak bernyawa
Sukma seolah melayang di ruang tak bersudut
Pahit getir berpeluk mesra di atas deraian air mata
Pilu membelenggu di relung kalbu

Resah gelisah bercumbu rayu
Patahkan setitik waras yang merapuh
Bak kayu yang melumut di atas punggung tanah
Melapuk terlentang usang

 

Salatiga, 18 Agustus 2021.

Meratapi Takdir

Oleh: Nurhidayah

 

Malam yang sunyi…
Jangkrik-jangkrik asik bernyanyi
Kutatap Dewi malam begitu berseri
Sekejap kubergeming teringat pada Si jantung hati yang usai ditelan bumi

Garis takdir masih kuratapi walau pagi usai berganti
Mengikhlaskannya teramat menikam
Melupakannya teramat mencekam
Haruskah rasa ini kuhanyutkan bersama ombak yang menari-nari?

Perkara hati memang bak benang kusut
Terlalu rumit tuk dijabarkan
Tak seperti bilangan desimal yang mudah dipecahkan
Cukup dibulatkan jawaban sudah ditemukan

Rindu yang Menggebu

Oleh: Nurhidayah

 

Kanvas…
Punggungnya kulumuri tinta
Dikala rindu datang menggebu
Kau kujadikan pelampiasan tak terbatas

Rindu yang menjalar diotakku
Terhampar dalam dinding yang membeku
Merebak kesegenap denyut nadi
Membuatku seakan mati berdiri

Kau memang terlalu indah untuk kulupa
Tapi aku harus bagaimana?
Merindu sendirian aku tak tahan
Semesta pun tak kunjung mempertemukan

Bertanggung jawablah wahai tuan atas rasa yang kau sita
Rawatlah cinta kita hingga berbunga
Jagalah agar tak layu ditelan waktu
Bunuh saja hama-hama yang mengganggu tak usah ragu

Melawan Cemas

Oleh: Nurhidayah

 

Rintihan rakyat bergema
Mari ulurkan tangan tuk bantu sesama
Bangkitkan gejolak asa
Pada mereka yang kini gundah gulana

Untuk yang sedang bertaruh nyawa
Dalam tahajud kuselipkan seuntai doa
Dalam puisi ini kutulis rangkaian kata
“Semangat, pasti sembuh seperti sedia kala.”

Lawan kecemasan, ketakutan, dalam dada
Jangan biarkan dalam logika
Yang akan memperkeruh suasana
Kelamkan bahagia begitu saja

Tanpamu

Oleh: Nurhidayah

 

Sepertinya semesta belum mengabulkan keinginanku
Jarak kerap kali menjadi dinding pemisah antara kau dan aku
Tersemat butiran rindu yang berserakan nan menjalar dalam nalar
Kita hanya bisa berpeluk dalam khayal

Hampa bersangkar dirongga dada
Sepi melanda jiwa
Seolah gulita mencekam malam
Asa yang kurajut kian tenggelam

Tanpamu!

Perahu Nestapa

Oleh: Nurhidayah

 

Tinta hitam menari-nari di atas secarik kertas
Mengukir pesan jiwa yang hingga kini tak kunjung kau jumpai
Sementara perihal ini sudah meronta-ronta ingin kubahas
Sebelum cinta kita terhanyut oleh arus waktu yang begitu tangkas

Mengapa kau selalu menghilang tanpa alasan yang jelas?
Terakhir kalimat klise yang kau lontarkan membuatku merana
Bak bara yang hanguskan kayu sekejap menjadi debu
Tapi hati ini terus menggelitik seoalah ingin merayu

Agar kau bersedia membenahi segenap rasa yang terabaikan beberapa waktu lalu
Walau memang cinta kita usai bergelora di atas perahu nestapa
Lalu kisah yang kita bangun dahulu kala dengan bahagia
Haruskah berakhir begitu saja?

 

Ciamis, 10 Agustus 2020