Penulis: Karina Rahmi Siti Farhani

Terlahir Dungu

Oleh: Karina RSF

 

Apa benar kaum kami itu tumpul otak?
Hanya karena pengaruh paham yang terkotak,
Atau justru memang ada yang mengatak?
Ah, jangan sampai si lutut tanpa tatak

Apa salah kami?
Satu demi satu keturunan kami pun kalian hakimi
Belum lagi yang dicabuli,
Brengsek! Ku balas kau dengan kebiri

Mual mulut kami untuk selalu menunduk
Tanpa sadar kami pun terkutuk
Ah lihainya lidah para penguasa penduduk
Hanya dengan membual sembari tak henti menunjuk

 

Tempo Menghamba

Oleh: Karina RSF

 

Telah lebih dari seperempat dekade
Hari demi hari, sebut saja sebagai fase
Adu ego? anggaplah pertikaian dalam oase
Sampai akhirnya, berakhir sebagai debitase

Kala penyesalan hanya bualan,
Saat itu pula manusia terlalu banyak mengasihani diri mereka

Tuhan … aku ingin kembali berjejak,
Jejak yang selalu sesak dengan otoritasMu
Otoritas yang aku hindari dahulu,
Dahulu, ketika rungut balita masih memenuhi batinku

Si Penguasa Terpaksa Tak Berguna

Oleh: Karina RSF

 

Bernafas dalam udara yang mencekam
Melangkah, namun selalu diterkam
Tenggelam dalam buaian laknat, berinisial persahabatan

Mereka meminta, sesekali mencerca
Mereka beradab, sesekali biadab
Mereka kawan, (kali ini) lebih sering berlawan

Sebut saja: Serigala
Jika harus, dia memahami koloninya,
Dengan lantang ku ucapkan “si penguasa malam itu buta, bisu, tuli!”

Bodoh memang,

Seolah lupa, dunia tidak hanya berputar untuk orang yang (harus) dia pahami.

Arketipe atau Personalitas

Oleh: Karina RSF

 

Hidup untuk melangkah?
Terlalu naif! jika diri terlalu dibuat tinggi
Sebut saja, sekadar menepi. Dari himpitan vonis dosa yang dilontarkan sepasang mulut manusia

Merasa bangga dengan tepukan tangan?
Kamu hanya makhluk! Ingat, bukan Tuhan.
Sebut saja, merasa dihargai. Dari setiap lelah yang brengsek atau asa yang dikuasai isi dompet

Sekali lagi, kamu hanya entitas yang bisa bernafas
Bukan kolonialis yang berhak menentukan ‘a i u e o’ kaum benduan
Jangan sekali-kali!
Sekalipun sumber oksigen di ujung jejarimu.

Terimakasih

Oleh: Karina RSF

 

Hidup sebagai figur tanpa circle pertemanan, raga ini hanya bisa terdiam, bahkan tanpa menangis.
Mengapa?
Menangis hanya membuat mereka semakin merasa menang dan paling sempurna! Percayalah.

Berkaca pun takut,
Melihat diri sendiri pun jijik,
Bagaimana bisa aku mempercantik diri.

Bukan karena enggan, tapi sudah terlanjur malas.
Terlalu muak dengan segala perkataan busuk mereka yang diberi pendidikan oleh orangtua dengan konsep amarah dan ambisi. Bukan kasih sayang dan dukungan.
Kurang lebih 12 tahun. Memang benar “good looking” adalah segalanya.

Tapi bukan untuk saat ini, kepada diriku.
Semua telah aku hancurkan.
Mereka menganga melihat bagaimana si polos bertransformasi.
Bukan untuk aku sombongkan, tapi untuk aku mengucapkan terima kasih.
Mengapa?
Atas cacian mereka, yang kala itu dengan mudah dilontarkan.

Sampai jumpa! Semoga kebahagiaan selalu menyertai kalian.

Aku Berdosa Karena Standarisasi “Mereka”

Oleh: Karina RSF

 

Jika besok kuantar ke depan susunan kayu itu,
Bolehkah?
Jika senja mengajakku untuk menengokmu,
Mungkinkah?
Jika saja hati terpaut atas rupa yang tidak hanya milikku,
Pantaskah?

Dan bila ada pesan yang terbalas, tentu hatiku tersipu
Namun, dosaku tetaplah kesalahan
Dosa mana?
Dosa yang disebut manusia? Atau,
Yang disebut oleh Tuhan?
Ah, hari ini keduanya tidak lagi selaras

Investasi Bodong

Oleh: Karina RSF

 

Aku disini menjadikanmu darah daging,
Para kolektor sudang gulung tikar
Tapi aku, tetap dengan kebodohanku

Di penghujung musim panas,
Saat angin menghembuskan asap durimu
Saat para kelelawar menertawakan kebodohanku

Tapi aku,
Selalu bertulikan nafsu
Aku, sedang menabung bencana
Bencana yang kau undang dari durimu

Kalaulah kau itu tikus
Pasti ular merangkak lari
Karena durimu menarik nadinya secara perlahan

‘Zina atau Nikah Anak’, Pilihannya Itu Aja?

Oleh: Karina RSF

 

Linimasa pemberitaan tanah air, akhir-akhir ini kebanyakan dihiasi oleh potret bobroknya karakter umat manusia. Bagaimana tidak, hampir di setiap sudut kota ada saja pencurian, pelecehan seksual, pembunuhan, hingga pernikahan anak yang justru dilakukan dengan dalih menutupi kebutuhan ekonomi lah, balas dendam lah sampai-sampai hanya memenuhi keinginan semata. Dasar manusia.

Ngomong-ngomong soal pernikahan anak, kenapa dinamakan pernikahan anak? Nah, biasanya ini dikaitkan dengan aturan batas usia minimal menikah dari negara. Awalnya, usia minimal Perempuan 16 Tahun dan Laki-laki 19 Tahun (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974). Tapi, akhirnya UU itu direvisi, dan akhirnya hari ini aturannya bahwa dua sejoli itu sama-sama berusia 19 tahun. Tapi kok kayak tetep masih kemudaan banget ya…kalo kata saya.

Miris banget kalau lihat para krucil rambut pirang yang suka kebut-kebutan di jalan naik motor dempet tiga, justru harus jadi istri dan ibu sekaligus di masa mudanya. Yang disayangkan lagi, mereka dipaksa masuk dalam lingkar rumah tangga yang tentunya belum “mapan”. Mapan secara emosional, finansial, mungkin juga spiritual. Biasanya dari sinilah KDRT gampang banget terjadi.

Nikah Anak : Perempuannya siap?

Di banyak acara hajatan, nikah itu ya antara laki-laki dan perempuan. Tapi, lebih dari itu apakah pertanyaan kesiapan juga ditanyakan ke perempuan juga laki-laki? Kesiapan resiko dari berhubungan seksual setelah nikah, kesiapan gonjang-ganjing karena cicilan rumah, sampe bayar listrik. Bukan cuma kesiapan “pacaran setelah menikah” a la selebgram hijrah loh, ya. Kalau itu sih semua juga siap (pake) banget.

Fokus ke kesiapan berhubungan seksual. Jangan anggap ini selalu tabu untuk para kaum muda, apalagi yang mau nikah.

Gini, udah jadi pengetahuan mainstream, kalau melahirkan itu sakit. Bahkan ibu saya pernah bilang, “Seperti putus semua urat di tubuh”. Ya bisa dibayangkan gimana sakitnya mengeluarkan tubuh bayi kisaran 1-3 kg dari lubang vagina yang walaupun elastis tapi juga tetep punya batas maksimal keelastisannya.

Ibu melahirkan dalam usia dewasa aja masih bilang kalau melahirkan apalagi proses dari mulai berhubungan seksual, 9 bulan masa mengandung hingga melahirkan itu berat dan pasti ada fase ngilu yang dialamin, apalagi yang ngerasain semua itu anak usia 16 tahun atau bahkan lebih belia dari itu.

Sempat saya berbincang dengan teman sejawat laki-laki tentang “fenomena ‘pacaran’ anak muda” sekitar 3 tahun lalu, ketika masih duduk di kelas tiga Aliyah. Bisa dibilang, dia termasuk sosok akhi-akhi kajian hijrah, yang juga dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang agamis.

Kenapa saya bisa mengkategorikan dia seperti itu? Jadi gini, saya nanya lebih spesifik dengan kalimat gini, “Aya rencana bade nikah yuswa sabaraha tah?” Biar netizen gak bingung, saya terjemahin, “Kamu punya rencana nikah usia berapa” Nah kurang lebih gitu.

Jawabnya, “Kalo aku disuruh sama Bapak mending nikah muda aja kalo emang udah suka ke satu perempuan dan ngerasa yakin, daripada zina. Kan zina pun banyak bentuknya. Jadi lebih baik ngejaga deh.” Ucapnya.

Sungguh jawaban yang kala itu bagi saya asing. Saya secara pribadi yang dibesarkan dalam keluarga yang tidak terlalu agamis, ngerasa kalau pola didik itu cenderung berani mempertaruhkan masa depan anak. Jadi, karena pada saat itu saya pun termasuk golongan ukhti-ukhti pengagum kajian akhi ganteng, ya nerima aja. Malah sempet terinspirasi juga.

Tapi hari ini, bisa dibilang saya udah jadi ukhti-ukhti pengagum kajian gender Bu Nur Rofiah, semua ucapan temen laki-laki saya itu sangat membuat saya geleng-geleng. Kegeleng-gelengan saya pun diperkuat ketika saya coba untuk mencari informasi di YouTube atau Instagram tentang nikah muda. Hasilnya ya, sama aja. Semua karena takut zina. Kasian banget mereka yang lagi kasmaran malah dikatain “zina” jadinya.

Refleksi saya, secara seksual di pernikahan anak, tidak ada dampak yang berarti kalau laki-laki menikah di usia muda atau berhubungan seksual (secara sah) di usia muda. Gimana urusannya sama perempuan? Yakin safety? Berhubungan seksual, lalu mengandung, melahirkan, menyusui usia muda loh.

Itu kasusnya kalau dua sejoli sama-sama masih muda, ya. Diperparah dengan kalau perempuannya masih belia, dinikahkan dengan yang usianya jauh lebih sepuh dari dia. Ah ngebayanginnya aja udah serasa nonton film Pengabdi Setan di bioskop 4D!