Penulis: Ibnu Masykur

9.30

oleh: Ibnu Masykur

Pukul sembilan lebih 30 menit
Di luar, angin berhembus tawarkan gigil masa silam
Di dalam, belasan puntung rokok saling tindih tak bergerak
Hanya hela tipis asap dari tiap ujungnya sesekali masih menguar ke udara
Ku pejamkan mata
Sementara kata-kata saling bersenggama
Kenangan dan degup dada saling menerkam
Dan sepi, sepi menjelma menjadi kawanan serigala
Melolong pada remah purnama yang tak sempurna
Mengoyak samar bangkai ingatan tentang kita
Tentang apa saja yang mengendap di dalam rasa
Aku
Juga cangkir-cangkir kopi itu

Cangkir Berisi Duka

Oleh: Ibnu Masykur

 

Kita pernah begitu intim
Berbagi cangkir-cangkir berisi duka
Menjahit luka-luka menganga

Tetapi, bagaimanapun erat kita saling mendekap
Waktu tetaplah waktu
Sebuah kekuatan yang mampu membolak balikan perasaan
Memaksa kita mencipta jarak
Saling melupa nama, dan
Akhirnya hilang dalam lembaran kisah-kisah yang baru

Dan kini, kita berpijak dibumi yang satu
Saling berhadapan tanpa sapa
Aku kehilangan kata-kata
Sementara kau,
Kehilangan memori tentangku.

Dendam

Oleh: Ibnu Masykur

 

Siang makin nyala di luar. Di dalam, rokok-ku redup menunggu mati. Sedang nama-nama di dalam dada, kian nyalang nyanyikan lagu tentang duka. Duhai, Gusti. Kemana perginya doa-doa kami? Engkau dengarkah? Doa Sukir semalam saat ia dapat giliran jaga ronda, tentang anaknya yang ngadat minta sepatu berlampu.

Juga doa Sukemi kemarin sore. Ia terbatuk di depan mesin pemotong kertas, tentang anaknya yang harus beli buku sekolah.

Lalu, jangan lupa doa Rendra. Bukan, bukan Rendra penyair itu, tapi Rendra yang kemarin pagi menangis depan makam orang tuanya. Ya, betul, Gusti. Rendra yang putus sekolah lalu ikut memulung bersama kedua orang tuanya yang kini telah tiada. Ibunya ditemukan mati mengambang di Ciliwung, beberapa tahun yang lalu. Penyebabnya tak pasti. Sedang ayahnya, mati dikeroyok massa lantaran dituduh mencuri ampli masjid sebelah rumah. Ya, Rendra itu yang kumaksud. Engkau dengar doanya pagi tadi, Gusti?

Tentang dendam yang akan terus ia jaga agar tak padam. Bukan, bukan dendam pada orang-orang yang mengeroyok ayahnya, tapi dendam padaMu yang duduk begitu tenang entah di mana. Astaga, Gusti. Engkau harus waspada, karena Rendra kecil itu, kini sudah pandai memilah sampah, bukan tak mungkin kelak ia akan benar-benar mencariMu. Tapi aku sendiri agak ragu, karena aku tahu siapa Engkau, Gusti. Engkau tak akan terluka hanya karena sebuah gancu di tangan gemetar seorang bocah!

Jogja

Oleh: Ibnu Masykur

 

Matahari berangkat pulang
Senja menggoda
Di kotaku Jogja
Kehidupan masih berjalan
Dosa mengulurkan tangan
Menggandeng jiwa-jiwa resah menuju sorga
Ada yang larut dalam sloki vodka
Ada yang tenggelam dipeluk PSK
Ada yang hilang arah pandang di
gemerlapnya malam-malam di kotaku, Jogja!

Yogyakarta, pernahkah kau lelap dalam mimpi indah?
Tidak, kurasa!!!

Pernah

Oleh: Ibnu Masykur

 

Kita pernah sama-sama bersiasat
Untuk menelikung bangsatnya takdir
Untuk menggilas segala remah air mata
Kita pernah sama-sama tertawa
Tentang segala jadahnya dunia
Tentang busuknya selangkangan para penguasa
Kita juga pernah sama-sama menangis
Ketika pada suatu malam
Mimpi-mimpi tergeletak di tepi aspal
Darah bersimbah
Sedang panasnya timah masih menjalar
Meregang kenang yang terus bersemayam dalam nalar