aldiantara.kata

Ada malam yang menggenap, tenggelam berganti. Lalu ada malam yang mengganjil, di mana percakapan tiba-tiba hanya tersisa sebagai isyarat serta bahasa tubuhmu. Ada malam yang menjadi panjang, di mana rindu yang tiada batasnya, memuncak.

Seperti pada halaman kedua, pada sebuah buku di mana kita sama membaca. Banyak sekali jeda dan tanda baca koma, sesekali dijadikannya titik dengan terlelap mendengkur.

Lalu membangunkanku di sebuah pagi, engkau menjadi halaman ketiga, pada sebuah buku di mana kita sama-sama membaca. Sebagiannya berdasar kosong, kita mengarsirnya tipis-tipis dengan sebuah gambar, sembari mengeluh hujan yang datang terlalu awal, di sela kesibukan.

Engkau bilang arsiran yang membentuk mawar tetap perlu dipupuk dan disirami, kadang sesekali dibiarkan berembun, hingga dibacakan kata berisi doa-doa baik.

Engkau juga kadang tak bercerita suatu hal yang engkau tak berkenan untuk terbuka, “nanti pada kalanya,” ujarmu. Aku enggan menagih saat kala itu tiba. Biarkan saja menjadi rahasia, dan aku tak mesti tahu, apa yang seharusnya tetap tak diketahui. Kecuali jika ingin buku menjadi sedikit lebih tebal. Apendiks-apendiks yang datang kemudian, hanya bahasa tubuhmu yang berusaha kutafsiri. Namun aku tak hendak memaksamu bercerita.

Seperti pada halaman keempat, pada sebuah buku, kata-kata yang mendapat garis koreksi, digantikan kata baru yang seide dengan maksudnya. Engkau bilang tidak boleh sebal pada kata-kata yang keliru.

Sesekali engkau memintaku untuk membuka halaman buku dengan acak, aku membukanya tepat pada tanda daun kering yang menjadi pembatas baca, yang sudah tersedia puisi sederhana dan memintaku bersedia membacakannya sebelum tidur.

Hingga suatu kali engkau nampak tertawa melihat buku kita yang terbasahi tetes kopi tak sengaja. Lalu tepat pada pinggirnya aku menuliskan keterangan peristiwa kala saat itu di mana engkau merasa sebal. Tentang dinginnya udara malam, serta kudapan yang kau sisakan untukku.

Halaman-halaman buku yang sering kita bicarakan, di dalamnya tak melulu berisi fiksi, ia dapat berarti bukti perjalanan hidup, dengan kertas yang nampak usang, dan tinta-tinta yang nampak memudar.