Penulis: Aldiantara Kata

Peminat aktifitas sosial, sastra, pemandangan alam, serta obrolan-obrolan di warung kopi. Senang merefleksikan realitas melalui tulisan-tulisan sederhana. Kini masih duduk sebagai mahasiswa magister di salah satu Universitas di Yogyakarta.

Template Percakapan Januari

aldiantara.kata

Selamat malam, aksara, diksi dan kata.
Melalui lelap mimpi yang tetap butuh penafsiranmu, terbangun seakan mendapat utang tulisan yang berisimu tentang tuangan ide. Pengungkapan-pengungkapan selain bahasa tubuh. Bisikan selain lenguhan menuju pagi. Aksara, diksi, serta kata. Sembunyikan makna bersembunyi dibalikmu. Termasuk pesan-pesan berita yang banyak dibookmark tanpa sedikit pun dibaca mendalam hari ini. Sebelum tidur. Penanda buku sudah berpindah halaman setidaknya, yang dibaca beberapa halaman.

Aksara, diksi dan kata. Yang selalu lahir saban detik menjadi media perantara. Bagaimana jika kini giliranmu yang berkata-kata. Aksara yang berdiksi, diksi yang berkata-kata, serta kata yang mengejawantah kepada aksara? Atau kata-kata yang gunakan isyarat, bahasa tubuh? Lekas tulisan ini menjadi penanda berganti bulan. Setelah Januari yang telah lelah menggendong banyak template percakapan.

Sudah Berada Di Lampu Merah

aldiantara.kata

Sudah berada di lampu merah. Ada yang terburu-buru melaju, melesat, sehijaunya lampu memberi aba. Ada yang termangu. Seakan tersadar, sudah seharusnya ia berhenti sejenak, menghentikan laju dan kecepatan waktu matematis yang objektif. Lainnya, sadar seharusnya ia berhenti, sekonyong lampu merah berganti menjadi hijau, ia dipaksa maju, mendapatkan bim menghalangi kendaraan belakang yang sudah seharusnya melaju.

Di depan ada kendaraan yang bertabrak, tidak hanya satu atau dua. Ada yang bangkit, kembali tancap gas, merasa banyak tertinggal berhutang kepada waktu. Sisanya merebah, menepi, memesan air di kedai terdekat, meski rimis tanpa aba tetap turun, dalam cuaca panas dan suara tongeret bersahutan.

Ada yang menakar rencana. Mungkin seketika cepat berubah setelah tikungan dekat perumahan.

Sudah benar seharusnya aku berhenti. Kini berada di lampu merah. Tanpa merasa panas jika lainnya melaju dengan kalap tanpa perhitungan tanpa pertanyaan tanpa tafsiran-tafsiran terhadap sekitar tanpa ide-ide alternatif.

Paman Coelho yang Sejatinya Dekat

aldiantara.kata

Renungkan! Betapa Paman Coelho (Paulo Coelho), asal dari benua Amerika Latin itu yang membisikkan kata-kata ajaibnya lintas samudra hingga Asia. Ia menulis buku, penerjemah mengalih-bahasakan, terbaca hingga ku salah satunya. Memang benar kiranya jika seseorang yang menulis hakikatnya ia sedang bekerja menuju kepada keabadian.

Secara sederhana, keabadian itu berupa ide-ide, yang dapat dipahami, relate dengan keadaan pembacanya, kemudian mengenang terhadap penulisnya. Begitu kagumku, jika telah sampai pada titik orgasme saat membaca, termenung, menikmati sejenak pikiran-pikiran yang menggelinjang, terbang pada alam imajinasi, mengamini. Terlebih jika aku kemudian menceritakan ide-ide hasil membaca tadi kepada kerabat-kerabat dekat yang mau mendengarkan.

Padahal siang tadi, aku tak menghabiskan waktu lama untuk membaca buku Manual Do Guerreiro Da Luz, yang telah diterjemahkan menjadi berjudul Kitab Suci Kesatria Cahaya. Sekilas di antara kalimat-kalimat yang kubaca dan kuingat, “Dulu aku menjalani hidup semata-mata karena keharusan. Tetapi kini aku hidup karena aku seorang kesatria dan karena aku berharap suatu hari nanti aku akan tinggal bersama Dia yang menjadi tujuan perjuanganku selama ini.”

Entahlah, mungkin Kesatria Cahaya itu sedang mengutip kata-kata John Bunyan, seorang penulis asal Inggris.

Kesan pertamaku, kesatria yang dibayangkan adalah seorang prajurit yang gemar berperang, memakai baju zirah, menunggang kuda, serta tak memiliki rasa lelah. Namun jika direnungkan lebih dalam, yang dimaksud dengan kesatria cahaya yang dimaksud adalah kita. Kita hidup tak ayal sedang berada di ‘medan pertempuran’, menyelesaikan misi masing-masing.

Rasanya stimulus itu mencapai titik orgasme pemikiranku, barangkali bersamaan setelah aku mempelajari Sokrates, Plato, hingga Descartes. Rasanya hidup terlalu berharga jika dipandang sebagai suatu keharusan, bak aliran sungai yang mengalir tanpa berhenti dan bertanya. Kesatria cahaya tahu apa yang menjadi tujuan hidupnya, hingga tak berpuas diri dengan apa yang telah menjadi pencapaiannya.

Aku jadi teringat Eyang Sapardi pada sebuah podcast, ia ditanya sebagai seorang penyair mengenai puisi terbaiknya, Eyang Sapardi menjawab bahwa puisi terbaiknya adalah puisi yang belum dilahirkan. Puisi yang belum ia tuliskan.

Berarti?

Seorang Blogger yang baik, sejatinya tak merasa puas dengan halaman-halaman sejarah masa lalu, bahkan ketika tulisan ini di posting, bukan? Tetap menjalani proses, jauh dari menjadi. Dan ia harus kembali merasa bukan siapa-siapa, tanpa menoleh ke belakang.

Jebakan Semut Api, Jebakan Kemanusiaan

aldiantara.kata

Semut-semut api keluar dari balik tombol Qwerty laptop. “Bisa bisanya mereka mendekam cukup lama di sana?” sebuah tanya nada heran.

Mungkin tertinggal rasa manis remah-remah makanan yang sempat masuk pada sela-sela keyboard-nya? Mereka beranak dan membuat sarang, bertelur dan berjumlah tak terhitung jari.

Laptop menyala, mesin semakin panas, lalu sebagian keluar mencari tempat teduh dari ‘mesin’ yang siap menghanguskan masyarakat mereka.

Mengapa semut-semut api berada di sana. Mengikuti bau gula, di mana ada gula, (tanpa pikir panjang) di sana semut-semut berlari dan mengajak koloninya. Di sana ada tren, di sana ada masa? Ada berita viral apa hari ini.

Semut api menjadi semut air, setelah mereka tak bisa berenang, di atas meja warung kopi, di atas genang air es kopi gula aren yang sudah mencair.

Di mana ada tren, di sana…? Apa?

Tanpa berpikir panjang, tenggelam pada tradisi dan tren masa kini. Sebagian menjadi jenuh dan jengah, panas lama-lama berita bejibun dan teknologi ‘menghanguskan’ kemanusiaan kita.

Jalan Bali

aldiantara.kata

Di Jalan Bali, Klaten, selepas Maghrib, aku mendongak ke arah langit adakah hujan yang tiba-tiba akan turun. Kendaraan roda dua berjalan dengan lamban melihat-lihat adakah jajanan sesuai selera.

“Mau duduk di atas kursi taman itu, yang sudah diklaim Wedang Ronde Indri?”Tanya pengunjung.

Es potong yang payu memancing hujan di tengah gerah.

Ayam goreng presto Bu Eny, terbalut telur dan sambal segar.

Mencari awal kata, kini sulit sekali membuka obrolan. Sama halnya mencari awal kata memulai tulisan. Sebelum semua kembali menunduk dan menatap layar gawai. Video terputar tanpa konteks real time, mengabaikan kawan. Terbahak mengetuk kembali pintu-pintu maya.

Suara lato-lato. Sambatan-sambatan online di jagat Twitter.

Sepi ramai pengunjung bergilir mendatangi pedagang.

Aku hanya takut jika siang dan malam adalah sama, sebagai tempat transaksi. Adakah suatu tempat yang terlepas dari transaksi. Bahkan para pejalan malam bertransaksi menukar sepi dengan ramai. Di Jalan Bali. Adakah sesuatu yang tak bisa ditawar, yang tak bisa dibeli. Kehidupan yang sejatinya bebas, harus ditukar dengan rutinitas-rutinitas yang tak diinginkan, menggadainya untuk berjudi pada masa depan mencukupi standar-standar hidup tak masuk akal. Takut berbeda dan dianggap tak normal?

Kebebasan barangkali ada pada tanggal merah, kerap ditukar pula untuk upload-an sosial media.

Tetiba aku rindu pada Lawu. Pada seorang pendaki paruh baya yang bertemu di tengah pendakian. Ia seorang diri dan kerap melakukan perenungan-perenungan pada tanah landai sebelum beranjak pada pos sebelum puncak. Rutin ia mendaki seorang diri saban bulan. Baginya, Lawu adalah tempat paling pribadi antara dirinya dan kekasihnya semasa hidup.

Kini, apakah penyair ada bertransaksi menjual kata-kata, kerelevanan, kalimat yang ‘mengena’.

Banjir yang menggenang sebagian kota, permasalahan kemanusiaan yang urung rampung, adakah menjadi bahan transaksi dan janji-janji politik.

Sementara, aku teringat pada seorang lelaki dengan pakaian atasan compang-camping, tak bercelana, berjalan bebek di bawah hujan, mencabuti rumput-rumput liar sepanjang jalan sebelah perguruan tinggi. Adakah justru ia yang terjaga kewarasannya di tengah arus budaya yang barangkali sejatinya tak waras. Ia bertransaksi untuk apa dan siapa.

Setelah Page 365 of 365 Berlalu

aldiantara.kata

Menyambut tahun baru, dengan mewarisi cara pikir mengulang-ulang rutinitas yang lama.

Bukankah, kita tidak (pernah) kembali pada Januari yang sama? Takkan beranjak pulang pada bulan yang sama saban tahunnya. Kini kita berada pada Januari yang baru, bulan baru yang bertamu.

Bukankah, kita tidak (pernah) berputar pada titik yang sama, hingga sehari setelah ‘page 365 of 365’, pada bulan yang kerap dianggapnya sama.

Padahal kita terus berjalan pada Januari-Januari lain yang berjalan tanpa repetitif menuju titik akhir yang tak satu pun tahu. Januari macam apa yang masih kita akan hadapi masa mendatang. Berpikir repetitif, semua masih mengulang-ngulang, seakan kita terjebak pada rutinitas dan kalimat ‘biasanya’.

Berani kah kita terus beranjak, lalu mempertanyakan dengan berani kemana arah tujuan?

Bookmark-bookmark tanda merah libur peringatan hari, tanda-tanda cuti bersama, awal semester dimulai, hari merdeka pada bulan Agustus, rekaman peristiwa akan datang yang menjadi catatan pinggir menunggu kompilasi pada Rewind media sosial. Tanggal tertentu menerima gaji. Semua menjadi repetisi yang seakan menandakan ini semua sejatinya berulang. Bukankah, tiada hari yang sama setiap harinya?

Problem-problem kemanusiaan tidak lantas saja seketika hilang seiring bergulirnya waktu, bergantinya angka tahun. Peringatan-peringatan suatu hari penting yang pernah menjadi, akankah tetap menjadi suatu seremonial, atau akankah ada pilihan yang diambil, di mana tiada hari peringatan terhadap sesuatu, namun semua bekerja pada senyap menyelesaikan masing-masing urusannya. Peringatan hari pendidikan kini berarti keniscayaan lupa terhadap problem yang mengitari pendidikan, lalu beranjak pada persiapan memperingati hari lain, hingga tak sadar waktu cepat sekali berlalu, kemudian sudah ada lagi perdebatan, “Apakah boleh mengucapkan selamat natal dan tahun baru?” Mengapa tidak seremoni hari pendidikan ditiadakan, sementara setiap orang bekerja dalam senyap evaluasi dan perbaiki apa yang bisa dilakukan? Tanpa melalui seremonial yang seakan-akan peduli.

Seakan kini semua orang pandai memetakan permasalahan, menganalisis faktor-faktor, menyebut analisis pertama, kedua, ketiga, keempat, kelima, dan seterusnya…

Keadilan sosial bukanlah musim, sebagaimana bisa ditunggu. Kesejahteraan sosial, juga bukanlah sebuah slogan yang bisa diteriakkan lalu seakan-akan kita merasa sudah sejahtera jika sudah diwacanakan. Kesenjangan sosial juga bukanlah penantian sama halnya terhadap peniupan terompet penanda awal tahun yang dapat disulap agar semua dapat menjadi makmur seketika dengan menunggu.

Lantas, aktivitas ‘memperingati’ akankah menjadi simbol bahwa manusia sudah keterlaluan penyakit lupa-nya, hingga perlu diperingatkan, agar tidak melulu teralihkan oleh rutinitas luaran yang tidak menginti.

Tugas kita masih sangat panjang dari sekedar merayakan peringatan. Hendaknya tidak menjadi seperti musim yang ditunggu.

Buih Resolusi, Perbincangan Natal

aldiantara.kata

 

Natal sudah berlalu, namun apakah masih akan menyisakan pertanyaan-pertanyaan yang sama tahun depan? Mengendapkan kecurigaan-kecurigaan yang sama, bebal dan kepandiran yang sama, kefanatikan yang sama, fatwa keharaman yang sama meski dalam bingkai menghormati atau sekadar basa basi?

Sesudah tahun ini mencari jawaban, barangkali pemahaman terhadapnya diletakkan di atas air, yang digiring riak dari angsa-angsa danau berwarna putih. Tahun depan akan kembali mengulang pertanyaan yang sama, “Bolehkah mengucapkan”?

Portal berita media massa gemar mencari celah apa yang akan ramai, sementara jawaban yang dibaca kemudian ditinggal sibuk hingga kembali lupa untuk dipahami. Sepaham-pahamnya malah didapat dari penjelasan singkat, dangkal nan sempit.

Akhir tahun akan banyak orang beresolusi untuk tahun depan. Bak buih-buih, semua menjadi catatan dan status media sosial. Hidup terkadang perlu api yang sedikit membakar, perlu seonggok dendam untuk setidaknya memiliki tujuan hidup.

Membuka kembali apa yang sudah menjadi markah media-media sosial, inspirasi (sesaat) yang telah di screenshot, atau catatan-catatan random yang sempat ditulis, namun mendadak terkejut melihat tanggal penulisan… “Awal tahun lalu silam!”

Cepat sekali berlalu waktu, namun nampak tak ada perkembangan apa-apa?

“Resolusi cuan, cuan!”

Semua harus instan, terburu-buru, sesak enggan menunggu proses.

Sementara sebagian ada dalam ruang gelap, merebah, sembari melamun memeluk lembaran-lembaran sesal. Teringat dengan amtsal Rene Descartes tentang pentingnya untuk berkontemplasi. Ibarat seseorang yang membawa sekeranjang apel, sementara ia yakin bahwa di dalamnya terdapat apel yang busuk, maka ia harus mengeluarkan semua apel yang ada di keranjang, memilih dan memilah guna memisahkan antara apel yang masih bagus dengan yang sudah busuk. Sudah terlalu lama hidup seorang mencomot beragam informasi, namun tidak dipilah mengenai kebenaran dari ragam informasi tersebut.

Kontemplasi musiman saban akhir tahun?

Seperti tak ada kesempatan untuk menepi, memilih melanjutkan kembali rutinitasnya tanpa merenungkan kembali apa yang menjadi tujuan hidupnya.

Penghujung Desember, malam ini hujan barulah reda. Saat membaca buku Jokpin berjudul Kabar Sukacinta, aku meletakkan pembatas bersebelah puisinya berjudul “Tukar Salam”,

Pada suatu sore yang religius
kumandang azan dan dentang
lonceng gereja berjumpa
dan bertukar salam di udara,
mendoakan kesembuhan
dan kewarasan umat manusia.

Ah, Jokpin! Aku malah jadi teringat pesan seorang Khatib di desaku, baru saja menyampaikan pada jamaah, “Berbhineka Tunggal Ika merupakan keharusan, Menjaga persatuan dan toleransi sesama merupakan keharusan, namun khatib menghimbau kepada para jamaah, agar jangan sekali-kali mengucapkan Selamat Hari Natal.” Sembari menyitir QS. 18: 42 yang ia pahami sebagai bentuk kemusyrikan.

Setiap akhir tahun fatwa-fatwa tersebut seakan menjadi alarm pengingat. Belum lagi potongan-potongan video penjelasan ustas yang tersebar melalui grup WhatsApp keluarga, yang dibaca di sela istirahat menikmati libur sekolah, menjelang tidur, sambil mengingat-ngingat gelaran bagi rapot, panitia dengan lahap makan snack, sementara siswa melayangkan protes perihal prosesi hingga tercium bau lambung serta perut yang sudah keroncongan, matanya melirik pada box snack yang terbuka setengah. Namun bukan jatahnya.

Ritual Akhir Tahun, Membaca Kembali Gie

aldiantara.kata

Gie, aku kembali. Mengenangmu (lagi). Sebelum berpijak pada bulan ini, aku sempat kelimpungan mencari catatan harianmu yang sempat ketelingsut. Kucari pada rak buku yang belum kunjung bertambah jumlahnya, pada kantor lama di mana kini aku bekerja, hingga pasrah bahwa aku harus kembali membelinya lagi. Sudah bertahun-tahun aku memilikinya, aku hanya bayangkan tanda-tanda stabilo dan catatan pinggir yang pernah diselipkan di dalamnya. Lalu harus memulai lagi memberi tanda jika harus membeli lagi.

Ternyata…

Sepekan silam aku pulang, aku menemukan catatan harian itu terselip di rak buku rumah. Mama juga tak pernah bilang perihal bukuku yang ketinggalan.

Ah, membaca kembali catatan harianmu ini seakan sudah menjadi ritual wajib akhir tahun. Anggap sebagai perayaan ulang tahunmu? Sembari mendengar lagi lagu-lagu klasik (hujan deras yang turun sore tadi malam ini berangsur reda).

Lagu dalam playlist berhenti. Aku enggan beranjak. Tersisa suara dari aku yang membalikkan kertas dari catatan harianmu ini. Sunyi sekali,

Sesekali terdengar obrolan di luar rumah dari orang-orang yang sedang ronda. Aku seakan sedang ‘menghisap rokok’ dengan apa yang sedang kunikmati. Air putih pada botol minuman di atas meja yang tersisa untuk dua tiga tegukan.

“Kadang-kadang saya berpikir mengapa manusia harus kejam dan memeras orang-orang yang tidak berdaya?” (CSD, 16/07/1969)

“Malam itu amat manis. Simpati saya pada Ani yang gelisah dan ia banyak sekali bicara. Terasa persahabatan yang dekat dan dalam kegelisahan dia perlu banyak perhatian dan pengertian. Mungkin saya yang akan memberikan perhatian pada saat-saat yang sulit untuk Ani. Saya tak sampai hati membicarakan persoalan-persoalan emosional saya dengan Maria pada Ani (walaupun ada kebutuhan dari saya) karena justru dia-lah yang harus banyak bicara. Agar beban emosinya menjadi lebih ringan.” (CSD, 9/5/1969).

Waktu senggang kusempatkan pula untuk mencari hal baru dalam referensi lain, kusempatkan untuk membaca buku Daniel Dakhidae, Menerjang Badai Kekuasaan (Kompas) yang di dalamnya membahas Soe Hok Gie: Sang Demonstran, tapi ternyata kurang dan lebih aku sudah tahu informasi di dalamnya sebelumnya melalui referensi lain tentang Gie.

Ohya, bagaimana Gie pengalamanmu menjadi seorang dosen? Apakah sama sebalnya menghadapi sebagian mahasiswa yang malas membaca, berdiskusi, masuk kelas tanpa membawa ‘bahan bacaan’ sebelumnya? Zaman sudah banyak berubah Gie, pendidikan masih menjadi slogan yang dianggap penting, media sosial menjadi organ tubuh pelengkap manusia, yang kelimpungan ketika baterai menipis. Seakan layar-layar gawai yang terhubung wifi menjadi paru-paru ketiga.

Gie, apa kini kamu sedang bersama Maria? Menyiapkan perayaan natal? Apa Maria masih cemburuan seperti dulu ia terhadap Rina?

Malam ini juga aku banyak membaca cerita dalam catatanmu mengenai kepenatanmu saat menyelesaikan skripsi, namun pada akhirnya setelah sidang, justru kamu sendiri yang merasa kehilangan tentang dunia kampus: buku, pesta dan cinta, yang dianggap sudah selesai seiring dengan selesainya masa studi.

Mengikuti berita pada hari kelahiranmu beberapa waktu silam, ternyata banyak juga yang (masih) merayakan, mengenang, menyebut kembali kata-kata ajaib yang dicrop menjadi quote. Aku sendiri masih suka membayangkan ketekunanmu di kamar yang penuh nyamuk, penerangan yang seadanya, sementara yang tersisa adalah suara mesin tik yang menjadi saksi jembatan pengejawantahan pemikiranmu kala membuat suatu tulisan.

Bencana alam, sidang di layar kaca mengusut pembunuhan berencana seorang polisi, hingga konten-konten digital yang takkan berhenti menjadi asupan manusia. Penat rasanya. Barangkali awal-awal tahun depan aku mesti mencari lagi waktu untuk berkontemplasi di alam bebas. Melihat lagi lampu-lampu kota, kerlap-kerlipnya pada jarak yang jauh, sementara hembus angin kencang menggoda untuk tetap teruskan perjalanan.

Gie, sebelumnya tak pernah terbayangkan bukan, pada dunia yang sama, di mana kita tak pernah bertemu. Aku masih menjadi seorang yang gandrung membaca tulisan-tulisanmu. Sudah setengah abad di mana kau wafat, aku baru menyadari bahwa ada yang benar-benar abadi. Ada yang benar-benar mewarisi dan diwarisi.

Narapidana

aldiantara.kata

 

Di mana kita berada di atas kursi panjang, menghadap pada lalu lalang kendaraan yang tiada henti-hentinya, engkau selalu bertanya, perihal kursi taman tersebut. Walaupun suaramu kau arahkan kepada dedaunan dan lampu taman bernyala redup, yang sesekali engkau menengadahkan kepala ke langit bertanya, apakah sudah sewaktunya embun serta air-air langit mulai temurun. “Bangku taman ini untuk siapa, tiada pejalan kaki selain kita, kursi mobil dengan pendingin udara lebih digandrungi ketimbang bangku besi tempat duduk embun-embun pagi, daun gugur, serta pengembara yang sedang mengambil nafas panjang sebelum ia melanjutkan perjalanannya.”

Kita secara garib malah menyalakan lilin, membakar dingin, sekaligus membakar pertanyaan yang engkau utarakan. Jelas saja aku tak bisa menjawab pertanyaanmu, mencarinya dengan mesin pencari (yang engkau katakan selalu dapat jawaban), atau melalui buku-buku pada rak berdebu.

Sesaat sebelum pulang ke rumah, engkau malah bercerita perihal penglihatanmu yang sedikit terganggu beberapa akhir ini. Cecunguk yang terbang kesana kemari menghinggapi helm pengendara bermotor di lampu merah, pengendara mengambilnya, meletakkannya pada ujung jari telunjuk, membiarkannya terbang. Cecunguk yang dipelihara dan dianggap khalayak suatu keindahan. Kupu-kupu terusir dari bunga, dari simbol keberagaman yang indah. Senantiasa terusik lalu pergi lantaran dianggap memuakkan.

Bimbang rasanya apakah harus membawamu ke dokter atau ahli hikmah. Tapi aku mengatakan kepadamu malam itu, perihal cecunguk dan kupu-kupu itu bukan satu-satunya keanehan di bawah matahari.

Sesaat sebelum pulang ke rumah, aku memecah keheningan dengan menceritakan kepadamu mengenai seorang yang kujumpai pada suatu malam, ia belum lama ini bebas dari masa tahanan setelah dihukum lantaran menghabisi tiga nyawa sekaligus pada tahun delapan enam. Delapan belas tahun berada di sel. Tanpa tahu dan besuk dari sanak keluarga. Ia bercerita pula tak tahu perihal ayahnya yang telah meninggal.

Kau malah memarahiku, meskipun jelas aku tak seperti yang kau tuduhkan, aku merasa risih dan paling suci, seakan tak punya dosa.