Penulis: Atropal Asparina

Ihsan: Rukun Agama yang Diabaikan

Oleh: Atropal Asparina

 

Untuk menjelaskan Iman, Islam dan Ihsan secara analogis (permisalan) saya sangat suka menggunakan teori bangunan. Begini bunyinya: Iman jika diibaratkan bagian dari bangunan (rumah, masjid, gedung, atau apapun) adalah ibarat fondasi. Sedangkan Islam ibarat bangunan di atas fondasi: ada dinding, pintu, jendela, sampai atap bangunan.

Sifat dari fondasi bangunan berada di bawah tanah. Kita tidak akan bisa melihat apakah fondasinya kuat atau keropos. Bentuknya bagaimana dan sebesar apa fondasi itu, tidak bisa ditakar oleh orang lain. Tidak bisa pula fondasi itu dituduh tidak ada ketika bangunan di atasnya terlihat runtuh—misalnya. Demikianlah Iman atau keimanan. Letaknya di dalam hati dan tidak bisa dihakimi sebagai lemah atau bahkan dituduh tidak ada oleh siapapun.

Selama seseorang mengaku beragama atau—sebutlah—mengaku Islam, kita harus mengakui keimanan orang tersebut. Lalu timbul pertanyaan, bagaimana jika orang tersebut secara moral sangat buruk, seperti korupsi, selingkuh, curanmor, dan melakukan perilaku buruk lainnya, apakah masih harus diakui sebagai beriman? Jawabannya, “Ya!” Orang itu tetap harus diakui sebagai orang beriman, apapun kondisinya, selama dia mengaku beragama (misalnya mengaku Islam). Mengapa demikian? Sebab bukan tugas manusia menentukan apakah orang tersebut imannya sah atau tidak, benar atau tidak. Semua itu adalah tugas Yang Maha Bijaksana di atas sana. Lantas pertanyaan susulannya, jika begitu adakah tugas lain manusia untuk memperbaiki kualitas keimanan dirinya dan orang lain?

Islam lain lagi, sebab Islam ibarat bangunan yang berdiri di atas fondasi. Jika fondasi tidak bisa dinilai orang lain (karena berada di bawah tanah) maka Islam bisa dengan mudah dinilai oleh orang lain, seperti halnya dinding bangunan, jendela, pintu sampai atap. Kita bisa dengan mudah berkomentar tentang “keislaman” seseorang.

Islam sebagai agama yang dianut—baik disadari atau tidak—secara otomatis memberi identitas (pengenal bagi orang lain) bagi si pemeluk (Muslim). Identitas keislaman seorang Muslim bisa berbentuk sangat materiil dan bisa berbentuk non-materiil (karakter/akhlak). Masalahnya, jika identitas keislaman itu “hanya” berupa materiil saja, seperti model pakaian, gaya rambut, gaya bicara, tanpa sedikit pun mengadopsi identitas karakter-moral Islam, maka Islam sebagai agama petunjuk keselamatan dunia-akhirat tidak diterima atau tersampaikan dengan baik. Artinya, banyak halangan atau gangguan yang menyebabkan ajaran Islam diterima secara semangat di satu sisi (seperti tampilan atau gaya) dan diabaikan di sisi lainnya (seperti akhlak Islami). Mengapa bisa terjadi fenomena demikian? Apa yang harus diupayakan? Apakah fenomena itu baik atau tidak? Itulah Islam, bisa dinilai, dianalisis bahkan dikritisi, seperti halnya sebuah bangunan.

Sebiadab bagaimana pun seseorang, selama dia mengaku beragama (Islam) dan pernah meski setahun sekali mengerjakan shalat (Hari Raya), atau bahkan pernah hanya sekali shalat (saat diajari waktu kecil), maka dia tetap harus diakui sebagai Muslim. Kita sebagai sesama Muslim harus memperlakukannya sebagai seudara se-Islam. Artinya, jika dia sakit maka dijenguk, didoakan. Jika dia meninggal maka dikafani, dishalati, dan dikebumikan sesuai tata aturan Islam. Itulah Islam, menjadikan siapapun yang memiliki identitas Muslim (baik materiil atau non-materiil atau keduanya) atau yang mengaku Muslim atau diketahui sebagai Muslim meski hanya dari KTP-nya saja, harus diperlakukan secara Islam oleh sesamanya.

Ihsan

Secara bahasa kata Ihsaan berasal dari kataأحسن) ) ah-sa-na [jika mengikuti wazan fi‘il tsulatsi mujarrad], yang mempunyai arti “berbuat baik, melakukan dengan baik, melampaui atau mengetahui dengan baik”. Adapun kata Ihsaan bisa juga berasal dari kata حسن) ) ha-su-na [jika mengikuti wazan tsulatsi majid], yang berarti “baik atau bagus”.

Pertanyaanya sekarang, lantas ketika Ihsan menjadi salah satu rukun agama, dengan megikuti makna bahasanya, seberapa penting terma Ihsan sesungguhnya? Jawaban singkatnya mari kita lanjutkan analogi bangunan di atas.

Jika Iman adalah fondasi dan Islam adalah bangunan di atas fondasi, maka apakah gerangan Ihsan? Dari sinilah posisi penting Ihsan dalam beragama terlihat jelas. Ihsan merupakan upaya membaguskan keimanan dan keislaman. Apakah anda yakin akan menempati bangunan yang dinding batanya belum diplester dan dicat? Terus mengapa setiap pintu rumah atau jendela selalu dibuat sebagus (se-Ihsan) mungkin disertai hiasan ukiran sedemikian rupa. Bahkan pegangan pintu juga mencari yang paling enak dipandang. Keramik untuk lantai dipilih yang paling mengkilat. Itulah Ihsan, membaguskan—meski tanpa diperintah atau diancam—Iman dan Islam.

Kembali pada kasus orang yang asal mengaku beragama dan Islam KTP di atas. Asal mengaku beragama/beriman adalah lebih baik ketimbang kafir. Begitupun seseorang yang mengaku Islam lebih baik ketimbang kafir atau memusuhi Islam sehingga bertindak mengerikan. Dalam konteks kajian Iman dan Islam, hal-hal itu sudah cukup dan sah (“asal” Iman dan Islam). Tapi pertanyaanya adalah, apakah keimanan dan keislaman orang tersebut sudah Ihsan? Termasuk kita semua, apakah keimanan dan keislaman kita sudah Ihsan? Sudah dibuat sebagus-sesempurna mungkin meski tanpa terbebani perintah atau ancaman? Seperti yang selalu dilakukan pada bagunan rumah atau pakaian kita—misalnya?

Seorang yang Iman dan Islam-nya sudah Ihsan, pasti selalu akan berbuat sebaik mungkin dalam segala hal. Shalat yang sejatinya hanya diwajibkan lima waktu sehari semalam, akan selalu ditambah dengan shalat rawatib, meskipun tidak melakukan rawatib-pun tidak ada ancaman siksa. Membayarkan zakat fitrah sebanyak 2,5 kg beras, bagi si Ihsan belumlah dikatakan terbaik, sebab ukuran itu adalah batas minimal kewajiban. Si Ihsan dengan sadar-tulus akan senantiasa melampaui batas minimal itu demi kebaikan yang lebih dan lebih besar baik bagi dirinya dan yang lain, begitu seterusnya.

Demikianlah, sebagaimana yang selalu Nabi Muhammad saw. lakukan. Setiap aktivitas dibuat sebaik mungkin tanpa terbebani oleh perintah atau ancaman. Sebab itu, Ihsan melampaui konsep benar-salah, adil-zalim, wajib-haram. Ketika melakukan sesuatu, si Ihsan bukan tak memerhatikan benar-salah, tapi sudah tak “terbebani” oleh diperintahnya benar dan dilarangnya salah. Ia begitu menikmati melakukan sesuatu itu, sampai hal terkecil sekalipun.

Dari sini sangatlah masuk akal, jika kemudian berdasar hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, secara istilah Ihsan adalah “begitu dekat dan selalu menyadari kehadiran Tuhan”. Redaksinya: an ta’buda Allah ka annaka tarahu fa in lam takun tarahu fa innahu yaraka (Engkau beribadah [beraktivitas kebaikan di dunia] seolah selalu melihat Allah, dan jika engkau tak melihat-Nya, yakinlah bahwa Allah melihatmu). Bukankah Tuhan adalah Dzat Yang Maha Segalanya, bukankah selalu dekat-diperhatikan oleh-Nya adalah kenikmatan yang tak terkira? Bukankah bekerja dengan tulus-ikhlas-semangat sambil “ditemani” yang Maha Segalanya adalah dahsyat? Tapi sayangnya, kebanyakan kita memang masih berada dalam maqam goblok.

Puncak Keislaman

Oleh: Atropal Asparina

 

Sejak beberapa tahun lalu, saya diberi kesempatan untuk mengisi—jadwal yang kosong—pengajian bapak-bapak atau ibu-ibu di kampung. Berbagai hal membuat penceramah inti berhalangan, sehingga jadilah saya—hampir selalu—sebagai badal (pengganti-mendadak).

Sebagai penceramah pengganti, tentu saja kemampuan saya masih jauh dari cukup. Oleh karenanya, saya selalu memberikan materi yang sama di setiap masjid yang untuk pertama kalinya ceramah di sana. Uniknya, justru dari “memberikan materi yang sama” itulah saya mneyadari satu hal yang sangat krusial.

Mulanya begini. Sejak kecil—sekitar usia 5 tahun—ketika mengaji di masjid bakda Magrib, materi pertama, paling dasar, yang disampaikan guru ngaji adalah “Rukun Agama”. Pengetahuan itu bahkan masih melekat kuat sampai sekarang.

“Rukun agama itu ada tiga,” ucap sang guru dan segera harus diikuti anak-anak ngaji termasuk saya.

“pertama Iman…” semua murid pun menirukan itu.

Singkat cerita, Rukun Agama ada tiga perkara: Iman, Islam dan Ihsan. Dari menghafal itu, kemudian terus berlanjut menghafal Rukun Iman (6 perkara), menghafal Rukun Islam (5 perkara). Kala itu Ihsan tidak dibahas karena saya keburu naik kelas. Pelajaran pun meningkat: belajar membaca al-Qur’an, sejarah Nabi, Hadis, dan seterusnya sampai saya “lulus” mengaji di masjid tersebut dan berhak menjadi guru ngaji, ketika menginjak SMA.

Kembali pada soal pengajian dan materi sama yang saya ceramahkan di setiap masjid. Demi rasa hormat (ikram) saya pada guru ngaji dahulu, sebelum menyampaikan materi inti, saya selalu memulainya dengan semacam kuis. Saya tanya seantero jemaah pengajian dengan pertanyaan:

  1. Rukun Agama ada berapa perkara?

Pada pertanyaan ini, semua jemaah pengajian menjawab dengan sangat cepat dan meyakinkan. “Ada tiga perkara: Iman, Islam dan Ihsan,” sambut mereka dengan semangat.

  1. Rukun Iman ada berapa perkara?

Pertanyaan ini pun dijawab dengan cepat dan sesuai sistematika yang dulu diajarkan oleh guru ngaji saya: Enam perkara: Percaya kepada Allah, Para Malaikat, Kitab-kitab, Para Rasul, Hari Kiamat, serta Qadha dan Qadar.

  1. Rukun Islam ada berapa perkara?

Pertanyaan ini dijawab dengan lebih semangat sampai mengahasilkan efek suara yang ramai di dalam masjid. “Ada lima perkara: Syahadat, Shalat, Zakat, Puasa dan Naik Haji ke Baitullah…” segenap jamaah pengajian senang menjawab semua itu secara kompak.

  1. Rukun Agama sudah, Rukun Iman sudah, Rukun Islam sudah, sekarang Rukun Ihsan ada berapa perkara?

Sekejap, suasana masjid menjadi sangat hening. Tak ada seorang pun yang menjawab walau hanya sekadar salah menjawab. Karena hening, saya kembali lagi mengulangi pertanyaan itu, dan lagi-lagi usaha saya gagal menghasilkan keriuhan jawaban serentak seperti tiga pertanyaan sebelumnya. Mirisnya lagi, peristiwa itu tidak terjadi hanya di satu masjid, tapi di beberapa masjid yang selama beberapa tahun ini untuk pertama kalinya saya mengisi pengajian di sana.

Itulah hal yang saya sebut sangat krusial di awal tulisan. Mengapa pengetahuan keagamaan keislaman hari ini, hanya mentok di bab Iman dan Islam. Padahal Rukun Agama bukan hanya dua, tapi ada tiga perkara, yakni ditambah Ihsan. Jika Iman dan Islam punya rukun-rukunnya, mengapa Ihsan harus tak punya? Atau barangkali ada, tapi kita tak pernah mengetahuinya, alih-alih menelaahnya secara mendalam. Jangan-jangan pula, para pembaca yang budiman bernasib sama seperti jemaah pengajian tadi: belum pernah belajar dan mengetahui apa-bagaimana itu Ihsan dan apa saja rukun-rukun Ihsan.

Padahal konon, pembahasan Ihsan dalam konteks keilmuan keagamaan, merupakan puncak dan jalan keluar dari berbagai masalah keagamaan hari ini. Maka dari itu, dalam tulisan selanjutnya, saya akan coba menuliskan terkait Ihsan dan rukun-rukunnya.

Kecemburuan Hujan

Oleh: Atropal Asparina

 

Saat itu tampias hujan sungguh tak sopan
Tiba-tiba saja menyentuh tanganmu padahal
Gaun kondangan itu cantik mutlak paripurnamu

Hujan semakin kurang ajar!
Membesar mulai membelai pipimu
Kupacu motor demi berteduh dari sikap tak senonohnya
Senyummu lewat spion entah pada siapa
Kupasang badan sebelum menepi di pinggir rumah ibadah
Jika saja salah satu tetesmu ada yang merayap menyelinap ke selain wajah dan tangannya
Doaku pada Tuhan menantimu hujan!

Akhirnya kita berteduh dalam diam
Kau lebih suka memandang hujan ternyata, sialan!
Kerongkonganku tercekat saat
tanganmu mengayun mencoba meraba tetes hujan yang tak sopan itu
Meski ada tetes hujan yang paling edan
Yakni mereka yang tak berhasil menyentuh tanganmu lantas terjun membanting aspal seperti kalah lalu memantul menuju bawah rokmu, goblok!

Emosiku reda akibat senyum yang jelas mengarah padaku
Seharusnya senyum itu diabadikan jadi warisan UNESCO
Tapi persetan
Kini hujan mulai merasakan aroma kekalahan
Awan-awan hitam tak lagi dapat menahan nur sejati
Mereka terbirit-birit hilang kekompakan
Seperti dalam hatiku awan gelap cemburu terkikis nur yang merekah terus dan terus

Ba’da senyum itulah
Bibirmu siap mengucapkan sesuatu katamu: “Makasih ya… Udah nganter. Aku selalu suka hujan kok.”
Lalu cepat kujawab: “Sama kok.”
Dalam hati… Anjing!

Belantara Depresi

Oleh: Atropal Asparina

 

Merasa coretan hitam di atas kertas merah
Tertunduk, lampu bergoyang dari hidung mengucur cairan merah
Ini aku tapi benarkah aku? Pensil patah buah coretan marah
Mendesak rasa membanting seisi rumah
Tapi benarkah bisa? Ruang menguing berputar bolak-balik
Tubuh pun roboh kepala membanting jatuh di keramik

Kini darah semakin simbah
Mati saja? Coretan dinding rumah menolak keras
Kenangan-kenangan berhamburan
Bersama muntah menjijikan membanjiri diri
Terus hidup? Sedang luka di sekujur terlampau

Kabur meski telanjang
Ke belantara mungkin lebih tenang
Hewan buas? Lebih buas manusia
Hutan, hujan, duri, bisa, cakar, taring, terik, dingin, kini
sahabat setia

Dan waktu terasa lambat,
Membahagia
meski omong mereka
aku telah gila

 

Garut, 27 Oktober 2020

Rumus Kebenaran dan Jurang Relativisme

Oleh: Atropal Asparina

 

Rumus kebenaran Tuhan itu saya bayangkan seperti ini: Tuhan tidak pernah bertanya 50+50 sama dengan berapa, tapi Tuhan selalu bertanya 100 itu hasil dari berapa ditambah berapa. Bahkan, Tuhan pun sering menanyakan, 100 itu berapa dikurang berapa.

Benar bahwa rumus itu sangat kompatibel dengan keadaan peserta didik (baca: manusia) yang sangat-sangat dan sangat beragam dari berbagai halnya. Tapi melalui rumus yang memungkinkan jalan kebenaran itu sangat beragam dan banyak—sampai menyentuh angka tak hingga—terdapat ancaman serius berupa jurang kebenaran yang relatif atau relativisme (paham yang beranggapan bahwa kebenaran tergantung si pelaku, tidak mutlak, karena setiap orang dipengaruhi oleh sejarah-budaya-pengetahuan-psikologi atau singkatnya setiap orang punya benarnya sendiri sebab berbeda/unik [Oxford Dictionary of Philosophy, 2008]).

Doktrin relativisme disebut berbahaya jika menjadi worldview seorang muslim atau seorang penganut agama apapun, bisa dibenarkan jika. Sekali lagi jika, yang relatif itu adalah kebenarannya. Sebagai seorang beragama, adalah sangat rancu (dan bahaya) jika kebenaran yang dianutnya selama ini ternyata relatif, misalnya eksistensi Tuhan.

Berbeda halnya jika yang relatif adalah rumus atau jalan kebenaran yang diupayakan oleh setiap orang (yang beragam). Jika yang relatif adalah rumus-jalan kebenaran, maka ketika disebut bahaya, justru akan lebih bahaya!

Bicara mengenai kebenaran, kita semua tidak ada yang menyeluruh bisa memastikan hakikat kebenaran. Persepsi—jangankan manusia seluruhnya—mengenai Tuhan, menurut orang muslim saja, dalam sejarahnya yang panjang menuai perbedaan. Jangan dikira bahwa ketika persepsi tentang Tuhan itu berbeda, maka Tuhan adalah ‘sesuatu’ yang relatif, tidak! Kebenaran tentang wujud Tuhan begitu mutlak menurut muslim, tapi rumus-jalan untuk sampai atau sekadar konsep mengenai-Nya, terbukti relatif, tergantung siapa dan aliran mana yang mengungkapkannya.

Dalam hal yang lebih sederhana, menghormati orang tua diyakini secara universal adalah sebuah kebenaran. Tapi rumus-jalan setiap bangsa dalam menghormati orang tua terbukti sangat relatif, tergantung sejarah-budaya-pengetahuan-psikologi setiap bangsa atau pelaku.

Kembali kepada rumus kebenaran yang saya bayangkan dari Tuhan seperti di bagian awal atau tulisan sebelumnya. Kekhawatiran besar berupa efek buruk terjebak doktrin relativisme dari rumus: Tuhan tidak pernah bertanya 50+50 sama dengan berapa, tapi selalu bertanya 100 itu hasil dari berapa ditambah berapa atau berapa dikurang berapa,akhirnya menjadi relatif juga. Maksudnya, jika yang relatif adalah rumus-jalan menuju kebenaran, tidak ada masalah. Tapi jika yang relatif adalah kebenaran itu sendiri, bolehlah disebut bahaya, meski tetap terbuka ruang untuk berdiskusi. Sebab, diskusi tentang hakikat kebenaran belum kelar bahkan sampai detik ini.

Akhirnya, sebagai seorang (baca:saya) yang sangat terbatas dalam berbagai sisinya, ditambah—mungkin saja—goblok dan bodoh, berharap secara sekaligus menangkap keseluruhan realitas kebenaran, adalah sangat sangat dan sangat mustahil bin mustahal. Tapi, upaya membuka keran keberagaman demi mengakui mereka yang berbeda—daripada dihina-direndahkan-diasingkan-dihukumi—adalah suatu tetes kebenaran yang rasional dan realistis untuk diperjuangkan.

Nurdiana

Oleh: Atropal Asparina

 

Namanya Nur
Soal cantik jangan Tanya
Keluar rumah hanya sekolah

Enggan berfoto
Soal senyuman dia juara
Hipnoterapi otak-otak rusak

Digunjing pasti
Barang mewah bukan kelasnya
Bekerja menjual bumbu dapur

Musuh ruah
Lelaki-lelaki edan mengharapnya
Sedang pacar mereka menyumpahinya

Kini nasibnya
Terpojok gegara tumbuh terlalu manis
Warungnya laku meski lelaki tak perlu bumbu
Bergaul sana-sini pertaruhkan ekonomi
Apalagi berorganisasi
Ibu-ibu membeli dengan sinis cemburu
Piknik hari raya tak membuatnya ceria
Sanak saudara entah di mana seperti apa
Sedang aku lalalala

 

Garut, 1 November 2020
pukul. 23.59

Rumus Kebenaran Tuhan

Oleh: Atropal Asparina

 

Sebagai warga pesantren, yang sehari-hari bahkan candaan tidak terlepas dari soal agama dan Tuhan, sering saya membayangkan bahwa Tuhan “punya” rumus kebenaran-Nya sendiri.  Seperti rumus-rumus matematika, fisika atau ekonomi yang diberikan oleh guru, demikianlah Tuhan pada mulanya mengajarkan ‘rumus kebenaran’ itu kepada manusia. Sebagaimana juga murid-murid di kelas matematika, fisika atau ekonomi, tidak semua mengerti rumus yang diajarkan oleh gurunya.

Pada mulanya Tuhan mengenalkan dirinya dengan sebutan Rabb. Secara mudah bisa dilihat pada pembukaan al-Qur’an, surah al-Fatihah ayat pertama: Alhamdulillahirabbil ‘alamin yang biasa diartikan dengan segala puji bagi Tuhan semesta alam. Atau jika hendak lebih esensial, bisa dilacak pada ayat-ayat al-Qur’an yang turun pertama kali, semuanya menggunakan kata Rabb ketika menyebut Tuhan. Baru pada surah al-Ikhlas [112], diperkenalkan kata Allah. Yang menarik adalah, makna rabb yang paling menonjol yakni pemelihara dan pendidik.

Sebagai pendidik yang pertama dan utama bagi manusia—sebagaimana dalam kisah Adam as. (QS. Al-Baqarah [2]: 30)—rumus kebenaran Tuhan yang saya yakini—tentu tangkapan ini bisa dan boleh berbeda dengan orang lain—seperti rumus berikut: Tuhan tidak pernah bertanya 50+50 sama dengan berapa. Tapi Tuhan selalu bertanya, 100 itu hasil dari berapa ditambah berapa.

Silahkan bingung dan tidak percaya, ini semata hanya tangkapan subjektif saya. Namun, jika ingin penjelasannya, begini, jika rumus kebenaran itu adalah 50+50 sama dengan berapa, maka jawabannya ada satu, yakni 100. Rumus ini mudah sekaligus susah. Mudah dalam menerima dan menjawabnya, tapi sangat susah dalam mempraktikannya dalam kehidupan sehari-hari.  Jika rumus kebenaran hanya satu dan jawabannya hanya satu, sedangkan manusia punya keunikan, kemampuan, level intelektual dan banyak lainnya yang berbeda (everyone is unique), betapa sebagai guru sangat tidak paham pada anak didiknya.

Sebaliknya, jika rumusnya berbentuk: 100 itu hasil dari berapa ditambah berapa, maka jawabannya bisa sangat beragam. Ada peserta didik yang menjawab 60+40, yang bangku belakang menjawab 90+10, yang paling depan 50+50, yang pinggir 75+25, semua bisa benar asal memenuhi kaidah-kaidah penjumlahan yang sudah diajarkan. Rumus ini lebih kompatibel dengan karakter peserta didik yang beragam, dari berbagai sisinya. Bahkan bisa jadi, rumus itu berkembang menjadi: 100 itu hasil dari berapa dikurangi berapa.

Sebagai peserta didik yang masih teramat bodoh, sebenarnya kita tidak mungkin berhasil mendapat nilai sempurna sampai seratus (100). Bisa jadi niat kita sangat bulat dan besar ingin menemukan rumus untuk mencapau seratus, tapi selalu tersendat. Karena itulah, Tuhan mengirim murid teladan, berupa para Rasul, dan terutama Rasul Muhammad saw. Selain beliau membantu kita para murid bodoh supaya lebih cepat paham rumus yang diajarkan. Beliau juga nanti yang akan melobi sang Maha Guru, untuk memberi nilai kasih sayang, sehingga nilai kita menjadi genap. Kebetulan, kata syafa’at itu berasal dari kata syaf‘un yang berarti genap (kebalikan dari ganjil).

Terakhir, jika jalan kebenaran itu banyak, sebagaimana rumus: 100 itu berapa ditambah berapa atau berapa dikurang berapa, apakah lantas kebenaran itu menjadi relatif? Nah, karena terlalu panjang, hal ini akan diulas pada tulisan selanjutnya.

Kebaikan versus Kebenaran

Oleh: Atropal Asparina

 

Tempe, Roti, dodol, dan makanan lainnya, apakah anda tahu bagaimana proses pembuatannya? Dan apa hubunganya dengan tema “Kebaikan versus Kebenaran” yang menjadi sajian utama tulisan ini? Demikianlah pertanyaan yang ditempatkan di awal menjadi salah satu metode supaya tulisan tetap dibaca.

Begini, sering terdengar bahwa dakwah—dalam artian seorang penceramah menyampaikan ajaran agama kepada khalayak—diibaratkan dengan hal-hal yang berbau produk dagangan. “Dakwah itu harus dikemas secara menarik… Jelas supaya orang tertarik kepada isi dakwah.” Begitulah salah satu bebauan produk dagangan itu. Sebagai sebuah pengibaratan tentu tidak ada yang salah. Malah justru kebijaksanaan para pedagang dalam menempatkan mana “kebenaran” dan di mana “kebaikan” penting ditiru dalam (ber)dakwah.

Kacang kedelai yang berasal dari Amerika Serikat itu, direbus dalam drum besar. Pasca matang, kedelai yang ingin mengelupaskan kulitnya ditumpahkan pada tolombong bambu. Kemudian—inilah—kedelai Amerika itu akan diinjak-injak oleh kaki-kaki berbulu lebat secara terus menerus sambil sesekali diguyur air bersih. Ketika ditanya “Kenapa dengan mesin?” jawabnya enteng, “Modal. Dan rasanya jadi lain”.

Sekarang tepug terigu meluncur, tersentak dan bersarang dalam ember besar. Dibantu beberapa teknik, bahan penyerta serta air yang sudah diolah, jadilah adonan roti sebesar karung-karung terigu yang berjejer di pinggir pabrik. Kemudian—inilah—adonan sebesar badan manusia tambun itu, langsung dipanggul, disimpan di pundak seorang pria paruh baya yang tak memakai baju untuk diantar ke ruang pemotongan yang penuh ibu-ibu. “Gerahnya…” begitulah jawaban saat ditanya kenapa ia tak memakai baju saat memanggul adonan roti.

Untuk dodol kita lewat saja. Jangan tanya kenapa. Intinya, itulah proses kebenaran makanan-makanan yang tak asing di lidah kita. Dapur-dapur kebenaran rapi ditempatkan dengan bijak, sehingga hanya diketahui oleh orang yang berniat untuk mengetahui—seperti saya yang sengaja main ke pabrik tempe atau roti. Bijaksananya mereka, yang disajikan dan “didagangkan” ke khalayak, bukan kebenaran itu, tapi kebaikan. Tempe yang begitu ekonomis dan bergizi, serta roti yang sangat cocok untuk orang sakit, itulah kebaikan-kebaikan yang dimaksud—misalnya.

Dalam dunia dakwah sekarang, yang terjadi justru sebaliknya. Etalase yang ditawarkan  kepada khalayak beramai-ramai dipenuhi oleh kebenaran. Sedangkan kebaikan entah disimpan di mana. Akhirnya dunia dakwah menjadi kancah perang yang sangat rentan ditumpangi berbagai kepentingan lain—politik misalnya?—yang semakin menambah riuh dunia dakwah kita—dari waktu ke waktu.

Padahal setiap dapur punya resep dan cara sendiri untuk menghasilkan makanan yang dinilainya baik. Alangkah pandir jika sesama pemilik  pabrik roti atau tempe ribut soal resep dan teknik membuat produknya. Dalam skala yang lebih kecil, setiap rumah juga punya cara sendiri-sendiri meramu dan menyiapkan santapannya sendiri. Jangankan soal agama, soal masak pun jika kebenaran yang selalu dibahas dan ditampilkan pada orang lain, maka kegegeran yang akan semerbak.

Entahah silakan dijawab, kebenaran yang menghasilkan kebaikan atau sebaiknya? Atau keduanya tidak bisa diturutkan begitu? Atau keduanya tidak bsa dipisah dengan kata “versus”? atau malah semuanya boleh dan sah-sah saja? Lagi-lagi semua berhak memberikan jawabannya sendiri. tapi bagi saya sebagai penutup begini.

Kebenaran proses pembuatan makanan dengan cara “tradisional-ahigienis” seperti tempe, roti, dodol, saus, bakso ikan, lada bubuk, dan seabreg lainnya  bukan berarti tanpa tantangan. Atas dasar higienisitas kesehatan dan keselamatan konsumen, cara-cara produksi makanan-makanan itu ramai digunjingkan dan beberapa diganti oleh serba mesin. Tapi bagi kaum bawah, itu artinya beberapa orang akan libur kerja, selamanya. Berarti memang, soal makanan semua pihak mempertimbangkan kebaikan yang dapat dihasilkan dengan caranya masing-masing.

Kecuali dunia dakwah kita, sebagai makanan rohani, yang pada saat bersamaan, masih ngotot bersikukuh dan terus hanya mempertimbangkan kebenaran masing-masing. Tanpa kita tahu di mana mereka menyimpan kebaikan-kebaikan yang sangat ditunggu oleh orang-orang goblok dan susah seperti saya.

Berulang-Ulang

Oleh: Atropal Asparina

 

Lagi-lagi mimpi-mimpi terkubur
Kemarin meninggi bagai kupu-kupu
atau layang-layang

Lama-lama meredup tak ubah kunang-kunang
Menyelinap tak mau diajak berandai-andai, berlari-lari

Tetangga bertanya-tanya
Sedikit-sedikit teman-teman meronta-ronta tiap-tiap waktu
Apalagi keluarga tak henti-henti berdoa, jampi-jampi

Keadaan-keadaan serentak menjadi alasan-alasan
Pandemi dituduh sebab-sebabnya
Padahal tubuh
Hanya lapuk dimakan leha-leha
Dibanting pikir-pikir panjang-panjang
Seakan diri
Telah mati sejak esok hari

Garut, 22 Oktober 2020
Pukul 02.30 WIB

Mari Jadi Ahli Maksiat

Oleh: Atropal Asparina

 

Ketika kebenaran tak ubah barang dagangan yang dipajang oleh hampir setiap orang, menjadi ahli maksiat adalah satu jawaban dari kebingungan memilih kebenaran yang mana.

Emper-emper kebenaran sudah kadung memenuhi dan menjadikan-hanya dunia(kita): medsos, ormas, keluarga, bahkan fantasi dan imajinasi; untuk selalu benar. Atau lebih tepatnya memilih trend kebenaran tertentu. Logika hitam-putih, atas dasar kejelasan sebuah kebenaran, sudah jadi narasi promosi yang paling umum. Walhasil, sudut pandang terhadap lawan kebenaran teramat lancip bahkan tajam. Lawan kebenaran adalah keburukan, sedang keburukan setelah melewati batas-batas abstrak—dalam terminologi agama—disebut maksiat.

Sekali lagi saya ulang, mari jadi ahli maksiat. Saking lancip pandangan kita terhadap sebuah objek yang masuk kategori maksiat, sampai tidak menyisakan satu titikpun alternatif lain dalam melihat—lebih jauhnya menyikapi—maksiat.

Pada titik ini, di satu sisinya manusia merasa punya alasan untuk bersikap kejam terhadap sesamanya, bahkan sejak dalam pikiran. Maksiat ya maksiat! Titik!. Dia adalah perusak kebenaran dan lawan kebaikan yang harus ditumpas dengan segenap daya. Sebuah pohon rindang, teduh, besar dan rumah ribuan hewan puluhan tahun, jika diketahui menjadi tempat pesugihan, babatlah habis. Tak apa ribuan hewan mendadak tunawisma.

Sembelihlah sebanyak mungkin manusia, buraikan usus-ususnya, hancurkan daging, kulit, belulang dan tengkorak kepala dengan kejeniusan merakit bom. Dengan keberanian meluluhlantahkan awak sendiri atau perasaan tega meledakkan anak dan istri, demi menumpas kemaksiatan atau demi etalase kebenaranmu, atau demi-demi yang lainnya. Atau bencilah temanmu yang dianggap suka bermaksiat. Tapi pertanyaannya…

Mengapa si penginjak orang yang sedang sujud dalam shalat, yang kemudian dimaki disumpahi tidak akan diampuni Allah karena perbuatanya, justru dibela dengan turunnya wahyu Allah bahwa Allah Maha Pemaaf (HR. Muslim). Juga wanita pezina yang hendak dirajam oleh segerombol orang, justru dibela oleh yang mulia Yesus (Yohanes 7:53-8:11). Atau manusia yang disebut pelit, dalam kitab al-Hikam (karya Ibnu Athailah) sebenarnya tak ada. Sebab yang ada manusia tamak yang ingin diberi, sehingga menyifati orang yang tidak memberi dengan sebutan kikir.

Jangan-jangan, laiknya emper-emper kebenaran yang kadung beragam, maksiat pun teramat subjektif kala dikhotbahkan sana-sini. Lidah teramat lancar ketika mengkafirkan orang yang tidak shalat. Tapi apakah akan selancar itu, jika yang tidak shalat adalah anak atau ayah sendiri?

Bagi saya, Tuhan adalah ahli maksiat, Yesus dan penulis kitab Hikam pun demikian. Sebab ahli itulah, ketiganya—dan masih banyak lainnya—berhasil menunjukkan bahwa sudut pandang terhadap maksiat tidak selalu menjijikan. Termasuk, ahli maksiat mulai harus dibedakan dengan pelaku maksiat. Seperti ahli-ahli dalam bidang keilmuan lain, sarjana ahli maksiat sangat diperlukan dalam era serba-dakwah seperti sekarang.

Bukan sok bijak, tulisan ini hanya usaha kecil untuk mengurangi kegoblokan “diri.”