Penulis: Abenza'idun

Istirahatlah Cinta

Oleh: Abenza’idun

Istirahatlah cinta
Riuh Para Bedebah bersumpah-sampah
Liar lidah meludah-ludah
Mengingkar atas ikrar, bersandiwara palsu yang asu.

Engkau lelah dikata-kata
Melangitlah ke singgasana lentera
Dalam rengkuh sang Raja
Menelan gulita

Biarkan insan-insan itu yatim-piatu tanpamu
Atau
Biar mati sekalian kehilangan sukma
Tinggal raga tak bisa apa-apa

Jangan membumi,
Selagi mereka belum bersuci

Abenz, Ungaran, 31 Mei 2022

Jogja itu Antara Insomnia, Amnesia dan Asunia

Oleh: Abenza’idun

Dipaksa mengingat sesuatu yang lupa, dipaksa melupa sesuatu yang pernah ingat.
Dipaksa membenci padahal cinta, atau dipaksa mencinta padahal benci.

Dari sudut mana lagi Jogja yang tak kau  ingin ceritakan. Tidak ada bukan? Sebab setiap sudut Jogja adalah sebuah cerita. Jojga memang istimewa dan akan selalu istimewa. Baik bagi pribumi maupun turis yang pernah singgah di Indonesia Mini itu. Sebutan kota pelajar, budaya, wisata, mistis sampai romantis bukanlah isapan jempol belaka. Semenjak delapan tahun silam singgah di Jogja saya mendapatkan banyak pengalaman yang luar biasa. Di antaranya mengenal berbagai kultur di masyarakat sekitar, tempat-tempat bersejarah, wisata, mistis dan lainnya. Selama delapan tahun itu pula bisa dikata sepertiga bagian saya sudah menjadi orang jogja. Hehe.

Setiap orang akan memiliki kenangan tersendiri ketika singgah di kota gudeg tersebut. Entah urusan belajar, karir, asmara ataupun lainnya. Banyak teman seangkatan atau kenalan yang masih di sana. Ada pula sebagian memutuskan menetap di sana. Namun, saya harus kembali ke tanah kelahiran pada tanggal 11 Januari 2021, tepat seperti salah satu lagu Gigi.

Ada tiga hal tentang Jogja yang melekat dalam ingatan. Yaitu tentang insomnia, amnesia dan asunia.

Pertama, tentang Insomnia

Saya rasa tidak berlebihan jika menyebut jogja adalah salah satu kota 24 jam. Sebab, seharian penuh aktivitas tiada berhenti.  Mulai tengah malam bapak dan ibu-ibu berangkat ke pasar menata dagangan sayur-mayurnya, pagi-pagi para siswa, mahasiswa dan pekerja kantoran atau non-kantor berangkat. Toko-toko mulai buka hingga sore bahkan sampai malam. Aktivitas sore penjual martabak, pecel lele yang jarang ada pecelnya, burjo yang jarang ada  bubur kacang ijonya, nasi goreng, kafe dan lainnya mulai beroperasi hingga tengah malam. Benar-benar full aktivitas. Melihat begitu padatnya aktivitas, tak jarang para pedagang membuka tempatnya 24 jam juga, salah satunya kafe.

Kafe menjadi tempat favorit untuk berkumpul. Entah sekedar kumpul biasa, mengerjakan tugas atau rapat. Seperti namanya tidak afdal jika tidak memesan kopi. Awalnya saya termasuk orang yang sulit diajak ngopi ke kafe, tepatnya saat semester satu, karena waktu itu belum suka kopi, hingga ketika saya mulai bekerja di kafe daerah Nologaten yang sekarang sudah ganti.

Berawal dari situlah saya mulai mencoba kopi hingga akhirnya jatuh hati padanya. Dengan kopi dapat mencairkan pikiran dan merapatkan barisan. Jogja adalah tempat sejuta kopi pun kafe. Berbagai macam kopi disajikan di sana, arabica (gayo aceh, kintamani bali, toraja), robusta temanggung dan masih banyak lagi. Tapi, favorit saya tetap kopi hitam agm (agak manis) atau kopasus (kopi susu) yang harganya merakyat. Maklum mahasiswa budget tepi jurang.

Sebagai penikmat kopi di antara resiko yang harus ditanggung salah satunya insomnia. Insomnia secara lumrah dipahami sebagai keadaan tidak dapat tidur karena gangguan jiwa (KBBI). Tapi gangguan jiwa bukan berarti edan/gendheng. Hanya sajadipaksa mengingat sesuatu yang lupa atau harus mengingat sesuatu yang perlu diingat hingga menyebabkan susah tidur. Entah tugas, jadwal ketemu si Doi, mudik atau hutang. Tak jarang para penikmat kopi sering begadang. Saya pastikan barang siapa yang suka ngopi dan sering bepergian ke kafe mereka adalah pelaku insomnia. Rata-rata sih. Saya pun salah satunya, sampai-sampai sehari tanpa ngopi rasanya kayak kurang inspirasi.

Kedua, Amnesia

Setelah insomnia Jogja, perihal selanjutnya adalah tentang amnesia. Amnesiaadalah kehilangan daya ingat, terutama tentang masa lalu atau tentang apa yang terjadi sebelumya karena penyakit, cacat atau cidera pada otak (KBBI). Berdasar pengamatan dan pengalaman amnesia itu ada dua kemungkinan, yaitu disengaja dan tidak.

Amnesia dalam kategori yang disengaja rata-rata urusan asmara. Terlebih asmara yang kandasnya tidak secara baik-baik. Mereka para mantan, satu sama lain akan mencoba saling melupakan. Si A akan dengan sengaja melupakan si B, begitupun sebaliknya. Malah bisa menjadi fatal jika harus terpaksa. Faktornya karena kekecewaan akibat perselingkuhan atau Doi lebih memilih orang lain. Padahal hubungan yang terjalin cukup lama, tiga, lima tahun bahkan lebih. Kalau kata teman karena cinta bisa gendheng ndadak. Hal demikian sering saya temukan dalam curhatan teman-teman di tongkrongan kala ber-insomnia dengan secangkir kopi.

Ada lagi yang sengaja amnesia, yaitu ketika ditagih hutang atau tugas kuliah. Bukan rahasia umum lagi. Jika kita ditagih mesti sengaja amnesia alias pura-pura lupa. Ada seribu alasan untuk mengelak.

Sedangkan untuk amnesia yang tidak disengaja, nggak usah saya kasih contoh. Karena kalau memang lupa ngapain suruh mengingat-ingat. Namanya juga lupa kan? Hehe.

Ketiga, Asunia

Jangan salah paham dulu ya! Kata ini memang frontal, tapi ini benar-benar membicarakan asu (anjing, Bahasa Jawa). walaupun saya dan teman-teman terkadang guyonan ketika melihat ada cewek yang mentiring alias wuasyu, eh wuayu maksudnya, lewat kami kira sendiri taunya ada cowoknya. Ah… ada asunya. Begitu guyonan kita. Tapi sekali lagi hanya sekedar guyonan belaka, sama halnya jancuk yang menjadi kata mesra dan keakraban orang Jawa Timuran.

Kembali ke asu. Saat pulang ngopi sama teman boncengan lewat Jl. Ori Papringan, tiba-tiba seketika di pertigaan dekat burjo Kang Otong 2 ada asu yang lompat dan mengenai tangan temanku. Kami berdua yang sama-sama takut dengan asu pun terkejut terheran-heran. Sampai temenku bilang, asu marai deg deg serr ngluwihi ketemu dek e.  Itu bukan bagian scene yang didramatisir, tapi serius. Bahkan sempet sesak nafas, saking kagetnya. Dasar asuuu…

Lain hari, hendak pulang dari kafe tempat kerja, terjadi keributan antara tiga asu di tengah jalan tepat pertigaan. Entah yang diperebutkan wilayah kekuasaan atau betina saya kurang paham, mau saya tanyai juga nggak tau bahasanya. Yang jelas jalanan sempat macet. Para asu saling cakar-mencakar dan saling menggigit hingga luka berdarah.

Selang beberapa bulan, eh malah temen di kafe memelihara asu. Yang pertama asunya kecil, nggak tau jenisnya, kedua gede warna coklat jenis Husky dan yang ketiga ini hitam gede, jenis Husky juga. Yang kedua saya masih biasa, perlahan saya mulai nggak terlalu takut sama asu. Tapi, yang hitam pertama kali dibawa ke kafe belakang, karena lampu mati saat lewat, tak sadar kaki si asu terinjak hingga dia langsung menggonggong. O… Asu.

Begitulah, secara tidak langsung dipaksa untuk menyukai asu di atas ketakutanku yang menjadikan Asunia.

Juni

Oleh: Abenza’idun

 

Juna-juni
Gemericik hujan bertalun membisik
Menyamar tanju langit yang berpinar tamam.
Dersik angin berhembus salam
Rindu Juwita berjujai usik

Bait per bait menderas do’a
Jiwa sejanji merapal tak reda
Kala begitu aksa
Sepasang hampir tak derana.

Rinda-rindu
Pada jendela, kau permisikan rindu bertemu
Saling sapa,
Lewat pesan puisi di dedaunan tertuliskan tinta air hujan
Setidaknya,

Hanya Juni yang sanggup menampung seluruh rindu.
Memansukh-kan segala pilu.
Memuisikan kasih untukmu.

 

Abenz
Bersemi, Juni 21

Petrikor

Oleh: Abenza’idun

 

Buncah,
Aku berkesah
Hampir sedu.
Berdeku.

Ku kira sekedar saba.
Hujam rindumu hujan.
Lantas purna,
Tanpa pesan.

Ternyata,
Kau beri sebuah kecupan pada kening kasih.
Semerbak aroma membenam pedih.
Begitu harum.
Mengembalikan senyum.
Menenang jiwa.
Sebagai pesan tanda cinta.

Walau sementara,
Tak mengapa.
Sudah cukup melega nafas.
Walau kan hilang kala panas menggilas.

Aku tak perlu khawatir,
Karena engkau pasti kembali hadir.

Yang,
tetap sama.

 

Abenz

Kulacino

Oleh: Abenza’idun

 

Hari itu,
Apa yang bisa ku laku?
Setelah kupesan segelas penuh,
Justru menyisa perasaan meluruh.

Ketika setengah dua belas.
Yang masih setengah gelas.
Dan kasih?

Tak terbalas.
Tak berbelas.

Hadirmu yang kuteguk?
Telah habis menyertai kepergianmu.
Tersisa bekas dingin jejakmu.
Yang meruntuh asa serta rasa.

Tak ingin menunggu angin,
Agar mengering.
Biar kuseka,
Sendiri.

Sebab luka -punya cara sederhana
-untuk bahagia.

 

Grobogan,
Abenz

Nayanika

Oleh: Abenza’idun

 

Semenjak pertama memandang mata.
Kulihat permata mengundang kama.
Menyembunyikan senja dibalik kedipan manja.
Memendar cahaya yang memesona.

O. Dinda.
Tatapanmu mencandu dibalik canda.
Lirikanmu melarik setiap lirik.
Membuat menetap dalam tatap.
Menjadikan syair yang lengkap.
Menjadi tempat yang tepat.

O. Dinda
Semesta semata-mata adalah matamu.
Ketika kubuka mataku.
Kulihat Tuhan pun di matamu.
-menjadi sembahyangku.
Diluar lima waktu.

Kelak, jika Tuhan menagihku.
Untuk memandang apa mataku selama hidup?
Kan kujawab, “mataku untuk memandang Tuhan melalui matamu.”

Tuhan…
Semoga tak Kau ganjar dosa.
Karena ku tak bermaksud berzina.
Kalaupun jika tetap dosa.
Semoga menjadi dosa yang berpahala.

 

Grobogan, 09-03-2021
Abenz

Pelam

Oleh: Abenza’idun

 

Terspektrum sebuah senyum.
Terbias satu paras.
Oleh cahaya menembus rintik.
Menjelma cinta yang terbius cantik.

Terlukis tujuh warna.
Membentuk sebuah prisma.
Menuntun pada nirmala.
Selaksa dalam nirwana.

Me-ji-ku-hi-bi-ni-u.

Mudah dieja, sulit dilogika.
Menyatu yang berbeda.
Segala menjadi niscaya.
Atas kuasa pada semesta

hadirmu adalah kehadiran-Nya
Melihatmu kumelihat-Nya.

Di suguhan malam.
Diantara rembulan dan bintang.
Delapan tahun silam.
Di langit kota Semarang.

 

Grobogan, 20 Februari 2021

Satu Nafas Dua Cinta dalam Asmaraloka

Oleh: Abenza’idun

 

Hujan.

Selagi masih musim hujan, menarik rasanya kita menambahkan bumbu pelengkapnya, iya puisi. Puisi masih menjadi jalan alternatif terbaik yang merupakan output dari ekspresi hati. Apalagi, kala musim hujan seperti ini. Hati akan auto-puitis, terlebih pada muda-mudi yang lagi kasmaran. Tidak hanya muda-mudi saja, karena yang dewasa maupun tua terpantau juga demikian. Mereka seketika menjadi penyair dadakan tanpa undangan. Namun, terkadang mereka tidak menyadari itu.

Membahas tentang puisi, cukup banyak buku antologi puisi yang familiar, semisal Aku Ini Binatang Jalang karya Chairil Anwar, Hujan Bulan Juni karya Sapardi, Puisi-puisi Cinta karya W.S. Rendra, Surat Cinta dari Rindu karya Candra Malik, Selamat Menunaikan Ibadah Puisi karya Joko Pinurbo, dsb. Namun, kali ini aku tidak sedang ingin membahasnya, hati tertuju pada sebuah buku antologi puisi karya sastrawan muda yang belum lama ini launching. Seingat saya pada 12 September 2020 di Kafe Main-main Jogja. Buah karya dari Usman Arrumy atau biasa disapa Gus Usman yang berjudul Asmaraloka: Puisi, Nada dan Cinta. Berisi 52 puisi yang ditulis antara tahun 2013-2020.

Secara keseluruhan Usman membawakan puisi-puisinya dengan bahasa yang cukup sederhana. Saking sederhananya justru sarat akan makna. Namun, tetap mudah dipahami tanpa harus menganiaya kamus dengan membolak-balikkan halaman per halaman.

Demi mata yang diciptakan
Untuk memandang matamu

Demi hati yang diciptakan
Untuk menanggung kesedihanmu
Aku bersaksi bahwa tiada cinta selain engkau.
(Kesaksian)

Kelopak mawar seketika layu
Begitu kusebut namamu

Bila kelak kehabisan suara
Aku akan menyerahkan namamu
Kepada mulut waktu
Dan berdetak di jantungku
(Namamu)

Mungkin, suatu waktu
Tuhan akan mengelus wajahku melalui tanganmu

Aku jadi berharap bahwa kelak, entah kapan
Tuhan akan mencintaiku melalui hatimu
(Asmaraloka)

Usman terlihat sengaja menggiring imajinasi pembaca selain untuk mencinta kepada yang dicipta sekaligus pada yang Mencipta. Dengan kata lain, mencintai keindahan ciptaan tuhan (eros) sebagai kekasih hati, menjadikan etos (keyakinan) terhadap yang Maha Rahman-Rahiim. Sehingga membentuk imanensi keajaiban Tuhan yang transendensi. Seperti yang diungkapkan oleh Jokpin (Joko Pinurbo) pada bagian pembukaan bahwa,

“Cinta dalam sajak-sajak Usman sering bermakna taksa pada saat dan ruang yang sama. Ketika ia berbicara tentang kekasih, kau dan mu, misalnya. Bisa tertuju sekaligus kepada kekasih sebagai persona insani dan ilahi. Dengan kata lain, sajak-sajak Usman acap kali memadukan cinta imanen dan transenden dalam satu tarikan makna.

Kalau orang jawa menyebut ngiras-ngirus (sekalian) atau dalam peribahasa sekali dayung, dua-tiga pulau terlampaui.

Dari 52 puisi, Usman juga menyajikan musikalisasi pada delapan puisi (prolog, kesaksian, doa, asmaraloka, huruf cinta, rahasia cinta, sabda cinta, kidung kekasih dan jalan). Audionya dapat didengarkan dengan memindai kode QR pada halaman masing-masing pojok atas. Dengan adanya musikalisasi, pembaca tidak sekedar berimajinasi dengan visual belaka, melainkan juga meresapi lewat audio. Agar pengembaraan para pencinta benar-benar mengena dan terhipnotis seketika.

Namun sayang, menurut saya, ada kekurangan dari musikalisasi puisi tersebut. Karena dari beberapa puisi yang dimusikalisasikan, justru kehilangan marwah daripada puisi itu sendiri. Seakan tidak ada bedanya dengan sebuah lagu. Biasanya musikalisasi hanya penekanan pada intonasi, namun ini melibatkan cengkok-cengkok seperti bernyanyi. Walapun belum ada kesepakatan atau konvensi resmi mengenai musik puisi/ musikalisasi. Tapi, Silahkan cek saja.

Terlepas dari kekurangan yang ada, buku ini tetap recommended untuk para pengembara cinta yang hendak memburu targetnya. Dengan kesederhanaan bahasa (tidak rumit), sehingga dapat diserap oleh semua kalangan. Menjadi stok amunisi yang sewaktu-sewaktu bisa dilesatkan atau sekedar menambah referensi kata.

Mari hidupkan asmaraloka dalam kehidupan agar tidak ada ruang untuk membenci.

 

Jalan Kauman, Grobogan

Abenz

Maulid Muhammad

Oleh: Abenza’idun

 

Malam ini,
Menggema sejuta shalawat.
Terdengar di seluruh penjuru jagat.
Terlantunkan oleh para hati beriman
penghuni bumi.
Oleh para malaikat penghuni langit.
Bahkan, Tuhan pun bersholawat.
Memperingati maulid Muhammad.
Nabi pembawa syafa’at.

Penutup segala Nabi.
Rasul penyempurna ajaran ilahi.
Manusia segala cahaya
Manusia segala cinta
Engkau Kekasih-Nya.
Engkau Kekasih-ku.

Allahumma shalli ‘ala Muhammad…

Tegowanu, 28 Oktober 2020

Mengulang Rindu

Oleh: Abenza’idun

 

Kulihat,
Langit tak kuat merindu pada bumi.
Mengutus hujan untuk menghujami.
Menyampaikan pesan sang kekasih.

Melebur tangis dalam gerimis.
Mengganti puitis-romantis.

Tik…Tik… Tik….

Hujan telah kembali.
Mendinginkan seluruh hati.
Menyuburkan kasih yang hampir terkikis.

Berharap cinta lekas abadi.
Untuk yang kesekian kali.

 

Jogja, 22 September 2020