Penulis: Aldiantara Kata

Peminat aktifitas sosial, sastra, pemandangan alam, serta obrolan-obrolan di warung kopi. Senang merefleksikan realitas melalui tulisan-tulisan sederhana. Kini masih duduk sebagai mahasiswa magister di salah satu Universitas di Yogyakarta.

Noah

aldiantara.kata

 

Sebelum kita benar-benar menerawang pada jendela. Antara lamunan serta kata-kata yang tertahan. Apakah bisa jika kerinduan itu adalah barisan tanda koma tanpa hilir. Ia serupa cerita serupa pendengar serupa pandangan yang menyapu wajah yang sebelumnya menjadi igauan.

Ada awan mendung, ada waktu yang mengintai. Ada jarak yang siap menjemput untuk kembali pada peredaran masing-masing. Kesendirian.

Kereta tiba. Waktu tak bisa mengiba.

Kita hanya bisa menitip jejak. Lagu yang terputar di pelataran, hanya terputar sekali. Ia tak lagi sama sepulang berada di rumah pada detik ritmik yang berbeda. Namun pada rahim waktu kita bisa menitip pesan. Pada vintage corak ingatan yang tentu kembali kepadamu.

Sebelum lonceng berdenting. Kereta yang akan membawamu.

Hanya di antara sebentang jarak, kita dapat menyadari betapa gugur daun di pelataran begitu merindukan sang empu. Ia ditimang angin. Danau memintanya bercerita. Hingga ia bersandar pada sebuah perahu Noah yang tertambat pada sebuah tali di pinggiran. Sesekali riak-riak muncul. Beburung yang beterbangan di atasnya.

Sudah tidak ada lagi wajahmu pada cermin air. Barangkali engkau telah menjadi aku. Yang tak lagi sadar pada kegilaan.

Buku Digital

aldiantara.kata

 

Aku sedang membaca puisi “Bulu Burung” Sapardi pada bulan Juni. Aku lupa meminum obat. Aku membuka botol minum, dan mengambil obat. Terburu-buru. Padahal setelah kusadari, halaman buku tidak beranjak, ia masih di tempat dan halaman yang sama. Tidak seperti video-video yang mesti kupause agar tidak terlewat barang sedetik-pun.

Namun di layar itu ia masih sabar. Tidak beralih.

Angin

aldiantara.kata

 

Apa sejatinya dengan makna angin yang tiba-tiba datang menerpa pada musim panas. Ia datang tak lama. Namun menggugurkan daun. Mengantar serbuk sari pembuahan bunga. Serta menerbangkan ingatan yang membuat jiwa terhenyak. Ia datang tak lama. Tak bisa diprediksi kapan ia kembali berhembus. Setiba-tibanya ia menjadi oase musim panas. Ia mungkin membawa takdir, pada jembatan ingatan. Tentang masa lalu. Tentang pesan yang urung dibalas. Panggilan suara yang tak terjawab. Serta rencana-rencana yang menjadi kembang tidur.

Angin-angin yang pernah datang itu, mungkinkah ia berdandan, menjadi rupa yang paling baik dalam ingatan. Sementara aku belum siap, mengenangnya lagi.

Cukup saja sebagai angin, Juni ini ada puisi-puisi Sapardi yang sederhana. Jangan sampai menjelma menjadi bait pada puisi “Aku Ingin” atau “Yang Fana adalah Waktu”. Apakah keabadian ingatan ini adalah kutukan?

Pura-Pura Di Atas Perahu

aldiantara.kata

 

Pernah suatu kali merecall ingatan tentang masa kecil?

Melakukan permainan bersama teman-teman dekat rumah, yang kini sudah canggung ketika bertemu. Gunakan batu dan pecahan genting tanah liat untuk merobohkan bata dan menggurat garis pada tanah. Lipatan tangan petak umpet, menghitung satu hingga seratus, mencari seseorang satu per satu.

Atau berjudi kecil menggunakan kertas gambar, atau sepak bola kartu dengan bola yang dibuat gunakan kertas alumunium foil sigaret.

Bermain lompat tali karet, hingga masak-masakan.

Masak-masakan tanpa ada api, tanpa ada cacah sayuran serta telur yang sedang naik harga. Ia ajak pada perjamuan makan siang sepulang sekolah. Membuatkan makan siang dengan wajan plastik yang diisi dengan pasir. Ia katakan sedang membuatkan masakan kesukaan.

Aku kangen mendefinisikan cinta sebagai masak-masakan dalam suatu perjamuan yang sakral. Tanpa melibatkan orang tua, atau janji-janji yang akan saling menagih terlebih dulu. Senyatanya perjamuan itu tak pernah ada. Sebagaimana makan sungguhan, harus lelah mengunyah, melepeh tulang, serta merasa kenyang dan malas. Tanpa harus menawar harga dan bersilang pendapat, seseorang hanya harus mengajak dan memberi pesan ingin apa.

Kebahagiaan yang didapat sejatinya berasal dari pura-pura?

Aku tidak tahu. Pura-pura barangkali masih berada di atas perahu, yang berkura-kura. Ia terombang-ambing pada arus yang membawa badan dan rumahnya sekaligus.

Komitmen Kemanusiaan

aldiantara.kata

Dampak kegaduhan di antara dua ormas besar menjelang hari raya Idul Fitri, penting untuk kita kawal.  Beberapa waktu silam, kegaduhan itu berupa penolakan ijin penggunaan lapangan shalat id serta ujaran kebencian oleh seorang peneliti BRIN terhadap warga Muhammadiyah. Pada saat yang sama tiba-tiba saya jadi teringat dengan kutipan dari esai yang ditulis oleh Buya Syafii Maarif berjudul, “Dari Keberagamaan Otoritarian ke Keberagamaan yang Tulus”.

“Memang pengalaman sejarah itu harganya mahal sekali. Sikap yang terbaik kemudian adalah agar semua pihak belajar sebanyak-banyaknya dari pengalaman itu untuk mengembangkan budaya kearifan, saling mengerti, saling memaafkan, dan saling menghormati antara golongan-golongan yang berbeda agama dan aliran politik dalam bingkai Republik Pancasila ini.”

Perbedaan dalam menentukan awal bulan Syawal sejatinya bersifat ijtihadi, di antara metode hisab dan rukyat. Keduanya memiliki keabsahan tersendiri. Namun, senyatanya perbedaan yang terjadi ternyata lebih memicu segmentasi di tengah masyarakat ketimbang saling memahami dan menghormati. Dimulai dari munculnya penolakan ijin penggunaan lapangan, ujaran kebencian, hingga perdebatan yang kembali memanas di antara kedua dengan ormas notabene terbesar di negeri ini.

Belum selesai sampai di sana, perdebatan-perdebatan kalangan grass root yang mencemaskan di media sosial, hingga salah satu dari keduanya, entah siapa yang memulai, membuat status melalui WhatsApp dengan menunjukkan kebanggaannya dengan ormas yang diikutinya, memajang bendera ormas berikut lagu mars-nya.

Sudah lebih dari satu dekade sejatinya perbedaan hari raya Idul Fitri ini tidak terjadi terakhir kalinya. Titik kulminasi ini meretakkan bangunan toleransi keduanya yang dianggap paten dalam soal toleransi dan moderasi beragama.

Seketika saya teringat dengan pesan yang disampaikan oleh Buya Syafii Maarif masih dalam esainya tersebut, Buya katakan bahwa organisasi keagamaan harus bekerja sama menjadi alat pembebasan. Ia harus menjadi rahmat sekaligus problem solver dalam mengatasi permasalahan kemanusiaan. Apa yang kita saksikan bersama, setuju atau tidak, keretakan-keretakan di antara umat tidak terelakkan.

Kita harus menyadari bahwa spirit berorganisasi harus bermula dari keresahan untuk memakmurkan bumi, sementara organisasi tak lain adalah sarana perjuangan. Kegaduhan menjelang Idul Fitri waktu silam seakan menunjukkan bahwa organisasi keagamaan menjadi penyekat persaudaraan. Segmentasi yang kejam yang bisa jadi lebih ketat ketimbang menghadapi yang berbeda agama. Pantas saja jika “kotak-kotak” seperti Sunni, Syi’ah, atau sub-sub sekte ini dikritik Buya Syafii Maarif sebagai buatan sejarah yang tidak boleh kita ”berhalakan”.

Pada saat yang sama kita senantiasa berdebat yang menguras energi. Berkutat pada permasalahan internal. Padahal sejatinya permasalahan-permasalahan sosial yang berada di depan kita masih sangatlah banyak. Belum lagi kita akan bersama-sama menghadapi tahun politik. Fokus permukaan dan cangkang tidak boleh mengalihkan kita dari sikap keberagamaan kita yang tulus dan saling menghormati antara satu dengan yang lain.

Dalam Al-Qur’an surat Ali Imran ayat 104, ayat tersebut dikenal sebagai ayat berorganisasi, “Hendaklah ada di antara kamu segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar…”

Penting untuk dicatat, bahwa sebelum kita berjuang pada wadah organisasi keagamaan di mana kita berada, komitmen baik tersebut perlu diimbangi dengan memperhatikan dua ayat sebelumnya, yakni agar kita terlebih dahulu menebalkan karakter takwa (ayat 102) serta komitmen untuk menjaga persaudaraan dengan saudara kita yang memilih wadah yang berbeda agar tidak bercerai-berai yang memantik perpecahan (ayat 103), hingga mengabaikan komitmen persatuan dan kemanusiaan. Tanpa memperhatikan dua ayat sebelumnya, sangat dikhawatirkan tekad mengabdi akan berubah menjadi fanatisme yang buta. Wallahu A’lam Bishawab.

I’tikaf dan Pudarnya Nalar Kontemplatif Kita?

aldiantara.kata

Apa yang sesungguhnya menjadi dasar, barangkali bermula dari hadis-hadis berikut. Tentang bagaimana kaitan antara i’tikaf dan “menghidupkan malam” pada akhir Ramadan.

Barangsiapa beribadah (menghidupkan) bulan Ramadan dengan iman dan mengharap pahala, maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu,” (HR Bukhari dan Muslim).

Atau pada hadis lain,

Dari ‘Aisyah ra., ia berkata, “Rasulullah Saw. biasa ketika memasuki 10 Ramadan terakhir, beliau mengencangkan sarungnya, menghidupkan malam-malam tersebut dengan ibadah, dan membangunkan istri-istrinya untuk beribadah.Muttafaqun ‘alaih. (HR. Bukhari dan Muslim).

Dalam buku Kontemplasi Ramadan Nasaruddin Umar memahami i’tikaf sebagai sikap ‘uzlah (pemisahan diri) sementara dari hiruk pikuknya pikiran ke sebuah tempat yang sejuk dan nyaman. Di dalamnya diisi dengan membaca al-Qur’an, shalat, tafakur (perenungan) dan berzikir.

Setengah dekade lalu, i’tikaf sebagai sebentuk ibadah pada sepuluh malam terakhir Ramadan masih relatif sederhana. Masjid-masjid yang tak mematikan lampu utamanya setelah tarawih, beberapa di antaranya sengaja redup. Serta para para ibad al-rahman yang mencari posisi yang dianggapnya nyaman, berjarak dengan orang lain dengan menenteng tas berisi al-Qur’an dan buku-buku.

Suara-suara lantunan ayat suci yang dibacakan dengan nada yang lirih, suara lutut yang bertemu dengan tanah saat hendak lakukan sujud salat sunah.

Suasana begitu tenang dan nyaman untuk melakukan kegiatan reflektif pada sela zikir dan membaca kitab suci. Hidupnya malam saya rasa demikian. Terkadang saya membuka catatan lalu menulis outline tulisan dari ide-ide yang tiba-tiba muncul saat perenungan.

Namun, kini situasinya berbeda. Kehidupan manusia nampaknya tidak merasa secara utuh berada dalam dunia interaksi nyata sebagaimana dapat diterawang dan sentuhan langsung. Aktivitas manusia baik secara individu atau komunal mendapat tempatnya di jagat maya atau media sosial.

Pada bulan Ramadan kini, ragam aktivitas dan program komunitas hingga masjid-masjid dipromosikan tidak hanya melalui papan pengumuman atau Pak Takmir yang memberitahukan para jamaah. Melainkan melalui flyer yang dibuat seindah dan semenarik mungkin di media sosial.

Dari info sajian takjil, ‘bintang tamu’ yang menjadi penceramah tarawih, tabligh akbar, hingga di antaranya program i’tikaf pada sepuluh hari terakhir Ramadan.

Khusus yang terakhir ini, i’tikaf sebagai sebentuk ibadah yang akrab dalam horizon pengalaman pribadi dalam suasana tenang dan sunyi, kini menjadi gegap gempita, ajang kontestasi hingga komodifikasi.

Memang saya menemukan pemahaman dalam kitab al-Fiqh al-Manhaji ‘ala al-Mazhab al-Imam as-Syafi’i yang menjelaskan mengenai sunah saat melaksanakan i’tikaf, di antaranya menyibukkan diri dengan melaksanakan ketaatan pada Allah, seperti berdzikir, membaca Al-Qur’an dan diskusi keilmuan. Namun kini tidak hanya kepada keilmuan agama, melainkan pelatihan softskill dalam tajuk sharing is caring.

I’tikaf kini sebagiannya menjadi program berbayar dengan ragam ‘benefit’ yang akan didapatkan. Seperti tempat tidur, coffee break, snack, dan makan sahur. Makan sahur dalam beberapa masjid disediakan dalam bentuk kupon.

Bahkan saya menemukan program sebuah masjid yang mengadakan program i’tikaf. Setelah mendaftar, peserta i’tikaf mendapatkan: tas bagwash wadah untuk alat mandi, buku dzikir pagi-petang, tasbih digital, bahkan beauty water untuk wajah. Selain itu disediakan pula kopi radix dan pop mie.

Uniknya, ada pula yang memasukkan perlombaan di dalamnya. Di antaranya ada lomba untuk menjadi peserta terbaik i’tikaf. Terdapat pula beberapa lomba seperti hafalan zikir pagi dan petang, hafalan asmaul husna, hafalan ayat popular seperti QS. Al-Kahfi ayat 1-10 dan ayat 1-1-110. Lagi, hingga di penghujung acara penutupan semua peserta i’tikaf mendapatkan ‘benefit’ berupa beras, gula pasir, dan kurma cokelat.

Seiring berkembangnya teknologi dan media sosial, i’tikaf tidak lagi menjadi ibadah yang rahasia nan pribadi. Kini tercapture melalui status-status WhatsApp dan Instagram dengan nuansa narsistik. Beberapa pula ada yang dijumpai asik memainkan gawainya dan streaming sepakbola.

Keadaan yang cukup kontras antara keadaan dulu dan kini perlu dikhawatirkan i’tikaf menjadi kehilangan substansinya dan menjadi sebatas euforia semata.

Saya jadi teringat dengan tulisan-tulisan Cak Nun dalam bukunya Tuhan pun “Berpuasa”.

I’tikaf sebagaimana dalam pemahaman Cak Nun, merupakan ruang kontemplasi untuk memikirkan kepentingan kita, apakah bersifat pribadi kultural yang dikonstruk oleh masyarakat dan capaian-capaian diri, kuantitas pahala atau ketauhidan yang berdampak dalam memeriksa secara reflektif terhadap kesehari-harian kita.

“Cobalah engkau beri’tikaf malam-malam. Engkau hitung hubungan-hubungan global maupun parsial, kaitan-kaitan makro maupun mikro, sentuhan-sentuhan permanen maupun temporer, antara kegiatan puasa dan riuh rendah kepentingan pribadi atau golongan yang bersemayam di dalam hati dan otak kepalamu.”

Seperti biasa, Cak Nun tak pernah terlewat melontarkan kritik sosial dalam cara berpolitik secara ideal melalui ajuan pertanyaan reflektif, “Apakah sesudah memasuki hakikat Ramadan, engkau yang terlibat di dalamnya mampu menghikmahkan puasa padanya? Mampukah seorang pemimpin dan “Bapak” memerdekakan diri dari rantai kepentingan kekuasaan yang notabene bersifat golongan? Mampukah tokoh yang semestinya bersifat mengatasi kepentingan-kepentingan subjektif diri dan golongannya sendiri serta kepentingan subjektif diri dan golongannya…demi kepentingan yang lebih tinggi? Yakni kepentingan kolektif, kepentingan bangsa…kepentingan kemanusiaan…”

Sikap-sikap kontemplatif ini yang nampak pudar dalam ‘seremonial’ i’tikaf kini. Sebab sikap-sikap kontemplatif ini yang menentukan perubahan sikap fundamental dalam sehari-hari manusia. Juga menunjukkan hasil bulan pendidikan dalam puasa Ramadan agar kian progresif menjadi pribadi yang takwa, termasuk di dalamnya saleh secara sosial.

Kaitannya dengan i’tikaf, sikap kontemplatif ini menjadi penting agar tidak hanyut dalam euforia dan konstruk sosial, serta kontestasi-kontestasi di dalamnya.

Bahkan Cak Nun, meluaskan pengertian i’tikaf tidaklah harus dalam keadaan bersila atau bersujud di atas tikar atau karpet masjid. Beri’tikaf dapat dilakukan sewaktu-waku. Tak dibatasi oleh tempat atau aktivitas yang dikerjakan. Dalam semua keadaan itu batin beri’tikaf, yakni jiwa merenung, pikiran yang terkonsentrasi kedalamannya kepada Allah. Wallahu A’lam Bishawab.

 

“Kalau ada orang kesepian, jangan tanya apa partainya, langsung saja sapa dia dan sayangi dia, agar engkau mendapatkan pintu untuk bersamanya meningkatkan diri ke kepentingan yang lebih tinggi, yaitu tauhid ilahiyah.” –Emha Ainun Nadjib

Aba-Aba Masinis

aldiantara.kata

“Lihatlah”, padahal aku berbicara kepadamu tanpa suara,
Sudah fajar. Waktu sabur limbur. Sesaat kereta akan tiba pada stasiun pemberhentian akhir.

“Lihatlah”, padahal engkau masih mendengkur pada himpitan lenganku.
Orang-orang sudah sibuk berkemas mengambil barang-barangnya di atas kepala mereka.
Tenanglah sedikit lagi, jangan dulu beranjak. Ada sisa waktu teruskan bunga tidur yang buatmu nyaman.

Sinar mentari pagi kian terang, sawah-sawah terbentang, yang bahkan tak bisa hidupi dirinya sendiri, begitu pun si empu.

“Dengarlah”. Masinis umumkan aba-aba agar kita lekas bersiap.
Bukankah kita yang selalu terjaga, dari dingin malam, serta cemas yang serta-merta datang tanpa aba.

Sebelum Terurai Tanpa Sempat Menoleh Ke Kiri dan Kanan

aldiantara.kata

Seperti melarut, purnama dengan sinarnya memantul pada riak kolam. Julang kelapa yang tegak menjadi siluet. Apa yang membayang, sinar cahaya memasuki jendela kamar. Mata kita terpejam. Rindu memiliki waktu. Derita setiap waktu adalah pengakuan pada batas, di mana kita belum menjadi sadar.

Sudah waktunya. Cinta menggigil. Sayup malam. Kita sibuk menerjemahkan rencana, di mana waktu bak jalan gelap. Tak henti kita pelihara rasa cemas. Bisakah kita memberi jarak, kepada pandangan abstrak, serta waktu yang meminta kita berhenti mencuri perhatian.

Bisakah malam ini. Bersandar pada punggungmu yang resah. Mengaburkan cemas kata-kata, serta kusut benang pikiran yang membuat mata enggan terpejam.

Kala pagi, kita menafsiri raut yang tenang. Kau sedang memimpikan apa? Adakah waktu akan sekejap kembali berlalu, menunggu ia kembali tiba pada waktu yang berjudi.

Gubahan fragmen, menjadi kata-kata. Ia tak terwakili. Kita saja yang menjaga. Dan menolak lupa.

Tidak dosa jika kehabisan kata-kata. Namun jiwa kita tak boleh jemu mengembara. Di atas kereta yang membawa kita pada ketakterdugaan. Stasiun-stasiun di mana kita menepi. Sesekali harus berantrian pada macet yang panjang. Sebelum terurai tanpa sempat menoleh ke kiri dan kanan.

Kita berpayah-payah, bersembahyang agar bisa kuasa menjadi pembeli apapun. Menukarnya dengan sesuatu yang kita anggap sepadan.

Ranting Kering

aldiantara.kata

Lamat-lamat kau kutangkap mengikuti lirik lagu yang sedang diputar mengisi latar. Kesadaran merebah pada remang ingatan.

Sisa-sisa waktu, perubahan rencana. Serta cuaca.

Kau mungkin kalah, tenggelam pada sekujur pemandangan masa lalu. Mungkin pula aku. Membakar unggun pada penghujung malam dekat bibir laut.

Gemintang yang menjadi pasir. Serta angin yang memintaku pulang.

Rindu yang menjadi jalan pulang, kita tinggalkan pada taman yang sepi. Lampu bundar yang kian redup menuju pagi. Kita sama-sama enggan memanggilnya. Hingga waktu mengubahnya menjadi dendam dan prasangka-prasangka.

Hingga aku usai kumpulkan kembali ranting-ranting kering, yang pernah tak sengaja kau pijak, meninggalkan tubuh daun kering musim semi. Aku akan nyalakan unggun serta puisi-puisi yang kusiapkan sebelum gelap. Hingga menunggumu menangkapku melalui skrinsutan langit malam yang masih kelabu. Serta gerimis yang turun diam-diam.

Edjaan Lama

aldiantara.kata

Seakan masih akhir tahun. Hujan berada pada pundak kemarau, yang meminta untuk bermain setiap sore.

Saat aku harus berjalan menyusuri jalan-jalan, pada masa lampau, di mana jalan ini aku tak pernah melewatkannya setiap hari.

Ia banyak berubah, namun tak sedikit pula yang masih menetap. Ranting yang kokoh serta genting, mengenaliku dengan sapaan.

Kenangan dengan aksara edjaan lama. Serta bayang pikiran yang masih berwarna kelabu. Ia harus bertemu dengan gambaran nyata yang banyak berubah.

Tikungan dan bunyi klason. Udara dan sinar surya pagi.

Kita mencari kudapan, lalu pergi menuju Selatan. Kita habiskan waktu, hingga lembar-lembar usang yang terekam memori kita harus menggali pusaranya sendiri, sebab detik waktu menjadikannya tiada. Seperti bergantian, kita harus angkat kaki.

Kau percaya pada keabadian edjaan lama, ia adalah kalimat masa lalu yang terus terucap hingga masa kini? Ia berada di pundak dan pikiran. Seperti hujan yang dipangku musim, meminta asuhan.

Kita yang menghadapi masa kini dengan pikiran-pikiran masa lalu. Melalui edjaan lama.

Kita akan terus mengedja. Hingga terbata-bata.

Rembulan dengan cahaya berbeda memasuki jendela kamar malam ini. Ia nampak kedinginan. Mengedja malam.

Apa yang kau edja, sebelum lelap. Degup dada yang meminta kata, namun engkau berikan tubuhmu yang tak habis kuedja.